Bertentangan dengan UU, YLKI Minta Pelarangan Pencantuman Harga di Iklan Rokok
Berita

Bertentangan dengan UU, YLKI Minta Pelarangan Pencantuman Harga di Iklan Rokok

Pencantuman harga pada iklan dan promosi rokok bertentangan dengan prinsip pengendalian dan pembatasan konsumsi, sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen, UU Cukai, dan UU Kesehatan.

Oleh:
M. Agus Yozami/ANT
Bacaan 2 Menit
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi. Foto: ylki.or.id
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi. Foto: ylki.or.id
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi meminta pemerintah melalui Kementerian Kesehatan melarang pencantuman harga pada iklan dan promosi produk rokok karena dinilai bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan.

"Pencantuman iklan rokok akan mendorong masyarakat membeli rokok, termasuk anak-anak, remaja dan kalangan keluarga miskin," kata Tulus kepada Antara melalui pesan singkat di Jakarta, Kamis (4/8).

Apalagi, harga rokok di Indonesia masih tergolong termurah di dunia dan bisa diperjualbelikan secara eceran. Hal itu membuat rokok semakin terjangkau terutama bagi anak-anak, remaja dan rumah tangga miskin.

Tulus mengatakan pencantuman harga pada iklan dan promosi produk rokok bertentangan dengan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.39 Tahun 2007 tentang Cukai, dan UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

"Meskipun konsumen memiliki hak atas informasi yang jelas dan jujur saat mengonsumsi barang dan jasa, termasuk harga, tetapi ketentuan itu tidak bisa serta merta diberlakukan pada barang yang konsumsinya dibatasi atau dikendalikan seperti rokok," tuturnya. (Baca Juga: Inpres Gerakan Masyarakat Hidup Sehat Diteken, Begini Isinya)

Menurut Tulus, rokok adalah barang yang melalui regulasi dikendalikan atau dibatasi konsumsi, peredaran dan iklannya serta dikenai cukai. Hal itu diatur pada Undang-Undang Cukai dan Undang-Undang Kesehatan.

Karena itu, pencantuman harga pada iklan dan promosi rokok adalah bertentangan dengan semangat Undang-Undang Cukai, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang Kesehatan.

"Pencantuman harga pada iklan dan promosi rokok bertentangan dengan prinsip pengendalian dan pembatasan konsumsi, sebagaimana diatur dalam regulasi tersebut," katanya. (Baca Juga: Disinyalir Maladministrasi, Proses RUU Pertembakauan Mesti Diaudit)

Tulus menilai rokok adalah produk abnormal sehingga sebenarnya tidak sepantasnya diiklankan apalagi mencantumkan harga demi mendorong peningkatan konsumsi. "Hanya di Indonesia rokok masih bebas berikan. Di seluruh dunia iklan rokok sudah dilarang total," ujarnya.

Oleh karena itu, YLKI meminta Kementerian Kesehatan segera membuat regulasi teknis untuk melarang pencantuman harga pada iklan dan promosi rokok di media masa elektronik, cetak dan luar orang.

"Hal itu sebagai bentuk penegasan bahwa tembakau merupakan barang adiktif sebagaimana diatur Undang-Undang Kesehatan," katanya. (Baca juga: Masuknya RUU Pertembakauan ke Prolegnas Dinilai Tak Perhatikan Putusan MA)

Direktur Komite Nasional untuk Reformasi Televisi (Remotivi), Muhammad Heychael, mengatakan Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara tetangga soal iklan rokok di televisi.

"Kita tertinggal dari Laos dan Kamboja soal regulasi iklan rokok. Di negara tersebut melarang iklan rokok di dunia penyiaran seperti di televisi dan radio," kata Heychael.

Bahkan di negara lain, kata dia, iklan di dunia maya juga dilarang. Padahal pembatasan iklan rokok penting untuk melindungi kesehatan masyarakat, terutama anak-anak.

Menurut dia, banyak hal dalam aturan penyiaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) yang dilanggar atau diakali guna memuluskan iklan rokok di dunia penyiaran.

Dia mencontohkan ada pelanggaran iklan rokok yang tayang di luar waktu yang diperbolehkan, yaitu lepas dari pukul 21.30. Akan tetapi, iklan rokok seperti menyamar dalam iklan ataupun program lain. Misalnya lewat acara beasiswa perusahaan rokok yang ditayangkan.

Hingga saat ini iklan rokok juga menjadi penyumbang pemasukan televisi terbesar meski telah dibatasi. Terdapat 424 spot iklan rokok di televisi atau total durasi 22.018 detik setiap harinys. "Djarum sebagai penyumbang pertama, kedua Sampoerna, ketiga Pepsodent," kata dia.

Penegak regulasi di dunia televisi dan radio seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), kata dia, juga belum begitu kuat dalam menindak iklan rokok termasuk yang berbalut beasiswa dan semacamnya.

Padahal, lanjut dia, iklan rokok di televisi juga disaksikan anak-anak. Dengan paparan iklan rokok maka hak anak untuk hidup dan tumbuh sehat terancam. Secara langsung atau tidak masa depan anak Indonesia sangat terancam oleh iklan rokok.

"Maka perlu ada penindakan dan pengkajian ulang terhadap regulasi penyiaran sehingga iklan rokok tidak tayang secara sembarangan," katanya.

Tags:

Berita Terkait