Begini Kritik Buruh atas Rencana Penurunan PTKP
Berita

Begini Kritik Buruh atas Rencana Penurunan PTKP

Basis pajak akan naik, tapi daya beli pekerja akan turun.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Demo buruh di Jakarta. Foto: HOL/SGP
Demo buruh di Jakarta. Foto: HOL/SGP
Dalam rangka mendorong pendapatan dari sektor pajak, Pemerintah berencana menurunkan jumlah pendapatan tidak kena pajak (PTKP). Sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 101/PMK.010/2016, PTKP adalah Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan. Pemerintah berencana menurunkan batas PTKP, disesuaikan dengan besaran upah minimum.

Artinya,  pengenaan pajak penghasilan ditetapkan berdasarkan upah minimum yang diterima pekerja. Hanya buruh yang mendapatkan gaji di bawah upah minimum yang tidak dikenakan pajak penghasilan. Jika kebijakan ini jadi diterapkan, di satu sisi, potensi pajak yang bisa ditarik semakin besar; tetapi di sisi lain akan menurunkan daya beli.

Rencana kebijakan itu langsung dikritik pekerja. Presiden KSPI Said Iqbal, mengkhawatirkan dampaknya kepada para pekerja. Saat ini saja, menurut dia, daya beli buruh masih rendah, apalagi kalau penurunan PTKP dilakukan. "Berarti nanti buruh yang mendapat upah minimum harus dikenakan pajak, padahal selama ini buruh dengan upah di bawah Rp4,5 juta tidak dikenakan pajak penghasilan," katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (24/7).

(Baca juga: Penerapan PTKP Sesuai UMR dan Paradigma Penerimaan Pajak).
Pengenaan pajak itu bagi Iqbal menambah pengeluaran buruh, padahal saat ini daya beli buruh turun. Iqbal mengingatkan saat proses pengujian UU Pengampunan Pajak di Mahkamah Konstitusi, wakil Pemerintah menyatakan bahwa pekerja, khususnya yang upahnya minimum, tidak dikenakan pajak. Tapi saat ini sikap pemerintah berbeda dan berencana mengenakan pajak penghasilan terhadap buruh yang upahnya minimum. Menurut Iqbal, pemerintah harusnya mengejar para pengemplang pajak untuk menunaikan kewajibannya. Baginya, rencana pemerintah menurunkan PTKP tidak memberi rasa keadilan bagi buruh.

Lemahnya daya beli buruh menurut Iqbal bisa dilihat dari tutupnya sebuah perusahaan yang bergerak di sektor retail. Beberapa perusahaan lain yang bergerak di sektor serupa di indikasikan akan mengalami hal yang sama. Tutupnya perusahaan itu menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), bahkan jika ditambah kasus PHK di sektor industri manufaktur dan pertambangan diperkirakan jumlahnya mencapai puluhan ribu. "Pemerintah harusnya menerbitkan Perppu atau regulasi yang mencegah terjadinya PHK, karena kondisinya sudah darurat," tukas Iqbal.

Selain itu Iqbal mengecam rencana Wakil Presiden, Gubernur Jawa Barat dan Menteri Ketenagakerjaan yang ingin menerapkan upah khusus di bawah upah minimum untuk industri padat karya yang beroperasi di 4 daerah di Jawa Barat. Keempat wilayah itu meliputi Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten Purwakarta. Serikat buruh siap melakukan upaya hukum jika rencana itu digulirkan.

Terpisah, Sekjen OPSI, Timboel Siregar, mengatakan penurunan PTKP sesuai upah minimum akan berdampak langsung pada turunnya daya beli buruh. Selain itu biaya pajak yang dibayar perusahaan ikut naik karena ada perusahaan yang menerapkan sistem clean wage atau pajak pekerja ditanggung perusahaan.

(Baca juga: DPR Dukung Rencana Pemerintah Menaikkan Besaran PTKP).

Timboel berpendapat rencana itu tidak adil dan tidak tepat untuk saat ini dan beberapa tahun ke depan karena daya beli masyarakat terus turun. Lemahnya daya beli masyarakat mempengaruhi perputaran barang dan jasa  menjadi lambat dan pajak akan menurun. "Pemerintah perlu mempertimbangkan rencana ini secara bijak," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait