"Kunci" KPK Buktikan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Utama

"Kunci" KPK Buktikan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Ada dua hal penting yang harus dibuktikan untuk mempidanakan korporasi seperti termuat dalam Pasal 3 dan Pasal 4 PERMA Penanganan Tindak Pidana Korporasi.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
PT Duta Graha Indah (DGI) Tbk yang kini telah berganti nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE) Tbk merupakan korporasi pertama yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka. Meski penetapan tersangka PT DGI Tbk telah terungkap sejak pekan lalu, KPK baru mengumumkan secara resmi pada Senin (24/7).

Bertolak dari penetapan tersangka PT DGI Tbk, mungkin masih ada yang bertanya-tanya, sebenarnya apa "kunci" KPK dalam menentukan suatu perbuatan korupsi sebagai perbuatan korporasi. Selain itu, apa saja yang harus dibuktikan KPK untuk memenuhi syarat pemidanaan korporasi jika nantinya perkara PT DGI Tbk ini diajukan ke persidangan.

Ketua Umum Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Yunus Husein mengatakan, sesuai Pasal 183 KUHAP, pada prinsipnya, hakim memutuskan suatu perkara berdasarkan dua alat bukti yang sah. Untuk memenuhi syarat pemidanaan, KPK harus dapat membuktikan setiap unsur yang didakwakan terhadap korporasi.

"Dari sekian banyak unsur (dakwaan), ada subjeknya, perusahaan, ada perbuatan yang dilarang, kemudian ada objeknya, ada syarat-syarat pemidanaan, itu semua dibuktikan (dalam proses pemeriksaan di persidangan). Tapi, ada dua menurut saya yang paling penting sekali," katanya kepada hukumonline, Selasa (25/7). Baca Juga: “Taji” KPK Tersangkakan Korporasi dan Konsekuensi Perusahaan Terbuka (Bagian I)

Pertama, sambung Yunus, membuktikan apakah perbuatan korupsi yang dilakukan itu adalah perbuatan korporasi. Ia berpendapat, menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan korporasi, KPK dapat mempedomani Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.

Pasal 3 PERMA No.13 Tahun 2016 berbunyi, "Tindak pidana oleh korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama korporasi di dalam maupun di luar lingkungan korporasi".

Ketentuan Pasal 3 PERMA No.13 Tahun 2016 ini pada dasarnya menggunakan doktrin vicarious liability. Artinya, apabila orang dengan hubungan kerja atau hubungan lain dengan korporasi melakukan tindak pidana atas nama korporasi, maka perbuatan orang tersebut dianggap perbuatan korporasi.

Namun, menurut Yunus, "orang" yang dimaksud Pasal 3 ini tidak melulu Direktur Utama atau Presiden Direktur, bisa juga pegawai biasa atau orang yang memiliki hubungan "lain". Seperti, pada kasus suap perusahaan asal Inggris, Roll-Royce. Penyuapan belum tentu dilakukan direksi, tetapi bisa orang lain atau biasa disebut associated person.

"Bisa (juga) orang-orang yang tidak jadi pengurus, tidak jadi pegawai, tapi dia mengendalikan perusahaan. Mengendalikan itu dalam arti individu yang bisa menentukan pengurus perusahaan, mengendalikan keputusan, mengendalikan keuntungan yang diperoleh perusahaan. Itu termasuk bisa dimintai pertanggungjawaban kepada korporasi," terangnya.

Tentu, pembuktian mengenai "hubungan kerja" atau "hubungan lain" ini tidak berdiri sendiri. Yunus mengungkapkan, pembuktian kedua yang tidak kalah penting mengenai kesalahan dari korporasi itu sendiri. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) PERMA No.13 Tahun 2016, ada beberapa indikator untuk menilai kesalahan korporasi.
Pasal 4 ayat (2) PERMA No.13 Tahun 2016
(2) Dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi, hakim dapat menilai kesalahan korporasi sebagaimana ayat (1) antara lain:
a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi; b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Yunus merinci, "keuntungan" atau "manfaat" yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a PERMA No.13 Tahun 2016 tidak selalu berbentuk uang yang mengalir ke rekening perusahaan. Bisa pula berupa fasilitas, kemudahan, mendapat izin, menang tender, serta keuntungan atau manfaat lain yang diperoleh perusahaan dari tindak pidana.    

Lebih lanjut, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang pernah menjabat Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ini menjelaskan, korporasi yang membiarkan terjadinya tindak pidana juga dapat dimintakan pertanggungjawaban. Selain itu, ada Pasal 4 ayat (2) huruf c yang mengadopsi doktrin strict liability.

"Kalau perusahaan tidak ada upaya pencegahan atau dianggap membiarkan, dia bisa bertanggung jawab. Kecuali, dia bisa buktikan adanya upaya-upaya pencegahan. Misalnya, dia punya governance yang baik, punya risk management (manajemen risiko) yang bagus, compliance (kepatuhan) yang bagus. Dia bisa bebas dari strict liability," tuturnya. Baca Juga: Prof Surya Jaya: PERMA Kejahatan Korporasi Dukung Good Corporate Governance

Senada, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, selain mendasarkan pada alat bukti yang cukup, KPK, dalam menetukan suatu perbuatan korupsi sebagai perbuatan korporasi berpedoman pada PERMA No.13 Tahun 2016. Menurutnya, banyak teori dan indikator yang dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan korporasi.

Sebagai contoh, ketika manajer atau direktur melakukan tindakan atas nama perusahaan, tentu apa yang dia tanda tangani atau sepakati dianggap sebagai tindakan korporasi. Begitu pula ketika suatu perbuatan mempunyai implikasi, berupa keuntungan atau manfaat terhadap korporasi. Contoh lain, dapat dilihat dari uang-uang yang digunakan untuk melancarkan aksi tindak pidana, apakah berasal dari "kocek" pribadi atau perusahaan.

Laode mengungkapkan, ada sejumlah pendekatan yang dapat digunakan KPK untuk menjerat korporasi. Bisa menetapkan korporasinya terlebih dulu sebagai tersangka, baru orangnya (pengurus korporasi), atau sebaliknya. Bisa pula keduanya langsung ditersangkakan sekaligus. Khusus untuk PT DGI Tbk, KPK menetapkan orangnya terlebih dahulu, baru kemudian korporasinya.

"Setelah dilihat, bukan cuma peran orang-perorangan, tapi juga korporasinya (punya peran) cukup menentukan. Oleh karena itu ada kebijakan dari korporasinya, sehingga orang-orang tersebut melakukan hal-hal yang dilarang oleh UU Tipikor, maka PT DGI Tbk ditetapkan juga (sebagai tersangka)," katanya saat mengumumkan penetapan tersangka PT DGI Tbk di Gedung KPK, Senin (24/7/2017). 

PT DGI Tbk ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata (RSPKPIP) Universitas Udayana Tahun Anggaran (TA) 2009-2010. Penetapan tersangka PT DGI Tbk merupakan pengembangan dari penyidikan perkara sebelumnya.  

Seperti diketahui, dalam kasus ini, KPK telah menetapkan dua orang tersangka, yaitu Dudung Purwadi (DPW) selaku Direktur Utama PT DGI Tbk saat itu, serta mantan Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan Universitas Udayana Made Meregawa (MDM) selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan RSPKPIP.

Laode menerangkan, PT DGI Tbk melalui Dudung diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya/menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi terkait proyek pembangunan RSPKPIP Universitas Udayana TA 2009-2010 senilai Rp138 miliar. Akibatnya, negara diduga dirugikan sekitar Rp25 miliar.

Secara umum, KPK menemukan sejumlah penyimpangan dalam pengadaan proyek pembangunan RSPKPIP Universitas Udayana TA 2009-2010 ini. Pertama, dugaan rekayasa dalam penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Kedua, dugaan rekayasa dalam proses lelang atau tender dengan mengkondisikan PT DGI Tbk sebagai pemenang tender.

Ketiga, dugaan mengenai adanya aliran dana dari PT DGI Tbk pada perusahaan lain dan aliran dana dari perusahaan mantan anggota DPR sekaligus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazarudin kepada PPK dan panitia. Keempat, dugaan atas kemahalan satuan harga, sehingga pemerintah membayar lebih tinggi dari yang seharusnya.

Atas perbuatannya, PT DGI Tbk disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Dalam kasus ini, KPK telah melakukan pemeriksaan terhadap 27 orang saksi, termasuk mantan Komisaris PT DGI Tbk Sandiaga Salahuddin Uno.

Mengubah paradigma
Sebenarnya, selain kasus RSPKPIP Universitas Udayana, nama PT DGI Tbk kerap disebut dalam sejumlah perkara yang menjerat Nazaruddin di KPK. Sebut saja, kasus Wisma Atlet dan Gedung Serbaguna Provinsi Sumatera Selatan, kasus Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, serta kasus suap dan pencucian uang Nazaruddin.

Dalam kasus Wisma Atlet, Nazaruddin bersama sejumlah pihak disebut menerima suap dari Manager Marketing PT DGI Tbk Muhammad El Idris terkait pengurusan proyek senilai Rp194,618 miliar tersebut. Bersama sejumlah pihak itu, Nazaruddin disebut mengkondisikan agar PT DGI Tbk memenangkan proyek Wisma Atlet. Alhasil, PT DGI Tbk ditetapkan sebagai pemenang lelang dan diperkaya sebesar Rp49,010 miliar.

Sementara, dalam kasus Hambalang, Nazaruddin dan beberapa saksi lain sempat menyebut bahwa proyek bernilai triliunan rupiah itu menjadi rebutan sejumlah pihak. Nazaruddin sendiri mengaku ingin mendapatkan proyek Hambalang melalui PT DGI Tbk. Bahkan, Nazaruddin dan PT DGI Tbk disebut telah mengeluarkan dana miliaran. Namun, pada akhirnya, yang mendapatkan proyek adalah Kerja Sama Operasi PT Adhi Karya-PT Wijaya Karya.

Untuk kasus suap dan pencucian uang Nazaruddin, PT DGI Tbk disebut memberikan fee sejumlah Rp23,119 miliar kepada Nazaruddin karena telah mengupayakan PT DGI Tbk mendapatkan sejumlah proyek pemerintah. Uang-uang hasil korupsi yang diperoleh Nazaruddin, kemudian dibelanjakan, antara lain untuk membeli saham di beberapa perusahaan.

Meski banyak kasus yang menyebut keterlibatan PT DGI Tbk, mengapa KPK hanya menjerat PT DGI Tbk dengan kasus korupsi pembangunan RSPKPIP Universitas Udayana? Laode menjelaskan, dugaan-dugaan itu masih menjadi bagian dari penyelidikan KPK. Sebab, untuk menentukan kesalahan korporasi, KPK harus memiliki minimal bukti permulaan yang cukup.

"Apakah nanti akan merembet ke perusahaan-perusahaan lain? Apakah juga misalnya KPK akan menerapkan TPPU? Tergantung dari hasil penyidikan dan penyelidikan yang dilakukan KPK. Seandainya dalam perkembangan penyidikan didapatkan hal-hal, unsur-unsur yang tepat untuk menerapkan TPPU, ya tidak tertutup kemungkinan," katanya.

Meski begitu, Laode menganggap penetapan tersangka PT DGI Tbk merupakan momentum untuk mulai mengubah paradigma penanganan perkara di KPK. Sudah saatnya KPK "bergerak" dari yang hanya mempidanakan orang, menjadi juga mempidanakan badan hukumnya. UU Tipikor dan UU TPPU pun telah jelas mengatur pertanggungjawaban korporasi.

Upaya KPK ini juga mendapat dukungan dari Yunus Husein. Ia berpendapat, KPK memang harus didorong untuk berani memulai menerapkan pidana korporasi. Pasalnya, sampai sekarang banyak pelaku perusahaan yang "lolos" dari pemidanaan. Hanya ada dua korporasi yang pernah dijerat sebagai pelaku korupsi dan itu bukan di KPK, melainkan di Kejaksaan.

"(Penetapan tersangka korporasi ini) Bisa (menjadi) pintu masuk. Bukan hanya untuk mengejar aset perusahaan, kemudian aset-aset pengurus kalau ada pengurusnya yang ikut 'bermain', tetapi juga untuk mengejar dengan pencucian uang. (Dengan TPPU) Hasilnya lebih banyak dan jangkauannya lebih jauh," ujarnya. Baca Juga: “Taji” KPK Tersangkakan Korporasi dan Konsekuensi Perusahaan Terbuka (Bagian II)

Pandangan serupa juga sempat disampaikan pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Yenti Garnasih. Menurutnya, kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan organ korporasi atau orang yang memiliki hubungan lain dengan korporasi berdasarkan "keputusan" (kebijakan) korporasi. Jadi, ia menilai, jika hanya mempidanakan orangnya, tidak akan menimbulkan efek jera. Justru, potensi "korban" kembali berjatuhan masih terbuka karena "keputusan" korporasi tersebut tetap berjalan.

"'Kebijakan' untuk melakukan korupsi akan jalan terus, karena tidak menutup kemungkinan banyak yang melakukan seperti itu. Misalnya, perusahaan, untuk memperkecil pengeluaran, menggunakan bahan-bahan yang tidak legal (mark up), berbahaya, tapi yang dihukum hanya pelaku perorangan. Apa akibatnya? Perorangan masuk penjara dan didenda, tapi 'kebijakannya' (illegal) jalan terus, masyarakat tidak terlindungi," katanya. 
Tags:

Berita Terkait