Kenali Merek-Merek Bisnis yang Tak Bisa Didaftarkan
Workshop Hukumonline 2017:

Kenali Merek-Merek Bisnis yang Tak Bisa Didaftarkan

Ada penambahan merek yang tak bisa didaftarkan dalam UU Merek 2016.

Oleh:
CR-24
Bacaan 2 Menit
Para pembicara workshop yang diselenggarakan hukumonline. Foto: Hukumonline
Para pembicara workshop yang diselenggarakan hukumonline. Foto: Hukumonline
Perubahan regulasi acapkali membawa perubahan pada syarat dan tata cara yang harus dipenuhi. Jika tak paham ada perubahan itu, yang dirugikan adalah para pemangku kepentingan. Apalagi jika persyaratan itu menyangkut penanda usaha. Itu pula yang terjadi dalam pendaftaran merek.

Setelah ada perubahan regulasi merek, dari UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, menjadi UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, ternyata belum banyak dipahami perbedaannya. Karena itu, hukumonline telah menggelar workshop di Jakarta, Selasa (25/7) kemarin, membahas perbedaan mekanisme di kedua Undang-Undang tersebut, beserta perkembangan regulasi terbaru. Regulasi terbaru yang dikeluarkan adalah Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek.

Perbedaan itu bisa dilihat pada syarat dan  tata cara permohonan pendaftaran. Dalam UU Merek 2001 syarat pendaftaran merek hanya dua, pertama dilakukan secara tertulis dan biayanya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). UU Merek 2016 memungkinkan permohonan pendaftaran secara elektronik melalui laman resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen KI Kemenkumham). Jadi, pemohon bisa mengajukan secara elektronik atau non elektronik.

Mengenai biaya, ditentukan kelas barang. "Biaya pendaftaran merek ditentukan per kelas barang dan/atau jasa," kata Junarlis, Kasubdit Permohonan dan Publikasi Merek Ditjen Kekayaan Intelektual, dalam workshop hukumonline tersebut.
Syarat dan Tata Cara Permohonan Merek
UU No. 15 Tahun 2001UU No. 20 Tahun 2016
Diajukan secara tertulis Diajukan secara elektronik dan non elektronik
Biaya diatur PP Biaya pendaftaran merek ditentukan berdasarkan per kelas barang dan/atau jasa
Label merek yang ditampilkan
- 3 Dimensi : bentuk karakteristik
- Suara : notasi dan rekaman suara
- Hologram : Tampilan visual dari berbagai sisi
Perbedaan lain juga terlihat pada tanggal penerimaan. Pada UU Merek 2001 diberikan dalam hal seluruh persyaratan administrasi terpenuhi sesuai dengan pasal 7, 8, 9, 10, 11 dan Pasal 12. Sebaliknya, Dalam UU Merek 2016, tanggal penerimaan diberikan setelah memenuhi persyaratan minimum seperti formulir permohonan yang diisi lengkap, label merek dan bukti pembayaran biaya.

(Baca juga: Ini Perbedaan Merek Biasa, Merek Terkenal, dan Merek Termasyhur).

Selanjutnya, mengenai perbedaan permohonan. Dalam UU Merek 2001, pengumuman dalam waktu paling lama 10 hari setelah tanggal disetujuinya permohonan, dan lamanya pengumuman berlangsung tiga bulan. Dalam UU yang baru, pengumuman memakan waktu sedikit lebih lama yaitu 15 hari dan waktu pengumuman relatif lebih singkat yaitu dua bulan.

Tidak dapat didaftarkan
Dalam workshop sehari itu juga terungkap merek-merek yang tak dapat didaftarkan. UU Merek 2016 menambahkan merek yang tak dapat didaftarkan yaitu jika merek tersebut bertentangan dengan ideologi negara Pancasila.
Mereka yang Tidak Dapat Didaftar
UU Nomor 15 Tahun 2001 UU Nomor 20 2016
Pemohon yang beritikad tidak baik Bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas, agama, kesusilaan atau ketertiban umum
Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas, agama, kesusilaan atau ketertiban umum Sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya meyebut barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya
Tidak memiliki daya pembeda Memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kualitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau jasa dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa sejenis
Telah menjadi milik umum Memuat keterangan yang tidak sesuai kualitas, manfaat, atau khasiat barang dan/atau jasa yang diproduksi
Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya Tidak memiliki daya pembeda
Merupakan nama umum, dan/atau lambang milik umum

Kasus sengketa merek
Partner pada Kantor Hukum Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP), Linna Simamora memberi contoh beberapa sengketa merek yang diproses di pengadilan. Salah satu contohnya dalah sengketa merek IKEA yang kasusnya bahkan sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

Pengadilan Niaga mengabulkan gugatan perusahaan asal Surabaya yaitu PT Ratania Khatulistiwa atas merek IKEA yang juga digunakan oleh INTER IKEA SYSTEM B.V. Putusan ini pun dikuatkan oleh Mahkamah Agung dengan alasan bahwa merek yang tidak digunakan oleh pemiliknya selama 3 tahun berturut- turut dapat dihapus dari Daftar Umum Merek.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 61 ayat (2) huruf a UU Merek 2001, maka merek yang tidak digunakan oleh pemiliknya selama 3 tahun berturut-turut dapat dihapus dari Daftar Umum Merek. Hal mana telah terbukti adanya dalam perkara ini, yaitu bahwa sesuai hasil pemeriksaan terbukti merek dagang IKEA untuk kelas barang/jasa 21 dan 20 terdaftar atas nama tergugat masing-masing telah tidak digunakan oleh tergugat selama tiga tahun beruturut-turut sejak merek dagang tersebut terdaftar pada turut tergugat.

(Baca juga: Ini Alasan MA Putuskan IKEA Jadi Milik Pengusaha Surabaya).

Namun putusan ini diwarnai dissenting opinion dari salah satu hakim anggota yaitu I Gusti Agung Sumanatha yang menyatakan Merek IKEA milik tergugat merupakan merek terkenal sehingga tidak terdapat alasan untuk dapat menghapus merek tersebut. Tetapi, hakim mengambil putusan dengan suara terbanyak dan menyatakan bahwa permohonan kasasi harus ditolak. Dissenting ini menurut Linna merupakan celah hukum karena salah satu anggota majelis mengangap jika IKEA adalah merek terkenal dan mempunyai toko yang cukup besar serta telah tersebar di Indonesia.

Dalam sengketa lain, merek ‘Goodyear’, The Goodyear Tire & Rubber Company (GTRC) menggugat PT Banteng Pratama Rubber (BPR) karena menjual ban dengan merek ‘goodyear’. GTRC menilai tindakan BPR mempergunakan merek ‘goodyear’ sebagai bentuk pelanggaran merek. Alasannya selaku pemegang merek yang sekaligus nama perusahaan, nama ‘goodyear’ seharusnya dilindungi.

"Kenapa tergugat menjual barang yang sama persis. Kenapa tergugat berani karena mereka mendasarkan perjanjian lisensi. Penggugat dan tergugat ada PT Goodyear Indonesia yang pegang lisensi. Tergugat bilang tidak salah karena pegang lisensi. Tapi perjanjian lisensi sudah habis tahun 93-94. Fakta materiil yang jadi pertimbangan majelis. Pelaku bisnis biasa, lisensi perjanjian abis tapi masih melakukan," ujar Associate pada Kantor Hukum HPRP Leonardo Richo Sidabutar.

Menurut Richo, hakim ketika itu memutuskan kedua belah pihak (PT Goodyear Indonesia dan BPR) menyimpangi jangka waktu berakhirnya lisensi. Hal itu dibuktikan dengan masih dibayarkannya royalti kepada PT Goodyear Indonesia. "Hakim mengatakan kedua belah pihak menyimpangi jangka waktu itu dibuktikan dengan pemberian royalti. Fakta itu yang jadi pembeda. Putusannya agak menarik karena majelis hakim sependapat dengan dalil penggugat kalau goodyear menjadi merek terkenal. Biasanya kalau dinyatakan sebagai merek terkenal ya dibilang pelanggaran, tapi ini enggak," tutur Richo.
Tags:

Berita Terkait