Eks Penyidik Pajak Ini Diganjar 10 Tahun Penjara
Berita

Eks Penyidik Pajak Ini Diganjar 10 Tahun Penjara

Atas vonis tersebut, baik Handang maupun JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.

Oleh:
Agus Sahbani/ANT
Bacaan 2 Menit
Mantan Penyidik pada Ditjen Pajak Handang Soekarno usai mendengarkan pembacaan vonis 10 tahun di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (24/7). Foto: RES
Mantan Penyidik pada Ditjen Pajak Handang Soekarno usai mendengarkan pembacaan vonis 10 tahun di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (24/7). Foto: RES
Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum pada Direktorat Jenderal Pajak Handang Soekarno divonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan karena terbukti menerima suap 148.500 dolar AS (setara Rp1,998 miliar) dari pengusaha.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Handang Soekarno terbuki secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 10 tahun ditambah denda Rp500 juta dengan ketentuan bila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 4 bulan kurungan," kata ketua majelis hakim Frangki Tambuwun di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (24/7/2017) seperti dikutip Antara.

Vonis itu lebih rendah dibanding dengan tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang menuntut agar Handang divonis 15 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan berdasarkan dakwaan pertama Pasal 12 huruf a UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Handang terbukti menerima 148.500 dolar AS (setara Rp1,998 miliar) dari "country director" PT EK Prima Indonesia (EKP) Ramapanicker Rajamonahan Nair untuk membantu penyelesaian pajak PT EKP. Baca Juga: Pengusaha Ini Didakwa Menyuap Pejabat Pajak Sebesar Rp 1,998 Miliar

Pemberian suap itu terkait dengan pengurusan sejumlah permasalah pajak yang dihadapi PT EK Prima Ekspor Indonesia (EKP) yaitu pengajuan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) periode Januari 2012-Desember 2014 sejumlah Rp3,53 miliar, Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai (STP PPN) tahun 2014 sebesar Rp52,36 miliar dan STP PPN tahun 2015 sebesar Rp26,44 miliar, Penolakan Pengampunan Pajak (tax amnesty), Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan Pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper) pada KPP PMA Enam Kalibata dan Kantor Kanwil Dirjen Pajak (DJP) Jakarta Khusus.

Awalnya, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing (PMA) Enam Jakarta memberikan himbauan kepada PT EKP agar melunasi PPN kacang mete gelondong 2014 sebesar Rp36,87 miliar dan pada 2016 sebesar Rp22,4 miliar, namun Rajamohanan mengajukan keberatan ke KPP PMA Enam dan disarankan untuk ikut program "tax amnesty" (TA) oleh kepala kantor KPP PMA Enam Johnny Sirait.

Namun, permohonan PT EKP untuk mengajukan TA ditolak karena PT EKP punya tunggakan pajak yaitu STP PPN Desember 2014 sebesar Rp52,36 miliar dan pajak Desember 2015 sebesar RP26,44 miliar.

Selanjutnya Jhonny Sirait mengistruksikan pengajuan usulam pemeriksaan bukti permulaan (Bukper) tindak pidana pajak atas nama PT EKP tahun 2012-2014. Jhonny juga mengeluarkan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) kepada PT EKP.

Kepala kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus Muhammad Haniv bertemu dengan Handang pada 22 September kemudian Haniv menyampaikan keinginan Arif Budi Sulisyto supaya dipertemukan dengan Ken Dwijugiasteadi selaku Dirjen Pajak. Arif adalah Direktur Operasional PT Rajakbu Sejahtera yang juga adik ipar Presiden Joko Widodo.

Atas permintaan itu, Handang pada 23 September 2016 mempertemukan Arif ditemani dengan seorang pihak swasta Direktur Utama PT Bangun Bejana Baja, Rudy Prijambodo Musdiono bertemu dengan Dirjen Pajak Ken di lantai 5 gedung Dirjen Pajak.

Rajamohanan lalu meminta bantuan Arif terkait penyelesaian masalah pajak PT EKP dengan mengirimkan dokumen-dokumen tersebut melalui "whats app" yang diteruskan Arif ke Handang. Atas permintaan itu Handang menyanggupi dengan mengatakan "Siap bpk, bsk pagi saya menghadap beliau bpk. Segera sy khabari bpk".

Pada 4 Oktober 2016, atas arahan Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi, Muhammad Haniv memerintahkan Jhonny Sirait membatalkan surat pencabutan pengukuhan PKP PT EKP, sehingga KPP PMA Enam mengeluarkan surat Pembatalan Pencabutan Pengukuhan PKP PT EKP.

Pada 5 Oktober Rajamohanan lalu menemui Handang dan meminta tolong permasalahan PT EKP lainnya. Handang pun meminta kepada Kepala Bidang Pemeriksaan Penagihan Intelijen dan Penyelidikan (Kabid P2IP) Kanwil DJP Jakarta Khusus, Wahono Saputro untuk membantu penyelesaian masalah PT EKP dengan membuat pertemuan pada 20 Oktober 2016 di antara Rajamohanan, Wahono dan Handang di Nippon Khan Hotel Sultan.

Sehingga pada 2 November 2016, Haniv menerbitkan surat pembatalan STP terhadap pajak tahun 2014 dan 2015 PT EKP senilai total Rp78 miliar.

Rajamohanan menjanjikan akan memberikan uang dengan jumlah 10 persen dari total nilai STP PPN senilai Rp52,36 miliar. Setelah negosiasi disepakati uang yang diberikan kepada Handang dibulatkan menjadi Rp6 miliar, sudah termasuk bagian Muhammad Haniv. Haniv selaku Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus.

Tahap pertama pemberian uang adalah Rp2 miliar dalam bentuk 148.500 dolar AS pada 21 November 2016 yang diambil di rumah Rajamohanan. Namun saat penyerahan uang itu Handang dan Rajamohanan terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.

Terkait perkara ini, Rajamohanan sudah divonis 3 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 5 bulan kurungan.

Atas vonis tersebut, baik Handang maupun JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
Tags:

Berita Terkait