INFID Apresiasi Perpres SDGs dengan Catatan
Berita

INFID Apresiasi Perpres SDGs dengan Catatan

Tim koordinasi nasional harus bisa bekerja dengan efektif dan efisien untuk meminimalisir risiko pembangunan.

Oleh:
Fitri Novia Heriani/ANT
Bacaan 2 Menit
Foto: Setkab
Foto: Setkab
Pada awal Juli lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No.59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Perpres tersebut hadir dalam rangka untuk memenuhi komitmen pemerintah dalam pelaksanaan pencapaian TPB atau Suistanable Development Goals (SDGs). Dalam hal ini, pemerintah memandang perlu adanya penyelerasan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.

Perpres tersebut dimaksudkan sebagai tindak lanjut kesepakatan dalam Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development guna mengakhiri kemiskinan, meningkatkan kesehatan masyarakat, mempromosikan pendidikan, dan memerangi perubahan iklim.

International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) adalah salah satu lembaga yang mengawasi pembentukan Perpres SDGs. Hamong Santono, Senior Program Officer SDGs INFID menyampaikan bahwa pihaknya mengapresiasi lahirnya Perpres SDGs. Hal tersebut sebagai wujud komitmen politik pemerintahan Presiden Jokowi yang telah berupaya mendorong keterlibatan aktor pemerintah, swasta, NGO dan sebagainya dalam pembangunan nasional.

(Baca Juga: Inilah Perpres Penanganan Dampak Sosial Penyediaan Tanah untuk Proyek Strategis Nasional)

“Kita mengapresiasi karena pembahasannya telah berproses lebih dari setahun, dan kita mengawal, kemudian teman-teman NGO terlibat dalam rumusannya,” kata Hamong kepada hukumonline, Jumat (21/7).

Menurut Hamong, dengan melibatkan banyak pihak dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, maka rencana dan kebijakan yang akan disusun akan lebih tajam, mengingat banyaknya pihak yang memberi masukan kepada pemerintah. Perpres ini dinilai sebagai pendekatan baru yang dilakukan pemerintah. Kedepannya, tim koordinasi akan dibentuk dalam rangka pembahasan kebijakan pembangunan nasional.

Meski demikian, Hamong tetap memberikan catatan kepada pemerintah terkait Perpres SDGs tersebut. Pertama, mengenai penandatanganan Perpres. INFID selaku pihak yang terus mengawasi perjalanan Perpres SDGs tersebut mengaku mengetahui perihal penandatanganan Perpres tersebut melalui media. Ia berharap mekanisme penyampaian informasi harus diperbaiki apalagi INFID terus mengawal Perpres tersebut hingga akhir.

(Baca Ulasan Mendalam Mengenai Upaya Pemerintah Memenuhi Pembiayaan Infrastruktur: Taktik Pemerintah dari Masa ke Masa ‘Merayu’ Investor Bangun Infrastruktur)

“Mekanisme cara menginformasikan harus diperbaiki, apalagi untuk dokumen seperti Perpres itu. Kecuali kalau Perpres itu dari awal tidak ada yang mengawal, tapi ini banyak pihak yang terlibat, tetapi dalam proses memberikan informasi keapada seluruh pihak kedepan perlu diperbaiki,” tambahnya.

Kedua, adanya tantangan lain yakni Perpres tidak mengatur secara detail terkait SDGs. Artinya, terdapat beberapa hal yang nantinya akan diatur dalam Peraturan Menteri (Permen). Hamong mengingatkan, untuk pembahasan kebijakan selanjutnya (Permen), pemerintah harus mendiskusikan bersama dengan stakeholder lain yang diatur didalam Perpres SDGs.

Ketiga, menyoal tim koordinasi. Perpres mengamanatkan dibentuknya tim koordinasi. Tetapi persoalan pentingnya adalah bagaimana tim koordinasi nasional bisa bekerja dengan efektif dalam merencanakan dan merumuskan pembangunan nasional.

“Jangan sampai perpres ini hanya menjadi dokumen semata, yang ketika itu coba dijalankan tidak bisa berjalan dengan baik karena banyak hal yang belum disepakati, direncanakan dengan melibatkan semua pihak. Jadi, OK Perpres diapresiasi, ini sesuatu yang sudah dicapai dan diupayakan pemerintah tetapi ada beberapa tantangan yang perlu dipikirkan bersama baik oleh pemerinatah maupun non pemerintah,” tegasnya.

Hamong mengingatkan, keberhasilan pelaksanaan SDGs yang sesuai dengan Perpres, tergantung kepada seberapa efektif dan efisien kerja dari tim koordinasi. Pasalnya, tim koordinasi memiliki tugas yang sangat penting seperti menyusun peta jalan, rencana aksi dan sebagainya.

Dengan terlibatnya semua pihak, lanjutnya, maka akan mendorong pembangunan nasional yang lebih baik, rencana yang lebih baik, sehingga terbentuk keseimbangan anta ekonomi, sosial dan lingkungan, serta meminimalisir risiko pembangunan, dan bagaimana membangun infrastruktur yang tidak merusak alam.

“Tim koordinasi jika tdak mampu memberi solusi maka manfaat SDGs itu jadi tidak optimal. Karena yang berat itu mengoperasionalkan SDGs dalam konteks Indonesia, dengan situasi yang dihadapi Indonesia saat ini, seperti ada kerusakan lingkungan, penggusuran dan lain sebagainya. Hal seperti itu harusnya bisa terbantu dengan SDGs,” pungkasnya.

(Baca Juga: Inilah Perpres Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan SDGs)

Atasi Kemisikinan Mulitidimensional
Sebelumnya, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menilai pelaksanaan SDGs dapat membantu mengurangi kemiskinan multidimensional. Hal tersebut disampaikan Bambang dalam pidatonya di Forum ECOSOC Thematic Discussion on the Main Theme of the Council "Indonesia's Experience in Addressing Multidimensional Poverty", di markas besar PBB, New York, Amerika Serikat, Kamis.

"Tantangan dalam mengatasi kemiskinan multidimensional membutuhkan intervensi tidak hanya dari sisi pertumbuhan ekonomi semata tapi juga konsistensi kita melaksanakan agenda SDGs. Ini menjadi jawaban relevan terhadap permasalahan pengentasan kemiskinan," ujar Bambang dalam pernyataan resmi yang diterima Antara.

Indonesia sejauh ini, lanjut Bambang, telah berhasil mengurangi presentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dari 17,75 persen pada 2006 menjadi 10,64 persen pada Maret 2017. Kendati jumlah orang miskin, tingkat keparahan dan indeks kedalaman kemiskinan menurun, namun jumlah absolutnya masih cukup signifikan, sekitar 22,8 juta orang.

Menurut Bambang, salah satu langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah dengan memberikan perlindungan sosial yang komprehensif melalui implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional di bidang kesehatan. Jumlah penerima manfaat yang dicakup oleh skema ini pada tahun 2016 mencapai sekitar 172 juta orang atau 66,4 persen dari populasi.

"Program ini telah menjadikannya sebagai salah satu skema terbesar di dunia. Sistem Jaminan Sosial Nasional juga telah diterapkan di sektor pendidikan, kesejahteraan sosial, dan ketenagakerjaan," ujar Bambang.

Lebih lanjut, Bambang menjelaskan, pemerintah akan memperkuat tiga pilar, yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan peluang ekonomi dan mata pencaharian yang layak serta berkelanjutan, dan ekosistem yang mendukung.

Pilar pertama akan diwujudkan melalui indikator kehidupan sehat dan sejahtera (kesehatan), kedua, ketahanan pangan dan ekosistem pertanian yang berkelanjutan, pendidikan berkualitas dan ekosistem laut (perikanan).

Pilar kedua, diwujudkan melalui industri, inovasi dan infrastruktur serta manajemen kelautan yang berkelanjutan. Dalam hal ini, pemerintah akan menciptakan ekosistem pendukung berupa kesetaraan gender, kemitraan, pembiayaan, kebijakan dan ketersediaan data.
Bambang menekankan pentingnya kemitraan di semua sektor, termasuk aktor pemerintah dan non-pemerintah di tingkat nasional dan daerah guna mendukung terwujudnya agenda SDGs.

Dia mencontohkan perlunya kerja sama lintas sektor dalam penggunaan mekanisme non tunai atau 'cashless' di Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sejahtera dan Transfer Tunai Bersyarat melalui Program Keluarga Harapan.

"Kebijakan ini memerlukan kemitraan antara pemerintah pusat dan daerah, serta dukungan sektor ritel dan perbankan. Mekanisme ini dapat meningkatkan akurasi target, mengurangi kecurangan, dan mendorong keterbukaan terhadap akses keuangan," ujar Bambang.

Ia menjelaskan, untuk membiayai pelaksanaan SDGs, Indonesia terus meningkatkan kualitas belanja pemerintah. Pada saat bersamaan, untuk meningkatkan pendapatan pemerintah, Undang-Undang Pengampunan Pajak telah diimplementasikan.

Pembiayaan alternatif lainnya, lanjut Bambang, dimobilisasi dari dana filantropi dan bisnis serta dana sosial keagamaan. Selanjutnya, untuk mendukung program pembiayaan berkelanjutan, Indonesia juga telah menyiapkan panduan untuk green banking dan green financing.

Pemerintah sendiri akan memperkuat tiga pilar, yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan peluang ekonomi dan mata pencaharian yang layak serta berkelanjutan, dan ekosistem yang mendukung.

Pilar pertama akan diwujudkan melalui indikator kehidupan sehat dan sejahtera (kesehatan), kedua, ketahanan pangan dan ekosistem pertanian yang berkelanjutan, pendidikan berkualitas dan ekosistem laut (perikanan). Pilar kedua, diwujudkan melalui industri, inovasi dan infrastruktur serta manajemen kelautan yang berkelanjutan.

Dalam hal ini, pemerintah akan menciptakan ekosistem pendukung berupa kesetaraan gender, kemitraan, pembiayaan, kebijakan dan ketersediaan data.

Tags:

Berita Terkait