Pakar Pidana Ini Minta Delik Makar Perlu Ditinjau Ulang
Utama

Pakar Pidana Ini Minta Delik Makar Perlu Ditinjau Ulang

Selama ini ada salah penafsiran delik makar ini di Indonesia. Padahal, secara teknis, aanslag atau makar dalam praktik di Belanda bermakna tindakan menyerang kepala negara.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Buku KUHP R Soesilo. Foto: SGP
Buku KUHP R Soesilo. Foto: SGP
Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materi sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait ketentuan tindak pidana makar (penggulingan pemerintahan yang sah). Pemohonnya adalah warga Papua, korban yang pernah dipidana dengan pasal-pasal makar yakni Hans Wilson Wader, Meki Elosak, Jemi Yermias Kapanai alias Jimi Sembay.  

Mereka memohon pengujan Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108 dan Pasal 110 KUHP. Para pemohon ini merasa dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal makar itu yang digunakan pemerintah untuk mengkriminalisasi. Alasannya, selama ini aspirasi warga negara untuk menyuarakan kritik terhadap pemerintah dapat terancam pidana dengan berlakunya rumusan pasal-pasal tersebut.

Menurutnya, pasal-pasal itu bersifat karet, fleksibel, multitafsir yang cenderung bisa digunakan penguasa untuk membungkam masyarakat yang mengkritiknya. Imbasnya, aturan ini memunculkan situasi ketidakpastian hukum. Karena itu, para pemohon menginginkan pasal-pasal itu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Pasal 104 KUHP menyebutkan “Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden memerintah diancam pidana mati atau seumur hidup, atau pidana paling lama 20 tahun.” Sedangkan Pasal 107 ayat (1) KUHP disebutkan “Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah diancam pidana penjara paling lama 15 tahun.”

Proses persidangan permohonan ini sendiri sudah memasuki sidang pleno dengan mendengarkan beberapa ahli dari pemohon diantaranya Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti Prof Andi Hamzah dan dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Eko Ryadi.

Dalam pandangannya, Andi Hamzah menerangkan makna makar dalam bahasa Belanda adalah Aanslag, percobaan. Dalam arti, percobaan mengandung unsur serangan. “Pelaku berniat melakukan (makar), tetapi tidak selesai perbuatanya. Misalnya, ada yang ingin membunuh presiden dengan menembak, tetapi saat detik terakhir tembakannya meleset. Inilah (makna) aanslag. Artinya presidennya tidak mati, hanya percobaan saja,” ujar Pakar Hukum Pidana Indonesia ini.

Dia mencontohkan aanslag pernah terjadi di Indonesia saat percobaan penembakan terhadap Presiden Soekarno. Pelakunya tetap dapat dipidana sebagai aanslag (percobaan). Sebab, dalam KUHP saat ini tidak adanya pasal yang mengatur  pembunuhan presiden atau percobaan pembunuhan presiden. Menurutnya, ada delik yang lebih berbahaya daripada makar yakni “pemufakatan jahat.”

“Jadi, aanslag atau makar perlu ditinjau ulang demi keamanan negara (yang lebih luas). Sebab, selama ini delik pemufakatan jahat yang ada di KUHP sudah cukup untuk menjaga keamanan negara, presiden dan wakil presiden,” tuturnya.

Karena itu, menurutnya ketentuan pasal makar dapat ditiadakan dan diganti dengan percobaan atau delik baru yang bermakna perbuatan persiapan yang mengancam keamanan negara. “Jadi, saat ini seharusnya dibedakan antara delik makar dengan demonstrasi kekuatan rakyat,” katanya.

Makar disalahtafsirkan
Di luar persidangan, ahli pemohon lain, Eko Ryadi mengakui negara memang berwenang membatasi kebebasan berekspresi. Tetapi, berlebihan dan tidak proporsional apabila menggunakan pasal makar untuk membatasi hak berekpresi warga negara.“Ada lalat dalam makanan, tetapi untuk mengusirnya dengan menggunakan basoka. Lalatnya memang kabur, tetapi makanannya hancur. Ini kan berlebihan,” ujarnya menganalogikan.

Dikatakan Eko, dalam negara demokrasi sangat menghargai kebebasan ekspresi warga negaranya sebagai cara untuk memastikan pemerintah berjalan dengan baik. Karena itu, pasal makar tidak boleh ditafsirkan untuk memberangus kebebasan berekpresi warga negaranya.

Menurutnya, selama ini ada salah penafsiran delik makar ini di Indonesia. Secara teknis, aanslag atau makar dalam praktik di Belanda bermakna tindakan menyerang kepala negara. “Nah, di Indonesia makar bisa ditafsirkan demonstrasi, ekspresi, dan mengkritik pemerintah dianggap menyerang pemerintah,” kata Eko.

Dia menilai jika dilihat aanslag yang disampaikan oleh Prof Andi bermakna adanya serangan fisik atau percobaan fisik. Tetapi, kalau hanya berdiskusi, menulis dalam koran itu bentuk ekspresi yang tidak ada hubungannya dengan makar. Jadi berlebihan pasal makar ini diterapkan membatasi kebebasan berekspresi.

“Makar dan kebebasan berekspresi merupakan dua tindakan yang berbeda. Makar itu ada  permulaan tindakan, percobaan atau memang sudah ada upaya menggulingkan pemerintah,” tambahnya.

Sebelumnya, Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) juga meminta tafsir definisi “makar” dalam Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140 KUHP. ICJR beralasan ada perbedaan definisi makar dalam KUHP terjemahan bahasa Indonesia dan KUHP (asli) versi Belanda yang mengakibatkan kekeliruan menerapkan pasal-pasal tindak pidana makar dalam praktik peradilan pidana. Sebab, merujuk Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI), istilah makar disebut aanslag yang sebenarnya diartikan dalam bahasa Indonesia adalah “serangan”.  

ICJR menilai kata aanslag yang diterjemahkan sebagai makar tidaklah tepat. Sebab, keduanya dalam konteks bahasa Indonesia jelas sangat berbeda. Padahal, sejatinya kata aanslag jika diterjemahkan bahasa Indonesia lebih tepat diartikan sebagai “serangan”. Hal ini berakibat ketujuh pasal tersebut mengandung ketidakjelasan rumusan dan tujuan (asas legalitas) yang menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap delik makar. Baca Juga: MK Diminta ‘Luruskan’ Definisi Makar dalam KUHP

Bagi ICJR pengertian makar sendiri diartikan sebagai sifat suatu perbuatan. Seperti, makar menggulingkan pemerintahan yang sah, makar untuk memisahkan diri dari wilayah Indonesia, makar membunuh Presiden dan Wakil Presiden. Dengan begitu, apabila makar diartikan sebagai serangan mesti memenuhi unsur adanya serangan nyata dalam konteks tindakan kekerasan, seperti mempersiapkan adanya senjata, mobilisasi massa.

Atas dasar itu, ICJR meminta agar kata “makar” dalam Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140 KUHP inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai sama seperti aanslag atau serangan nyata. Hal ini diharapkan, aparat penegak hukum memiliki indikator yang jelas untuk membedakan mana yang benar-benar makar dan tidak. Kalau masyarakat atau mahasiswa demo meneriakan orasi ‘turunkan presiden’ nanti bisa disebut makar. Jadi, harus dibedakan mana ekspresi atau makar.
Tags:

Berita Terkait