Penilaian Seleksi Calon Hakim Agung: Informasi Rahasia atau Terbuka?
Berita

Penilaian Seleksi Calon Hakim Agung: Informasi Rahasia atau Terbuka?

Komisi Yudisial: “Ada beberapa hal yang mungkin patut dikecualikan demi kepentingan yang lebih baik”.

Oleh:
Aida Mardatillah/MYS
Bacaan 2 Menit
Seleksi CHA di Komisi Yudisial. Foto: RES
Seleksi CHA di Komisi Yudisial. Foto: RES
Komisi Yudisial sudah merampungkan tugas menggelar seleksi wawancara 14 orang calon hakim agung (CHA). Tugas berikutnya Komisi adalah mengusulkan nama-nama yang akan menjalani tahap wawancara di DPR. Tetapi di sela-sela kesibukan melanjutkan proses seleksi CHA Tahun 2017 itu, Komisi Yudisial masih harus membahas sikap kelembagaan atas permintaan informasi mengenai hasil seleksi CHA.

Adalah David Maruhum L. Tobing yang mengajukan permohonan informasi ke Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Komisi Yudisial. Sebenarnya, David adalah salah seorang CHA yang ikut berkompetisi dengan para kandidat lain. Pria yang berprofesi sebagai advokat ini ikut seleksi untuk posisi hakim agung di kamar perdata. Pada pengumuman seleksi tahap III (kesehatan dan kepribadian), nama David sudah tak muncul dari 14 kandidat yang diumumkan Komisi Yudisial.

Di kamar perdata, tinggal lima nama: Moh. Eka Kartika E.M (hakim tinggi Pengadilan Tinggi Jakarta), M. Ali Hanafiah Selian (dosen UIN Syarief Hidayatullah Jakarta), M. Yunus Wahab (hakim tinggi PT Palembang), Pahala Simanjuntak (hakim tinggi yustisial Balitbang Diklat Kumdil MA), dan R. Murjiyanto (dosen Universitas Janabadra). Merekalah antara lain yang mengikuti seleksi wawancara pada awal Agustus ini.

(Baca juga: KY Terima 88 Orang Ikut Seleksi CHA Tahun 2017).

David menjelaskan sebagai kandidat yang diusulkan beberapa lembaga, ia punya tanggung jawab untuk membuat laporan. Karena itu, ia membutuhkan informasi hasil penilaian seleksi. “Sebagai evaluasi dan pertanggungjawaban terhadap lembaga-lembaga pengusul,” ujarnya.

David juga mengingatkan permohonan informasi yang dia ajukan tak akan mengulangi dan menggugurkan hasil seleksi. Cuma, permohonan informasi itu adalah haknya sebagai warga yang dijamin konstitusi dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Sebagai kandidat yang dinyatakan tak lolos ke tahap wawancara, David merasa berhak mengetahui hasil penilaian kesehatan, hasil asesmen kepribadian, dan rincian rekam jejak.

Ketua Komisi Yudisial, Aidul Fitriciada Azhari, membenarkan adanya permohonan informasi dari David Tobing. Komisi Yudisial menangani permohonan informasi itu sesuai UU KIP. Sesuai UU KIP ada yang boleh disampaikan, dan ada yang harus dirahasiakan. “Tentu tidak semua hal dapat disampaikan karena menyangkut sesuatu yang harus dirahasiakan,” ujarnya kepada wartawan.

Farid Wajdi, Juru Bicara Komisi Yudisial, juga mengkonfirmasi PPID Komisi Yudisial sudah menerima permohonan David pada 28 Juli 2017. Komisi Yudisial memproses permohonan itu secara internal. Ia menilai permohonan itu sesuatu yang sah secara hukum. “Memang legal secara hukum sebagaimana UU Keterbukaan Informasi Publik,” tegasnya.

Sejauh ini Komisi Yudisial memang belum memutuskan sikap akhir. Farid mengindikasikan tak semua informasi seleksi CHA bisa dibuka ke publik. “Mohon juga dimengerti jika ada beberapa hal yang mungkin patut dikecualikan demi kepentingan yang lebih besar,” sambungnya.

Jika PPID Komisi Yudisial tak merespons permohonan, David harus mengajukan keberatan ke Atasan PPID. Jika tanggapan Atasan PPID tak memuaskan David, terjadilah sengketa informasi antara pemohon dengan Komisi Yudisial, dan akan diselesaikan lewat Komisi Informasi Pusat.

(Baca juga: Begini Cara Penyelesaian Sengketa Informasi di Pengadilan).

Pasal 17 UU KIP
Pernyataan Ketua dan Juru Bicara Komisi Yudisial sebenarnya bukan tanpa dasar. Pasal 17 UU KIP mengatur beragam jenis informasi yang dikecualikan karena bersifat rahasia. Salah satunya disebut dalam huruf h, yakni informasi publik yang jika dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat mengungkap rahasia pribadi.

Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah: (i) riwayat dan kondisi anggota keluarga; (ii) riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik dan psikis; (iii) kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang; (iv) hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang; dan/atau (v) catatan yang menyangut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal.

(Baca juga: Cara Mendapatkan Informasi Publik).

Komisi Yudisial juga mempunyai aturan internal yang relevan yakni Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2016 tentang Layanan Informasi Publik. Pasal 11 Peraturan KY ini menyebutkan informasi yang dikecualikan adalah informasi yang tidak dapat diakses oleh pemohon berdasarkan hasil pengujian konsekuensi yang telah dilakukan. Pasal ini tak merinci sama sekali jenis informasi yang dikecualikan.

Apakah hasil-hasil tes keperibadian dan kepribadian para CHA dapat diakses publik? Selama ini, penilaian psikologis calon memang bersifat rahasia alias tak bisa diakses publik karena menyangkut kapabilitas, intelektualitas, dan kemampuan setiap calon. Tetapi penutupan informasi itu bukan tanpa celah. Pasal 18 ayat (2) UU KIP memberikan dua celah yang mungkin dimasuki oleh pemohon informasi. Pertama, pihak yang rahasianya akan diungkap memberikan persetujuan tertulis. Kedua, pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan publik.

Dalam konteks kerahasiaan informasi hasil penilaian seleksi, Komisi Yudisial terkesan dalam posisi dilematis. Di satu sisi, seperti dikatakan Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriada Azhari, ada bagian-bagian yang harus dijaga kerahasiaannya. Karena itu, Komisi berkewajiban membuat uji konsekuensi dan uji kepentingan publik. Di sisi lain, ada peluang untuk membuka informasi yang bersifat rahasia itu melalui mekanisme Pasal 18 ayat (2) UU KIP.

Ada Preseden
Berdasarkan catatan Hukumonline, ini bukan kasus pertama permohonan informasi hasil seleksi CHA yang dihadapi Komisi Yudisial. Sudah ada preseden sebelumnya yang bermuara ke penyelesaian sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat. Bedanya, dulu permohonan diajukan oleh lembaga pengusul CHA. Sekarang, pemohonnya adalah CHA sendiri guna ‘evaluasi dan pertanggungjawaban’ kepada lembaga pengusul.

Preseden itu terjadi pada tahun 2015. Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Sektoral Indonesia meminta informasi hasil penilaian CHA atas nama Fauzan. Pemohon berdalih sebagai lembaga pengusung Fauzan untuk ikut tahapan seleksi. Komisi Yudisial menolak memberikan informasi yang diminta karena penilaian dalam proses seleksi itu adalah informasi yang dikecualikan. Komisi Yudisial juga berdalih sudah melakukan uji konsekuensi ketika merahasiakan informasi dimaksud.

(Baca juga: KIP Gelar Persidangan Tertutup Terkait Dokumen KY).

Majelis Komisi Informasi Pusat yang mengadili dan memutus sengketa informasi itu sempat mendengarkan keterangan Fauzan di persidangan. Fauzan tak keberatan informasi tentang dirinya diminta oleh Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Sektoral Indonesia. Komisioner juga melakukan pemeriksaan setempat ke Komisi Yudisial. Dalam putusan No. No. 034/VI/KIP-PS-A/2015, Komisi Informasi Pusat menyatakan keterangan saksi Fauzan di bawah sumpah di dalam persidangan dapat dipandang sebagai persetujuan yang bersangkutan atas permohonan informasi tersebut. Dalam pertimbangannya, majelis komisioner juga merujuk pada Pasal 18 ayat (2) UU KIP.

Kini, Komisi Yudisial menghadapi permohonan informasi yang sejenis. Apakah permohonan informasi itu dikabulkan terbatas hanya kepada pemohon atau tidak, bergantung sepenuhnya kepada Komisi Yudisial sebagai Badan Publik.

Yang jelas, David Tobing mengajukan permohonan ini tak dimaksudkan untuk mengungkap ‘rahasia’ para CHA yang ikut seleksi. Ia meminta data mengenai dirinya sendiri. Langkah hukum ini justru bertujuan untuk memperbaiki tata kelola seleksi CHA di masa mendatang. Agar penilaian dilakukan secara objektif, dan unsur-unsur subjektif dalam penilaian para calon diminimalisasi.
Tags:

Berita Terkait