Terkait Kasus Acho, YLKI Minta Kriminalisasi Konsumen Dihentikan
Berita

Terkait Kasus Acho, YLKI Minta Kriminalisasi Konsumen Dihentikan

Ada lima rekomendasi YLKI terkait fenomena Acho.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi. Foto: ylki.or.id
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi. Foto: ylki.or.id
Komedian tunggal jebolan Stand Up Comedy, Muhadkly MT atau dikenal dengan Acho, kini tengah terbelit masalah hukum. Ia dipolisikan oleh pengembang Apartemen Green Pramuka. Kasus ini bermula ketika Acho mengeluhkan fasilitas Apartemen Green Pramuka di blog pribadinya sejak Maret 2015.

Diakui Acho, status tersangka disandang olehnya sejak Juni 2017 lalu. Ia pun mengakui tak tahu bahwa dirinya dilaporkan oleh pihak pengembang kepada kepolisian. Tak selama setelah tulisan di blog, kuasa hukum pengembang PT Duta Paramindo Sejahtera, Danang Surya Winata, melaporkannya ke Polda Metro Jaya pada 5 November 2015. Acho dianggap melanggar pasal 27 ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan pasal 310-311 KUHP tentang pencemaran nama baik.

Mencermati kasus yang menimpa Acho, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) angkat bicara. Koordinator Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan bahwa setelah YLKI membaca substansi curhatan/tulisan Acho di media sosial/web site, YLKI tidak mendapatkan potensi pelanggaran yang dilakukan konsumen. Khususnya dalam perspektif UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Tulus justru menilai, apa yang ditulis dan disampaikan konsumen merupakan upaya untuk merebut hak-haknya, yang diduga dilanggar oleh pelaku usaha, pengembang Green Pramuka. Bahwa konsumen kemudian menulisnya di media sosial, sebab dipandang pengaduan-pengaduan serupa sudah mampet, tidak mendapatkan respon memadai dari pihak managemen Green Pramuka. Terbukti pegaduan serupa sudah banyak diungkap konsumen, termasuk pengaduan konsumen ke YLKI, dan bahkan sudah diliput media.

Apa yang dilakukan konsumen, lanjutnya, sudah sesuai hak yang diatur oleh UU Perlindungan Konsumen, terutama di Pasal 4 yang menjamin bahwa konsumen berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya. (Baca Juga: Penuh Risiko, Masyarakat Disarankan Tunda Beli Apartemen)

“Termasuk menyampaikan keluhan dan pendapatnya via media masa, dan media sosial. Yang penting yang disampaikan konsumen fakta hukumnya sudah jelas, bukan fiktif (hoax), yang berpotensi fitnah,” kata Tulus seperti dilansir dalam website YLKI, Selasa (8/8).

Dengan demikian, Tulus berpendapat bahwa tindakan polisional oleh Green Pramuka pada konsumen, adalah tindakan yang berlebihan, dan bahkan arogan. Dan tindakan yang kontra produktif untuk perlindungan konsumen di Indonesia, yang membuat konsumen takut untuk memperjuangkan konsumennya secara mandiri.

Tulus menegaskan bahwa YLKI mengecam segala bentuk kriminalisasi oleh dilakukan developer yang bertujuan untuk membungkam daya kritis konsumen. YLKI juga mengritik polisi, yang bertindak cepat jika yang mengadu adalah pihak pengembang, tapi bertindak lamban jika yang mengadu masyarakat.

Bahwa kasus pengaduan yang dialami Acho adalah seperti puncak gunung es. Pengaduan serupa banyak sekali diterima oleh YLKI, di lokasi yang berbeda. Bahkan, pengaduan penghuni apartemen dan perumahan, menduduki rangking kedua (18 persen), dari total pengaduan di YLKI.

Terhadap fenomena ini, YLKI meminta dan merekomendasikan beberapa hal. Pertama, agar Kementerian PUPR dan Pemprov DKI Jakarta, dalam hal ini Dinas Perumahan, harus tegas menyikapi pelanggaran hak konsumen (penghuni) yang dilakukan oleh pengelola dan pengembang. Kementerian PUPR dan Pemprov DKI tidak bisa lepas tanggungjawab terhadap maraknya pelanggaran konsumen oleh pengelola/pengembang apartemen.

YLKI mendesak Dinas Perumahan Pemprov DKI untuk pro aktif memfasilitasi mediasi antara konsumen dengan developer, untuk dapat dicari penyelesaian di luar pengadilan (out of court setlement). (Baca Juga: Tips Bagi Konsumen Jika Ingin Beli Apartemen)

Kedua, mendesak Kementerian PUPR untuk mereview semua klausula yang dibuat oleh pengembang/pengelola, baik klausula dalam PPJB/AJB rumah susun dan klausula dalam kontrak pengelolaan. Klausula baku adalah hal yang dilarang dalam UU Perlindungan Konsumen.

Ketiga, hentikan segala bentuk intervensi pengelola/pengembang dalam pembentukan P3SRS dan pengelolaan. Intervensi yang biasa dilakukan oleh pengelola biasanya melalui tekanan psikis, diskriminasi perlakuan, hingga perampasan HAM konsumen. Pengelola idealnya ditunjuk dan dipilih oleh P3SRS. Jadi akan profesional dan tunduk perintah P3SRS bukan sebaliknya. Depelover hanya setengah hati untuk melepas pengelolaannya.

Keempat, YLKI mendesak semua pengembang perumahan/apartemen untuk menjunjung tinggi etika dalam bisnis, dan mematuhi regulasi, termasuk regulasi dibidang konsumen, khususnya dalam berpromosi, beriklan. Jangan membius dengan janji-janji yang bombastis, irasional, dan bahkan manipulatif.

Dan kelima, kepada masyarakat konsumen, terhadap kejadian ini, jangan menyurutkan niatnya untuk bersikap kritis. Namun konsumen tetap harus waspada dan hati-hati. Misalnya, tetap berkomunikasi dengan pihak pelaku usaha/pelaku usaha/pengelola, sebelum kasusnya ditulis di media sosial. Dan dari sisi fakta hukum, yang disampaikan konsumen adalah bukan fiktif, hoax.
Tags:

Berita Terkait