Suara Keprihatinan atas Perppu Ormas Datang dari Kampus
Berita

Suara Keprihatinan atas Perppu Ormas Datang dari Kampus

Dinilai melanggar konsep negara hukum dan kemunduran kedaulatan rakyat

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pembubaran ormas. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pembubaran ormas. Ilustrator: BAS
Reaksi terhadap terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan belum juga hilang. Mereka yang menolak atau menentang terbitnya Perppu Ormas tersebut sudah mendaftarkan permohonan pengujian ke Mahkamah Konstitusi.  Salah satunya Hizbut Tahrir Indonesia, organisasi yang pendaftaran organisasinya di Kementerian Hukum dan HAM dibatalkan.

Dari kampus, suara keprihatinan juga bergema. Antara lain datang dari dua kampus ternama, Universitas Indonesia di Depok, dan Universitas Padjadjaran di Bandung. Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum UI menyebut Perppu Ormas layaknya "senjata pemusnah massal" terhadap hak politik rakyat dengan potensi kriminalisasi bagi anggota ormas secara sewenang-wenang oleh rezim Pemerintah. Sebab, ormas dapat dibubarkan tanpa lebih dahulu ada putusan pengadilan. Alhasil, penilaian subjektif Pemerintah akan berperan.

Ditambah lagi pasal 82A Perppu yang mengancam ‘setiap orang’ yang menjadi anggota/pengurus Ormas yang pahamnya bertentangan dengan Pancasila. Ancamannya tak tanggung-tanggung: pidana penjara 5-20 tahun, bahkan seumur hidup. Ormasnya bisa dibubarkan, dan pengurus atau anggotanya bisa dipenjarakan.

(Baca juga: Perppu Ormas Kembali Digugat ke MK).

PSHTN FH UI berpendapat Perppu Ormas bertentangan dengan Konstitusi dan mengancam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Kebijakan ini bertentangan dengan UUD 1945 yang telah memberikan jaminan bagi kemerdekaan berserikat dan berkumpul sebagai salah satu hak asasi yang diakui secara universal. Bahkan hak menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan juga menjadi salah satu yang dijamin hak konstitusionalnya sejak masa kemerdekaan Indonesia.

(Baca juga: Perppu Ormas Ancam Hak Kebebasan Berserikat).

Ketua PSHTN FHUI Mustafa Fakhri menjelaskan hak subjektif yang diberikan pada Presiden terkait Perppu harus dipahami secara hati-hati. “Hak subjek Pemerintah dalam penerbitan Perppu harus dibaca sebagai konstitusional bersyarat,” katanya kepada hukumonline.

Secara pribadi Mustafa menilai Perppu Ormas masih terikat dengan persetujuan DPR, untuk memastikan apakah alasan kegentingan memaksa bisa diterima atau tidak. “Apalagi (jika) substansinya anti-demokrasi,” tambah Mustafa.

Dengan mengacu dasar konstitusional yang sama dengan Pemerintah yaitu Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan mengacu kepada Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, PSHTN justru berpendapat Perppu Ormas tersebut tidak memiliki urgensi untuk dibentuk karena tidak adanya kegentingan yang memaksa. PSHTN mengkritisi potensi munculnya kepemimpinan otoriter jika pembubaran Ormas tidak melibatkan lembaga peradilan.

Hal lain yang juga dikritik PSHTN ialah pembuatan norma dengan sanksi pidana oleh Presiden tanpa persetujuan wakil-wakil rakyat di DPR. Hal ini mengabaikan prinsip check and balances dalam sebuah negara berkedaulatan rakyat atas dasar hukum.

PSHTN menduga tengah terjadi hubungan politik yang tidak sehat antara Presiden dengan DPR sehingga Presiden mengambil tindakan “potong kompas” untuk melaksanakan kebijakan atas dasar kewenangan dalam keadaan darurat dan bukan melalui prosedur normal. Hal ini menjadi masalah ketika yang terjadi sebenarnya ialah tidak terpenuhinya syarat kegentingan memaksa.

Terkait asas contrarius actus yang juga menjadi alasan Presiden menetapkan Perppu Ormas, PSHTN menilai bahwa Pemerintah salah memahami perbedaan antara izin dan pengesahan. “Ini wilayah hukum administrasi. Jadi dalam rezim pengesahan, melekat hak asasi dari yang disahkan. Beda jauh dengan perizinan yang bisa dicabut sewaktu-waktu,” jelas Mustafa.

(Baca juga: Menguji Ketepatan Asas Contrarius Actus dalam Perppu Ormas).

Dalam pertimbangan Perppu, Presiden menyebutkan ketiadaan asas tersebut dimana secara singkat menjelaskan bahwa lembaga yang mengeluarkan izin atau memberikan pengesahan terhadap ormas juga berwenang membatalkannya. Mustafa mencontohkan bahwa pernikahan membutuhkan pengesahan atas nama negara melalui Presiden untuk mendapatkan hak layanan  publik sebagai pasangan suami-istri. Begitu pula akta kelahiran anak dari pasangan suami-istri yang telah disahkan tersebut sebagai pengesahan anak Warga Negara Indonesia (WNI). Namun pengesahan ini berbeda dengan izin dalam urusan hukum administrasi negara lainnya.

Dengan logika hukum yang digunakan Presiden tersebut terkait asas contrarius actus, PSHTN melihat adanya potensi Pemerintah akan menggunakannya untuk jenis badan hukum lainnya yang membutuhkan pengesahan dari pemerintah misalnya yayasan dan partai politik. Artinya, badan hukum yayasan dan partai politik yang didaftarkan pengesahannya di Kementerian Hukum dan HAM dapat pula dicabut sewaktu-waktu legalitasnya oleh rezim Pemerintah tanpa melalui peradilan.

Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran juga menyatakan Perppu Ormas tidak memenuhi syarat konstitusional dan mengancam demokrasi.

Setidaknya ada tiga alasan yang menjadi argumentasi PSKN. Pertama, penetapan Perppu Ormas tidak memenuhi unsur hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 dan Putusan MK No. 38/PUU-VII/2009 karena Pemerintah tidak memiliki hambatan-hambatan yang nyata untuk mengubah UU Ormas melalui prosedur yang normal.

Kedua, Perppu Ormas secara substansial melakukan pembatasan-pembatasan terhadap hak berserikat, dan hak berpendapat warga negara dan menghilangkan kewenangan pengadilan untuk menilai tindakan Ormas dan tindakan represif pemerintah. Oleh karena itu, Perppu Ormas berpotensi melanggar prinsip due process of law yang menjadi prinsip dasar dari konsep negara hukum.

Ketiga, Perppu merupakan produk hukum yang memiliki unsur kediktatoran karena dapat langsung berlaku tanpa melalui persetujuan DPR. Oleh karena itu, PSKN berpendapat bahwa materi muatan perppu hanya dapat mengatur hal-hal yang bersifat urusan pemerintahan dan tidak dapat mengatur hal-hal yang bersifat ketatanegaraan, termasuk mengatur atau membatasi hak asasi manusia.

Ketua PSKN, Indra Perwira, menjelaskan Perppu memang merupakan hak subjektif konstitusional milim Presiden, namun tetap ada pembatasan. “Tidak ada masalah dengan kewenangan Presiden menerbitkan Perppu, yang jadi masalah itu latar belakang terbitnya, tujuan hukum, dan isinya,” jelasnya kepada hukumonline.

PSHTN FH UI dan PSKN Unpad mendesak DPR untuk menolak Perppu Ormas pada masa sidang berikutnya. Kedua pusat kajian juga mengingatkan Pemerintah untuk senantiasa mengelola negara sesuai dengan koridor hukum yang berdasarkan Konstitusi dan asas-asas hukum yang berlaku umum demi menjaga demokrasi dan hak asasi manusia. Pengabaian asas-asas hukum berpotensi menjadikan Pemerintah sebagai rezim yang represif sebagaimana pernah ditolak melalui gerakan reformasi 1998.

(Baca juga: Pembubaran Ormas, Tunggu Sikap DPR atas Perppu).

Kedua lembaga studi hukum yang mewakili UI dan UNPAD ini mewanti-wanti agar kewenangan Presiden dalam membentuk Perppu jangan sampai disalahgunakan untuk menghidupkan kembali rezim otoritarianisme baru dan mematikan kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia.
Tags:

Berita Terkait