Ada Masalah Regulasi Penanganan Pengungsi di Indonesia
Peringatan Hari Pengungsi Dunia:

Ada Masalah Regulasi Penanganan Pengungsi di Indonesia

Peraturan Presiden yang diterbitkan Pemerintah memberikan tugas tambahan kepada Ditjen Imigrasi. Regulasi apa yang dibutuhkan?

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Peringatan Hari Pengungsi Dunia kerjasama UNHCR dan Ditjen Imigrasi, di Jakarta, Selasa (25/7). Foto: EDWIN
Peringatan Hari Pengungsi Dunia kerjasama UNHCR dan Ditjen Imigrasi, di Jakarta, Selasa (25/7). Foto: EDWIN
Peringatan Hari Pengungsi Dunia dilaksanakan Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM bekerjasama dengan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) di Jakarta, Selasa (25/7) kemarin. Bagi Indonesia, peringatan Hari Pengungsi ini membuka kembali persoalan penanganan pengungsi yang belum tuntas. Indonesia menjadi tempat antara dan tujuan bagi sejumlah pengungsi.

Saat ini diperkirakan 14.405 orang pengungsi asing dan pencari suaka yang bermukim di Indonesia. Sebanyak 1.946 orang tinggal di rumah detensi imigrasi yang tersebar di 13 wilayah; dua ribuan orang ditangani community house, dan sisanya diizinkan mandiri mengurus keperluan mereka dengan tetap diawasi Imigrasi. Ironisnya, ada pengungsi yang sudah tinggal 5 sampai 10 tahun di Indonesia belum tertangani dengan baik.

Salah satu kendala di lapangan adalah regulasi. Indonesia belum meratifikasi Konvensi PBB mengenai Status Pengungsi 1951 (1951 Refugee Convention) dan Protokol Pengungsi 1967 (Protocol Relating to the Status of Refugee). Kepala Bagian Humas dan Umum, Ditjen Imigrasi Agung Sampurno, mengatakan para pengungsi asing ditampung di Indonesia tanpa payung yang memadai. “Tidak ada satu Undang-Undang di Indonesia yang (khusus) mengatur masalah pengungsi,” ujarnya dalam peringatan Hari Pengungsi Dunia.

(Baca juga: Indonesia Perlu Ratifikasi Konvensi tentang Pengungsi).

Satu-satunya Undang-Undang yang menyingggung penanganan pengungsi asing dalam hukum nasional Indonesia adalah UU No. 37 Tahun 1999  tentang Hubungan Luar Negeri (UU Hubungan Luar Negeri). “Disebutkan terkait dengan pengungsi diatur kemudian dengan Perpres,” jelasnya.

Pasal 27 Undang-Undang Hubungan Luar Negeri menyebutkan Presiden menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri dengan memperhatikan pertimbangan Menteri. Barulah pada masa Presiden Joko Widodo terbit peraturan turunan dari Undang-Undang itu, yakni  Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016  tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (Perpres Pengungsi Luar Negeri), yang disahkan Presiden Joko Widodo, akhir tahun lalu. Perpres ini memberikan dasar pelayanan yang diberikan petugas imigrasi kepada para pengungsi.

(Baca juga: Belum Terkelola dengan Baik, Perpres Penanganan Pengungsi Disosialisasikan).

Meskipun belum meratifikasi, Indonesia berkomitmen untuk menangani para pengungsi atas dasar kemanusiaan sesuai Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Persoalannya, masalah pengungsi bukan hanya ranah tanggung jawab imigrasi. Lagipula, imigrasi memiliki keterbatasan menangani pengungsi yang mencapai belasan ribu orang.

Imigrasi berpegang pada UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (UU Keimigrasian). Perpres tahun 2016 menambah kewenangan penangan pengungsi kepada Ditjen Imigrasi.Dalam UU Keimigrasian, secara terbatas diatur bahwa keimigrasian berkaitan dengan lalu lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknyan kedaulatan negara. layanannya pun hanya meliputi penegakan hukum, keamanan negara, dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat. Jelas hal ini berbeda karakter dengan layanan kemanusiaan yang harus diberikan kepada pengungsi.

Menurut Agung, personel Imigrasi tidak dilatih menjadi pekerja sosial dengan kepiawaian menangani masalah kemanusiaan. Sejak awal, petugas Imigrasi berperan sebagai bagian dari penegakan hukum keimigrasian. Perpres Pengungsi Luar Negeri menurut Agung baru menjadi solusi singkat yang belum tuntas soal persoalan kebijakan penanganan pengungsi asing. “Ketika bicara penanganan pengungsi berarti dari hulu sampai hilir, Indonesia bukan negara imigran,” katanya.

Indonesia juga menghadapi kurangnya fasilitas penampungan pengungsi. Sebagian masih dititipkan ke rumah detensi Imigrasi. Fasilitas yang pada dasarnya merupakan penjara sementara bagi orang asing yang tersangkut pelanggaran keimigrasian dimanfaatkan pula untuk menampung pengungsi. Padahal standar operasi dan layanan rumah detensi tidak ubahnya penjara bagi pelaku kejahatan keimigrasian mulai dari kamar berjeruji besi hingga toilet yang pas-pasan.  “Ada 13 rumah detensi Imigrasi se-Indonesia, tidak didesain menampung orang ribuan,” tegasnya.

Belum lagi biaya penanganan para pengungsi. Negara  tidak memiliki pos anggaran untuk menangani pengungsi. “Biayanya siapa yang bayar? Anggaran rumah detensi hanya untuk 10-20 orang, tiba-tiba ada pengungsi 500 orang darimana biayanya?”.

Untuk mengatasi masalah layanan makanan dan keperluan pokok pengungsi, dirinya mengakui telah ada keterlibatan dari UNHCR serta lembaga kemanusiaan internasional lainnya sebagai donor. Hanya saja, penggunaan anggaran di rumah detensi jelas salah sasaran dan sangat terbatas. Akhirnya Imigrasi menerapkan kebijakan untuk membolehkan pengungsi anak, wanita hamil, dan lanjut usia menginap di community house yang didanai lembaga donor. Namun menjadi rumit mengenai pengawasan mobilitas pengungsi di wilayah Indonesia karena tidak dalam jangkauan petugas Imigrasi.

Masalah sosial
Selain masalah-masalah teknis, Imigrasi juga mengkhawatirkan dampak kehadiran pengungsi dalam jangka waktu lama. Jika terjadi kekosongan hukum dalam penanganan pengungsi, imbasnya pada masalah sosial dan ketahanan negara.

Kalaupun sudah ada Perpres  Pengungsi Luar Negeri, regulasi ini hanya mengatur bagian kecil ketika tanggap darurat pertama; sebaliknya belum mengatur pencegahan, pemulangan, dan siapa yang bertanggung jawab secara utuh. “Sampai kapan mereka boleh tinggal di Indonesia? Sementara UNHCR sendiri tidak berani menjamin proses identifikasi dan verifikasinya bisa selesai sehari, sebulan, setahun atau sepuluh tahun? SOP-nya tidak ada,” tegas Agung.

(Baca juga: Kontras Soroti Penanganan Pengungsi di Indonesia).
Agung menunjukkan sejumlah contoh masalah sosial yang muncul di lapangan di mana pengungsi tinggal. Misalnya puluhan pengungsi Nigeria yang menggunakan uang saku dari UNHCR atau lembaga donor untuk penyalahgunaan narkotika. Ada juga pengungsi berusia muda yang menjadi gigolo di Batam;  menghamili anak gadis warga setempat; bahkan membawa lari istri orang. “Mereka banyak yang masih usia produktif, kebanyakan kegiatannya hanya makan dan tidur, bosan juga mungkin,” Agung menambahkan.

Dari segi ketahanan nasional, perlu diwaspadai apakah setiap orang asing yang menyatakan diri menjadi pengungsi ternyata mata-mata asing atau anggota jaringan teroris internasional yang bermaksud menyebarkan ideologinya. Belum lagi jika pengungsi tersebut membawa penyakit epidemi yang bisa mewabah di Indonesia, sementara pengungsi juga memiliki hak mobilitas serta berinteraksi dengan warga lokal.

“Dicegah jangan sampai merusak budaya yang ada. Regulasi kita belum mengatur mereka boleh tinggal berapa lama, nggak bisa deportasi, sampai selesai proses verifikasi sebagai pengungsi harus dilindungi, nah kalau negara penampung nggak ada yang mau, piye?” tegas Agung.

Ia berharap para pemangku kepentingan lintas instansi duduk bersama memikirkan bolong-bolong regulasi penanganan pengungsi di Tanah Air. Jika tidak, dampak yang dikhawatirkan Agung semakin potensial menimbulkan masalah berikutnya.

Tags:

Berita Terkait