Alasan MK Pengajuan PK Perdata Tetap Sekali
Berita

Alasan MK Pengajuan PK Perdata Tetap Sekali

Pengajuan PK lebih dari satu kali hanya untuk perkara pidana. Untuk perkara selain pidana, termasuk perkara perdata, pengajuan PK hanya satu kali.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materil Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait pengajuan peninjauan kembali (PK) hanya boleh diajukan sekali. Hal ini tertuang dalam putusan No. 108/PUU-XIV/2016 diajukan oleh Abdul Rahman C. DG Tompo yang diputus, Rabu (26/7/2017) kemarin. Intinya, MK memutuskan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) terhadap perkara selain pidana hanya sekali.

Dalam permohonannya, Abdur Rahman mendalilkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP hanya membolehkan pengajuan PK satu kali. Namun, norma ini dibatalkan melalui putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 yang berimplikasi PK dapat diajukan berkali-kali dalam perkara pidana meski akhirnya tak lama kemudian MA menerbitkan SEMANo. 7 Tahun 2014 yang tetap membatasi pengajuan PK hanya sekali. Sementara perkara perdata seperti kasus yang dialami Pemohon tidak terjangkau sama sekali oleh putusan MK ini.

Menurut Pemohon, ada inkonsistensi antara Pasal 66 ayat (1) UU MA, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dengan Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Ketidakkonsistenan ini melanggar prinsip negara hukum dan kepastian hukum yang adil. Padahal, setiap putusan MK ada prinsip ketika norma UU tertentu dihapus atau dimaknai inkonstitusional bersyarat otomatis berlaku bagi norma di UU lain. (Baca Juga: Pemohon Minta PK Berkali-Kali Berlaku Terhadap Perkara Lain)

Karenanya, Pemohon meminta kedua pasal itu dinyatakan inkonstitusionalsepanjang dimaknai permohonan PK dapat diajukan lebih dari satu kali dalam perkara pidana, perkara perdata, ataupun perkara lainnya. “Menyatakan Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai ke kuatan hukum mengikat, kecuali pengajuan permohonan PK lebih satu kali dalam perkara pidana, perdata ataupun perkara lain,” sebutnya dalam petitum permohonan.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan untuk perkara di luar perkara pidana, termasuk perkara perdata yang dimohonkan Pemohon, pemberlakuan PK tetap perlu dibatasi. Hal tersebut didasarkan pendapat Mahkamah dalam Putusan No. 16/PUU-VIII/2010, bertanggal 15 Desember 2010 tentang pengujian konstitusionalitas Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman.

Mahkamah berpendapat apabila dibuka keleluasaan mengajukan PK lebih dari satu kali untuk perkara selain pidana akan mengakibatkan penyelesaian perkara menjadi panjang dan tidak akan pernah selesai. Selain menimbulkan ketidakpastian hukum, keadaan ini bertentangan dengan asas litis finiri oportet (setiap perkara harus ada akhirnya), dan juga menimbulkan kerugian para pencari keadilan.

Mahkamah juga beralasan apabila PK bagi perkara selain pidana tidak dibatasi akan berpotensi digunakan pihak-pihak yang berperkara untuk mengulur-ngulur waktu penyelesaian perkara dengan mencari-cari novum baru. Hal tersebut biasanya bertujuan menunda pelaksanaan eksekusi.

“Jika hal ini yang terjadi maka dapat dipastikan pemberian rasa keadilan bagi para pencari keadilan dalam perkara selain pidana akan menjadi ancaman yang serius. sebab keadaan demikian akan menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus ketidakadilan yang justru bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan hukum. (Baca Juga: Ada WNI yang Minta PK Perdata Boleh Berkali-Kali

Berbeda dengan PK dalam perkara pidana yang tujuannya mencari kebenaran materiil dan perlindungan HAM dari kesewenang-wenangan negara. Karena itu, bagi Mahkamah melalui putusan ini ditegaskan bahwa untuk perkara pidana harus ada perlakuan yang berbeda dengan PK bagi perkara lainnya.  

Atas dasar alasan itu, Mahkamah berpendapat, pembatasan PK hanya satu kali dalam perkara  selain pidana, termasuk perkara perdata, sebagaimana yang diatur Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman adalah konstitusional. “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tegasnya.  

PK lebih dari sekali hanya perkara pidana
Juru Bicara MK Fajar Laksono menjelaskan pengajuan PK selain perkara pidana memang perlu dibatasi. Sebab, jika tidak dibatasi, penyelesaian perkara menjadi panjang dan tidak akan pernah selesai. Hal ini berpotensi digunakan pihak-pihak tertentu untuk mengulur-ngulur waktu untuk mencari-cari novum. Keadaan ini justru berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Berbeda dengan PK perkara pidana, tujuannya mencari kebenaran materil dan perlindungan HAM, misalnya perlindungan hak hidup dan hak-hak fundamental lain,” ujar Fajar saat dihubungi, Senin (31/7/2017).

Karena itu, menurut Fajar, penegasan pembatasan pengajuan PK hanya satu kali dalam perkara selain pidana, sebagaimana diatur dlm Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dinyatakan konstitusional. “Intinya, menurut putusan MK ini, pengajuan PK lebih dari satu kali hanya untuk perkara pidana. Untuk perkara selain pidana, termasuk perkara perdata, pengajuan PK hanya satu kali,” terangnya.
Tags:

Berita Terkait