Keyakinan Dua Pihak Berlawanan Menangkan Praperadilan BLBI
Berita

Keyakinan Dua Pihak Berlawanan Menangkan Praperadilan BLBI

Komisi Yudisial awasi persidangan.

Oleh:
CR-24
Bacaan 2 Menit
PN Jakarta Selatan. Foto: HOL/SGP
PN Jakarta Selatan. Foto: HOL/SGP
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap yakin penetapan status tersangka mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sudah sesuai prosedur yang berlaku. Hal itu dituangkan dalam kesimpulan yang diserahkan kepada hakim tunggal Effendi Mukhtar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (01/8). Dalam berkas kesimpulan yang diperoleh hukumonline, setidaknya ada lima poin pendapat KPK atas proses praperadilan ini.

Pertama, pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya karena tidak mampu menghadirkan fakta, bukti, keterangan saksi ataupun ahli yang mendukung dalil-dalilnya meskipun hakim praperadilan telah memberikan kesempatan kepada pemohon. "Justru keterangan saksi (fakta) Lukita D. Tuwo yang diajukan menguatkan perbuatan pemohon dalam menghapuskan piutang dengan menerbitkan Surat Keterangan Lunas melanggar UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara," demikian tertulis dalam berkas kesimpulan KPK.

Dalam kesimpulan itu juga dinyatakan kewenangan BPPN adalah penghapusbukuan bukan penghapusan piutang negara. Menurut KPK, dalam proses persidangan menegaskan bahwa Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan untuk menghapuskan piutang negara. KPK yakin pada saat Keputusan KKSK No. KEP.02/K.KKSK/02/2004 tanggal 13 Februari 2004, KEP.01/K.KKSK/03/2004 tanggal 17 Maret 2004 serta Surat Keterangan Lunas (SKL) tanggal 26 April 2004 terbit, tersangka menyalahi UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang telah berlaku sejak 14 Januari 2004.

"Hal ini sejalan dengan keterangan Ahli dari Pemohon (Prof. Nindyo Pramono) menegaskan bahwa lunas sama artinya dengan penghapusan piutang. Dengan demikian tindakan penerbitan SKL oleh Pemohon bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004," tulis dokumen itu.

KPK juga mengutip keterangan Ahli Hukum Administrasi Negara, I Gede Panca Astawa, bahwa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) memiliki kekuatan hukum mengikat termasuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 4 Tahun 2016.  Pasal 2 ayat (2) dan ayat (4) Perma telah memberikan pedoman mengenai pemeriksaan Praperadilan. Intinya, pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil.

Kedua, KPK percaya penetapan tersangka Syafruddin sudah berdasarkan alat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan sesuai undang-undang oleh penyelidik dan penyidik KPK. Hal ini pun telah disampaikan dalam jawaban tanggal 27 Juli 2017, yang didukung oleh bukti-bukti dan keterangan ahli yang menyatakan bahwa proses penetapan tersangka atas Syafruddin telah sah menurut hukum karena telah didasarkan pada bukti permulaan yang cukup atas tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan.

“Antara lain pemeriksaan saksi-saksi sejumlah 33 yang dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan (BAPK) sebagaimana bukti T-69 sampai dengan T-71, serta T-73 sampai dengan T-99 termasuk permintaan keterangan terhadap pemohon (bukti T-72 dan T-199), memo risalah rapat dan bukti-bukti lainnya yang telah diperoleh pada tahap penyidikan sejumlah lebih dari 87 dokumen serta adanya hasil ekspose perkara dengan ahli dari BPK mengenai adanya kerugiaan keuangan negara yang nyata dan pasti sejumlah sekurang-kurangnya Rp3,7 triliun (bukti T-100),” bunyi berkas tersebut.

KPK yakin penanganan perkara dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan telah dilakukan secara benar baik dari sisi KUHAP, UU Tipikor, dan UU KPK yang didukung oleh barang bukti berupa dokumen baik berupa surat perintah maupun berita acara ekspose yang dituangkan dalam Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi (LKTPK). Bukti-bukti ini sudah disampaikan kepada hakim praperadilan. Menurut KPK, proses hukum yang dilakukan juga telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 43 jo Pasal 24 ayat (2) dan (3) jo Pasal 21 ayat (1) huruf c UU KPK sebagaimana dikuatkan dengan bukti yang ada.

Ketiga, tindak pidana yang dilakukan oleh Syafruddin adalah ranah hukum publik. Ini sejalan keterangan ahli Adnan Paslyadja. Mantan jaksa ini pada pokoknya menerangkan penilaian apakah suatu perkara merupakan ranah perdata atau pidana bukanlah objek dari praperadilan akan tetapi hal tersebut menjadi kompetensi pemeriksaan pokok perkara. Ahli dari pihak Syafruddin yang dihadirkan ke persidangan, Nindyo Pramono, menurut KPK justru menguatkan pandangan KPK. Ahli menerangkan suatu perjanjian perdata apabila ada ultra vires (di luar kewenangan) maka bisa dilakukan penyidikan (pidana).

KPK juga telah mengajukan beragam bukti di depan persidangan tentang adanya rangkaian perbuatan pemohon yang melakukan penghapusan piutang petambak plasma yang seharusnya menjadi tanggungjawab Sjamsul Nurslim dimana hal tersebut bertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku

Keempat, KPK yakin punya kewenangan menangani perkara ini karena waktu kejadian perkara terjadi pada masa berlaku UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini juga didasarkan keterangan ahli Adnan Paslyadja pada pokoknya menerangkan KPK berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang diduga terjadi pada tahun 2004. KPK telah dibentuk sejak diundangkannya UU KPK pada 27 Desember 2002. Dengan demikian KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan karena tempus delicti terjadi pada masa berlakunya UU Tipikor.

Kelima,  obyek penyelidikan dan penyidikan yang berbeda antara perkara yang ditangani KPK dan Kejaksaan Agung. Argumentasi KPK dikuatkan keterangan mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie pada sidang Senin (31/7) lalu. Kwik memang pernah diperiksa Kejaksaan Agung kala itu dan juga pernah diperiksa KPK pada kasus yang menjerat Syafruddin. Inti penjelasan Kwik, kedua perkara ini sangat berbeda. Jika Kejaksaan Agung menyidik perihal kucuran dana BLBI, KPK lebih terfokus pada Surat Keterangan Lunas yang diberikan Sjafruddin kepada Sjamsul Nursalim.

Keyakinan kubu tersangka
Dikonfirmasi terpisah, kuasa hukum Syafruddin Dodi S Abdulkadir berharap hakim tunggal Effendi Mukhtar membatalkan status tersangka pada kliennya. Alasannya, penetapan tersangka yang dilakukan KPK terdapat keganjilan  dan tidak sesuai dengan KUHAP.  Selain itu, dalam proses persidangan beberapa fakta juga menyatakan jika yang dilakukan Syafruddin tidak menyalahi aturan.

Hal itu pun diperkuat saksi yang dihadirkan oleh KPK sendiri yaitu Kwik Kian Gie. “Pak Kwiek kan udah bilang, menerangkan bahwa MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) itu perjanjian antara pemerintahan dengan Sjamsul Nursalim. Terus diterangkan juga bahwa dari thun 1999 itu sudah diberikan Rilis and Discharge,” ujar Dodi saat dihubungi, kemarin.

MSAA adalah perjanjian antara BI dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, menurut penasehat hukum eksekutif BI Oey Hoey Tiong saat Lokakarya di Bogor pada 2002 lalu, berarti tugas BI untuk menagih hutang para pemegang saham bank penerima BLBI dialihkan kepada BPPN. Sedangkan Rilis and Discharge (R and D) pada pokoknya menurut keterangan Kwik Kian Gie kemarin hampir sama dengan SKL, yaitu membebaskan sejumlah Obligor termasuk Sjamsul Nursalim dari segala kewajiban hutang.

“Memberi kebebasan ke Sjamsul kalau dia enggak punya hutang,” ujar Kwik. Rilis and Discharge itu ditandatangani Deputi BPPN Bidang Assessment Management Investment BPPN kala ituFarid Harianto pada 25 Mei 1999.

Oleh karena itu menurut Dodi, Sjamsul sejatinya memang telah diberi kebebasan pembayaran hutang melalui rilis and discharge sebelum keluarnya SKL. “Iya, jadi sudah diberikan pembebasan perlunasan dari zaman dulu gitu. Dan sampai belum pernah ada gugatan dari pemerintah, baik R and D maupun SKL. Enggak pernah ada keberatan tindakan hukum,” terang Dodi.

Selain itu saat SKL diterbitkan pada 2004, Kwik memang bukan lagi menjabat sebagai Menko Ekuin tetapi telah beralih menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Sebagai Kepala Bappenas, Kwik juga menjadi anggota dari Komite Kebijakan Sektor Keuangan(KKSK)yang dipimpin Menko Ekuin kala itu, Dorodjatun Kuntjorojakti. “Waktu itu Pak Kwik enggak keberatan dia kan anggota KKSK, dia anggota KKSK, dia bilang disetujuin KKSK, sesuai penjelasan Pak Kwik kan kaya gitu,”  jelas Dodi.

Sidang ini sendiri akan dilanjutkan dengan agenda pembacaan putusan yang rencananya akan digelar hari ini, Rabu (02/8) pukul 16.00 WIB. Selain pihak KPK, Komisi Yudisial (KY) juga mengirim tim untuk memantau putusan tersebut. Dalam rilisnya, Juru Bicara KY Farid Wajdi menyatakan langkah tersebut dilakukan agar proses persidangan bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Farid juga menekankan jika pihaknya akan fokus pada etika hakim dalam prosesi persidangan baik perilaku di dalam maupun diluar sidang. Selain itu ia juga meminta semua pihak menghormati profesi dan putusan hakim dengan menjaga independensi dan imparsialitasnya.
Tags:

Berita Terkait