MK Diminta Hentikan Sementara Kerja Pansus Angket KPK
Berita

MK Diminta Hentikan Sementara Kerja Pansus Angket KPK

Agar tidak menggangu kinerja KPK secara keseluruhan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Sidang perdana aturan kewenangan hak angket oleh DPR dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) kembali digelar terhadap dua permohonan. Pertama, diajukan oleh Harun Al Rasyid, Hotman Tambunan, Yadyn, Novariza dan Lakso Anindito yang merupakan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan perkara No. 40/PUU-XV/2017.

Kedua, pemohon dengan Perkara No. 47/PUU-XV/2017 diajukan oleh Busyro Muqqodas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang tergabung dalam Tim Advokasi Selamatkan KPK dari Angket DPR. Mereka mempersoalkan penggunaan hak angket DPR terhadap kinerja KPK yang dinilainya tidak tepat.

Dalam sidang pendahuluan yang diketuai I Dewa Gede Palguna beranggotakan Wahiddudin Adams dan Manahan MP Sitompul, kedua Pemohon sama-sama fokus mempersoalkan Pasal 79 ayat (3) UU MD. Pasal ini menyebutkan “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak dengan peraturan perundang-undangan.”

Para Pemohon meminta Pasal 79 ayat (3) UU MD3 dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang ditafsirkan bahwa “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang oleh badan-badan atau lembaga atau pejabat yang berada diluar Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau 6 pimpinan lembaga pemerintah non kementerian, yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”

Kedua pemohon sama-sama mengajukan permohonan provisi agar kerja Pansus Angket KPK dihentikan sementara melalui putusan sela, sampai ada putusan permohonan ini. Selain meminta provisi, Pemohon dalam petitumnya juga menginginkan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 bertentangan dengan Pasal 24 ayat (3) dan Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “tidak dapat dilakukan penyelidikan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.”

Selain Pasal 79 ayat (3), khusus pemohon perkara No. 47/PUU/XV/2017 juga meminta Pasal 199 ayat (3) UU MD3 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “harus terdapat mekanisme penghitungan yang jelas terhadap anggota yang setuju dan tidak terhadap pemberlakuan hak angket sebagai bagian dari mekanisme voting.”  Baca Juga: MK Diminta Tafsirkan Bersyarat Aturan Hak Angket KPK

Dan, Pasal 201 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “keberadaan semua unsur fraksi dalam panitia angket harus dibuktikan melalui surat resmi sebagai perwakilan unsur partai. Apabila tidak terdapat surat resmi sebagai perwakilan unsur 5 partai, maka panitia khusus dianggap batal demi hukum pembentukannya.”

Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel I Dewa Gede Palguna meminta agar legal standing pemohon diperkuat lagi. “Perkara yang diajukan oleh pegawai KPK apakah sebagai perorangan saja atau wadah pegawai. Jika sebagai wadah pegawai harus dilampirkan pula AD/ART-nya,” kata Palguna.

Ia menilai bagian legal standing pemohon pegawai KPK juga ada beberapa hal yang seharusnya lebih tepat dimasukan dalam alasan permohonan sebagai substantif. Sementara untuk perkara yang diajukan oleh YLBHI Dkk, I Dewa Gede Palguna meminta agar permohonan fokus pada argumentasi yang dibangun dalam norma yang diuji.

Anggota Panel Wahiddudin Adams mengatakan dalam perkara yang diajukan oleh pegawai KPK harus dijelaskan konsistensi hubungan posita dan petitumnya agar ada kejelasan. Sebab, dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3 yang diminta dalam petitumnya, dikecualikan KPK. Menurutnya, petitum permohonan harus disesuaikan dengan tafsir resmi norma Pasal 79 ayat (3). Selain itu, argumentasi uji materi pasal lain seimbang dengan Pasal 79 ayat (3) itu sendiri.

Untuk legal standing pegawai KPK, Wahiddudin mengatakan perlu dibedakan dan ditegaskan mana perorangan dan mana lembaga. “Dalam hal meminta provisi, memang sudah ada putusan MK sebelumnya, tapi biarkanlah ini nanti akan dibahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH),” katanya. Baca Juga: Kisruh Hak Angket KPK, Akhirnya ‘Mampir’ ke MK

Di luar persidangan, salah satu pemohon pegawai KPK, Yadyn menegaskan kedudukan hukum yang dipertanyakan Majelis sebenarnya bersifat perorangan sebagai pembayar pajak yang dirugikan. “Karena tadi majelis hakim mengatakan legal standingnya apakah wadah pegawai? Jika sebenarnya wadah pegawai KPK hanya tambahan saja, selain sebagai pembayar pajak,” kata dia.

Terkait permintaan putusan provisi, ia mengingatkan dalam perkara tertentu, MK pernah menjatuhkan putusan sela. Permintaan ini ditujukan agar tidak menggangu kinerja pegawai terutama kerja-kerja penyidikan KPK. “Bukan hanya penuntasan kasus e-KTP, tetapi secara global mempengaruhi kinerja KPK yang lain. Contohnya saja, saat ini saharusnya bisa menghadiri sidang KPK yang lain tetapi mesti kesini. Ini sangat menganggu kawan-kawan KPK dalam bekerja,” katanya.

Sebelumnya, MK sudah menggelar sidang pendahuluan dan perbaikan terhadap pengurus Forum Kajian Hukum dan  Konstitusi (FKHK), beberapa mahasiswa magister UGM, Universitas Sahid, Universitas Sebelas Maret, serta dosen yang juga mempersoalkan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 ini. Para Pemohon ini juga meminta permohonan provisi sebelum menjatuhkan putusan yakni menghentikan sementara kerja Pansus Angket KPK.    

Mereka menilai frasapelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah” dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, praktik menimbulkan pemaknaan berbeda dan ketidakpastian hukum yang menjadi problem konstitusional.   

Karenanya, dalam petitumnya, FHKH Dkk meminta MK perlu menegaskan secara inkonstitusional bersyarat norma Pasal 79 ayat (3) UU MD3 jika dimaknai lain selain yang sudah secara ekplisit dari penjelasan pasal tersebut yang menyatakan: “Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.” 
Tags:

Berita Terkait