Hakim Tanyakan Pasal 55 KUHP dalam Praperadilan Kasus BLBI
Berita

Hakim Tanyakan Pasal 55 KUHP dalam Praperadilan Kasus BLBI

Beda dengan perkara yang pernah disidik Kejaksaan Agung.

Oleh:
CR-24
Bacaan 2 Menit
PN Jakarta Selatan. Foto: HOL
PN Jakarta Selatan. Foto: HOL
Salah satu materi yang ditanyakan hakim kepada ahli adalah makna Pasal 55 ayat (1) KUHP. Hakim tunggal Effendi Mukhtar menanyakan pasal itu kepada Adnan Paslyadja, ahli yang dihadirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang lanjutan praperadilan di PN Jakarta Selatan (Senin (31/7).

Pasal 55 ayat (1) KUHP mengatur tentang penyertaan dalam tindak pidana. Pelaku tindak pidana bukan saja orang yang benar-benar melakukan, tteapi juga mereka yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan pidana. Pasal ini sangat sering disematkan kepada beberapa orang yang terlibat dalam suatu tindak pidana.

(Baca juga: Perbedaan Unsur Bersekutu dalam Pasal 365 KUHP dengan Penyertaan dalam Pasal 55 KUHP).

Adnan berpendapat Pasal 55 ayat (1) KUHP bermakna perbuatan yang dilakukan satu orang dengan orang lain saling berkaitan, sehingga bisa disebut perbuatan mereka serupa. Dalam suatu perkara pidana, majelis hakim seharusnya memperlakukan para pelaku sama dalam arti jika satu orang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana melanggar pasal tertentu plus Pasal 55 KUHP, maka pelaku lain seharusnya juga dihukum bersalah."Kalau bisa dibuktikan ada kerjasama dan kesadaran (melakukan tindak pidana) maka mestinya dua-duanya dihukum," ujar Adnan.

"Jadi menurut ahli, kalau satu dihukum yang lain dihukum, kalau satu bebas, satu lagi juga harus bebas?" tanya hakim Effendi. Adnan mengiyakan dalam sidang praperadilan yang diajukan oleh mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafrudin A Tumenggung.

(Baca juga: Tersangka Korupsi BLBI Praperadilankan KPK).

Hakim Effendi juga menanyakan bagaimana jika perkara tersebut masih dalam proses penyidikan? Misalnya penegak hukum menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Apakah SP3 tersebut bisa diberikan hanya kepada satu orang, atau harus keseluruhan orang yang disebut turut serta melakukan pidana?

Adnan, seorang mantan jaksa, berpendapat pemberian SP3 bisa saja diberikan kepada satu tersangka sedangkan yang lain masih dilanjutkan penyidikannya. Namun, keputusan itu tidak boleh diambil sembarangan dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. "Bisa saja, kan ada tiga ketentuan SP3. Pertama tidak cukup bukti, kedua bukan tindak pidana, ketiga demi hukum," jelas Adnan.

Jawaban Adnan ‘memancing’ hakim Effendi mengkonfirmasi ulang tentang perlakuan terhadap tersangka. Di satu sisi, hakim harus memperlakukan sama (sama-sama pelaku tindak pidana, meskipun perannya berbeda) mereka yang terjerat Pasal 55 ayat (1) KUHP. Tapi di sisi lain, boleh SP3 satu orang, yang lain dilanjutkan. "Ada kemungkinan (satu tersangka dihentikan penyidikan dan tersangka lain berlanjut)," terang Adnan.

SP3 Menurut  Pasal 109 Ayat (2) KUHAP
1. Tidak diperoleh bukti yang cukup, yaitu apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka. 
2.  Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana.
3.  Penghentian penyidikan demi hukum. Alasan ini dapat dipakai apabila ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa.

Terungkap dalam persidangan, Kejaksaan Agung pernah melakukan penyidikan terhadap kasus BLBI dan menetapkan status tersangka Sjamsul Nursalim pada 23 Oktober 2000. Tetapi korps adhyaksa menghentikan penyidikan dengan mengeluarkan SP3 pada 13 Juli 2004.

Kepala Biro Hukum KPK Setiadi mengakui jika salah satu permohonan yang diajukan pemohon praperadilan ini terkait sudah dihentikannya kasus BLBI oleh Kejaksaan Agung. Tetapi Setiadi memastikan jika perkara yang ditangani KPK berbeda dengan yang pernah ditangani Kejaksaan Agung kala itu.

"Menurut kami dari pihak kpk tidak ada kaitannya di Kejagung dan di KPK, kenapa surat keterangan lunas diberikan sementara itu belum lunas," terang Setiadi kepada hukumonline di sela persidangan.

Syafruddin ditetapkan menjadi tersangka karena diduga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan perekonomian negara dalam penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI pada tahun 2004.

Atas penerbitan SKL itu, diduga ada kerugian negara sekurang-kurangnya Rp3,7 triliun. Terhadap SAT disangkakan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001  tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP..
Tags:

Berita Terkait