Aturan Beneficial Owner untuk Kejar Wajib Pajak di Tax Haven
Berita

Aturan Beneficial Owner untuk Kejar Wajib Pajak di Tax Haven

Setelah fokus mempersiapkan Indonesia dalam era keterbukaan pajak secara otomatis (Automatic Exchange of Information (AEoI), Kementerian Keuangan berkomitmen ikut mengimplementasikan inisiatif global dalam rangka menghindari pengelakan dan penghindaran pajak.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Foto: HOL/SGP
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Foto: HOL/SGP
Regulasi yang mengatur kewajiban korporasi untuk memberikan informasi mengenai siapa pemilik manfaat yang sebenarnya (beneficial owner) jadi salah satu syarat tambahan yang dminta Global Forum on Transparency and Exchange of Information OECD dalam pertukaran informasi keuangan berdasarkan permintaan (Exchange of Information).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan keterbukaan penerima manfaat yang sebenarnya merupakan bagian dari kerangka prinsip anti Penggerusan Pendapatan dan Pengalihan Keuntungan atau yang dikenal dengan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Dorongan keterbukaan informasi ini terjadi hampir di seluruh dunia terutama negara-negara maju untuk mengejar para wajib pajak mereka yang menaruh serta mengalihkan kewajiban pajaknya di negara-negara suaka pajak (tax haven).

“Dunia spiritnya semakin hari terus mendorong praktek bisnis yang transparan dan tata kelola (good governance) ditegakan secara konsistem di semua yurisdiksi,” kata Ani –sapaan akrab Sri- Senin (24/7) kemarin di gedung DPR.

Ani melanjutkan, tren global berubah sehingga seluruh negara sepakat melawan praktik penghindaran dan pengelakan pajak yang banyak dilakukan di negara suaka pajak. Hal yang sama juga dilakukan Indonesia, di mana sebelumnya telah berkomitmen dalam pertukaran informasi otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) mulai September 2018 dan akan terus berkomitmen mendukung dan ikut serta dalam gerakan yang didorong global forum terkait kepentingan perpajakan.

“Dulu satu negara (misalnya) Swedia mau terapkan good governance tapi cuma negeranya sehingga ada yang disebut tax haven atau yurisdiksi tempat haram. BO (beneficial owner) ini targetnya adalah tax haven yang sembunyikan WP (wajib pajak). Indonesia saat ini masih fokus AEoI tapi ikuti tren perpajakan internasiinal dan kita bisa lindungi kepentingan indonesia agar potensi pajak dan tidak terjadi shifting (pengalihan) ke negara lain,” kata Ani.

Baca Juga:
·         Pengungkapan Beneficial Owner ‘Pintu Masuk’ Kejar Korporasi Penghindar Pajak
·         Mengintip Rancangan Perpres Mengenali Pemilik Manfaat Korporasi
·         Ditjen Pajak Diminta Susun Aturan Terkait Beneficial Owner

Sebelumnya, Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Poltak Maruli John Liberty Hutagaol mengatakan bahwa dalam asesmen tahap pertama tahun 2014 sebelumnya, inisiatif terkait beneficial owner ini belum muncul. Pada tahap itu, global forum masih fokus meminta syarat yang menyangkut kemudahan akses informasi keuangan bagi otoritas pajak.

Namun, standar tersebut berubah di mana global forum merevisi kerangka acuan dan memasukan syarat tambahan berupa ketentuan beneficial owner yang wajib dipenuhi negara peserta termasuk Indonesia pada asesmen tahap kedua. Kata John, global forum akan melakukan asesmen terharap seluruh regulasi yang mengatur soal beneficial owner, artinya tak hanya regulasi bidang perpajakan semata melainkan bidang apapun sepanjang berkaitan dengan beneficial owner. Upaya pemenuhan regulasi tersebut tak hanya menjadi perhatian Dijten Pajak maupun Kementerian Keuangan melainkan seluruh kementerian atau lembaga terkait.

“Jadi, untuk hadapi second round assessment pemerintah harus bersama-sama. Kita saling bantu membantu untuk bisa tunjukkan komitmen bahwa Indonesia adalah negara yang transparan untuk tujuan perpajakan. Jadi benar-benar kita negara yang transparan, bukan tax haven country,” kata John pertengahan Juli kemarin.

Patut diketahui, beberapa waktu lalu pemerintah telah merampungkan rancangan peraturan yang nantinya mewajibkan setiap korporasi untuk memberikan informasi mengenai siapa pemilik manfaat yang sebenarnya. Saat ini, Rancangan Peraturan Presiden (Perpres tinggal menunggu tandatangan Presiden Joko Widodo. Dihubungi terpisah, Ketua Tim Penyusun Rancangan Perpres, Yunus Husein mengatakan proses penyusunan aturan tersebut telah rampung dibahas sekira bulan Mei.

Kata Yunus, sejumlah kementerian maupun lembaga terkait juga telah diundang dan menyampaikan pandangannya terkait proses harmonisasi dengan peraturan lain. Praktis, status Rancangan Perpres Tahun 2017 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme, menunggu ‘restu’ presiden.

“Saya tidak tahu sudah diteken atau belum, tapi yang jelas sudah kita bahas dan lakukan harmonisasi. Pajak juga ikut karena ini juga ada kepentingan pajak,” kata Yunus kepada HukumOnline Jumat (14/7).

Mengacu pada draf Rancangan Perpres yang diperoleh HukumOnline, kepentingan terkait perpajakan dalam rangka pertukaran informasi (exchange of information) tidak disebut tegas baik dalam bagian pertimbangan ataupun substansi pasal per pasalnya Namun, John menjelaskan bahwa diskursus beneficial owner muncul berkat kerjasama antara global forum dan Financial Action Task Force (FATF).

Global forum punya tujuan mendorong keterbukaan informasi untuk kepentingan perpajakan supaya wajib pajak di seluruh dunia patuh dengan aturan perpajakan yang berlaku di mana identitas wajib pajak terdaftar. Sementara, FATF punya tujuan mendorong negera-negara untuk melawan praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme. Singkat cerita, kedua lembaga ini berkolaborasi dan mendorong keterbukaan informasi terkait beneficial owner untuk memudahkan membuka tabir atas dua bidang tersebut.

“A punya aset di singapura. A tempatkan dana di Indonesia atas nama orang di Singapura yang notabene hanya nominee (pinjam nama), sebenrnya yang punya aset adalah A. A gunakan namanya kemudian tempatkan ke dalam portfolio di Indonesia. A dapatkan fasilitas namanya treaty benefit sehingga bayar pajaknya bisa murah atau bahkan tidak bayar pajak di Indonesia. tindakan A gunakan nama atau orang yang ada di singapura secara hukum dia legal ownership tapi secara ekonomi, A beneficial owner-nya,” kata John.

Terlepas dari hal itu, John berharap pemerintah dapat menyelsaikan instrumen hukum terkait beneficial owner mengingat kurang dari tiga bulan atau sekira Oktober 2017, global forum akan melakukan asesmen. Bila hasil asesmen tersebut buruk, tentunya Indonesia akan dikucilkan dari pergaulan internasional lantaran dianggap tidak mampu melakukan transparansi dari para penghindar pajak atau aggresive tax planning.

“Kalau tidak meningkat, kita akan ditaruh sebagai non-cooperative jurisdiction oleh lembaga internasional seperti global forum, FATF (Financial Action Task Force), dan Uni Eropa. Rating yang tertinggi adalah compliant. Minimal kita di bawah satu tingkat (dari compliant) yakni largely compliant. Tapi kita harapkan complaint,” kata John.

Selain dikucilkan dari pergaulan, Indonesia juga akan kehilangan kesempatan untuk meminta pertukaran informasi berdasarkan permintaan secara resiprokal kepada negara atau yurisdiksi mitra. Sebagai contoh, Ditjen Pajak menerima data informasi keuangan dalam rangka pertukaran informasi keuangan secara otomatis (automatic exchange of information/AEoI) yang sesuai dengan standar yang ditetapkan yakni Common Report Standard (CRS). Namun, dalam hal Ditjen Pajak menilai data yang diberikan tersebut tidak lengkap, maka Indonesia berhak minta data berdasarkan permintaan (by request).

Tetapi, apabila hasil asessment tahap kedua mendapat hasil yang buruk atau dianggap non-compliance, maka permintaan tersebut tidak dapat dilakukan oleh Ditjen Pajak kepada negara atau yurisdiksi mitra. “Jadi yang on request itu luas sekali (jenis permintaan datanya), kalau yang AEoI itu informasi yang diminta sudah standar (sesuai CRS). Ini tidak perlu bilateral agreement yang penting kita di-assesment terus. Kalau rating rendah maka kita akan dikucilkan,” kata John.

Tags:

Berita Terkait