Berjuang Mencari Legitimasi Indirect Evidence
Menelaah Arah Penegakan Hukum Persaingan Usaha

Berjuang Mencari Legitimasi Indirect Evidence

Rancangan Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat masih belum memberikan posisi yang jelas bagi bukti tidak langsung (indirect evidence) dalam pembuktian kasus persaingan usaha. Di tengah pembahasan yang bergulir di DPR, kedudukan bukti tidak langsung ‘dicantolkan’ sebagai bagian dari bukti petunjuk.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisioner KPPU Sukarmi. Foto: RES
Anggota Komisioner KPPU Sukarmi. Foto: RES
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) masih berjuang mencari pengakuan bukti tidak langsung (indirect evidence). Upaya menempatkan indirect evidence sebagai ‘bukti tersendiri’ sedang ditempuh melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Anggota Komisioner KPPU Sukarmi mengatakan keberadaan bukti tidak langsung sangat diperlukan dalam proses pembuktian khususnya pembuktian dalam kasus kartel. Kesulitan otoritas persaingan membongkar keterkaitan antar pelaku usaha dalam sindikat kartel memaksa investigator mencari bukti alternatif yang setidaknya menyatakan adanya kesepakatan antara pelaku yang terlibat. keberadaan indirect evidence digunakan sebagai pembuktian terhadap kondisi yang dapat dijadikan dugaan atas pemberlakuan perjanjian lisan.

“Sebagai pelaksana kami menghendaki ada (indirect evidence) karena itu hal yang penting dalam proses pembuktian terutama untuk kartel karena kita sulit mendapat direct evidence berupa perjanjian,” kata Sukarmi kepada hukumonline di Jakarta, Selasa (1/8).

Sukarmi melanjutkan, penggunaan bukti tidak langsung lazim dilakukan oleh negara-negara yang menerapkan hukum persaingan usaha. Ambil contoh misalnya kasus-kasus kartel di Amerika Serikat banyak memakai bukti tidak langsung bahkan di sana juga mengakomodir sekalipun tanpa bukti langsung misalnya berupa perjanjian. Di negara lain, indirect evidence juga lazim diterima seperti di Italia, Eropa, dan Jepang. Di Jepang sendiri, pasca diterapkan leniency program tahun 2005, penggunaan bukti tidak langsung lazim terjadi salah satunya dalam kasus kartel Paper Phenol Copper Clad Laminater.

Pada praktinya, KPPU kerap menggunakan indirect evidence berupa analisis terhadap hasil pengolahan data yang mencerminkan terjadinya supernormal profityang terjadi bukan karena peningkatan efisiensi dan produktivitas perusahaan.Di Indonesia, pembuktian tidak langsung juga pernah dilakukan pada kasus fuel surcharge dan kasus minyak goreng. Dalam kasus tersebut terdapat penafsiran terkait kondisi pasar yang diperkuat dengan teori ekonomi bahwa terjadi parallel behaviour yang merujuk terjadinya suatu kolusi. Pendekatan yang dipakai adalah pembuktian statistik time series harga yang diberikan beberapa pelaku usaha di pasar.

“Dengan indirect evidence ini kita sangat tertolong dan itu sudah terbiasa di negara-negara lain soal indirect evidence dan diperkuat dengan keterangan. Itu (indirect evidence) tidak satu-satunya loh ya, harus diperkuat dengan keterangan saksi dan ahli,” kata Sukarmi.

(Baca Juga: Berharap ‘Wasit’ Persaingan Usaha Lebih Bertaji)

Sayangnya, sejauh pembahasan RUU Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat antara Komisi VI DPR RI bersama Pemerintah tidak terlihat adanya kesepakatan untuk menjadikan indirect evidence sebagai bukti yang berdiri sendiri. Sukarmi mengatakan, usulan pengaturan bukti tidak langsung ke dalam pasal tersendiri awalnya diakomodir oleh Komisi VI DPR RI. Namun, saat pembahasan lebih lanjut di tingkat Badan Legislatif DPR (Baleg), ternyata pasal terkait bukti tidak langsung tersebut dicoret sehingga tidak masuk dalam draf RUU.

KPPU meyakini peluang memasukan pasal terkait bukti tidak langsung itu masih ada di sisa akhir pembahasan sebelum sidang paripurna di gelar. Sukarmi mengusulkan, pasal terkait bukti tidak langsung diatur secara tegas dengan frasa ‘bukti ekonomi’. Pemerintah dan Komisi VI DPR semestinya mempertimbangkan masuknya pasal tersebut karena selama ini penggunaannya telah lazim. Sekedar tahu, dikenal dua macam bukti tidak langsung sebagaimana Pedoman Pasal 5 UU Nomor 5 tahun 1999, yakni bukti komunikasi dan bukti ekonomi.

“Best practices yang berlaku di negara lain dan itu kita gunakan dalam proses pembuktian. Indirect evidence itu ada dua, satu bukti komunikasi dan kedua bukti ekonomi. Bisa dua-duanya kalau kita dapatkan. Bukti komunikasi berupa hasil komunikasi diantara mereka kemudian ditulis dalam minute of meeting atau notulensi rapat itu bisa kita jadikan sebagai bukti. Seperti kasus kartel sepeda motor itukan bukti komunikasinya sangat kuat, ada email dan diperkuat dengan bukti ekonomi terkait pergerakan harga dan sebagainya,” kata Sukarmi.

UU Nomor 5 Tahun 1999RUU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pasal 42:
Alat-alat bukti pemeriksaan berupa:
a.    keterangan saksi;
b.    keterangan ahli;
c.     surat dan atau dokumen;
d.    petunjuk;
e.    keterangan pelaku usaha.

Penjelasan Pasal 42
Cukup Jelas.
Pasal 72 ayat (2):
Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.    keterangan saksi;
b.    keterangan ahli;
c.     surat dan/atau dokumen;
d.    petunjuk; dan/atau
e.    keterangan Pelaku Usaha.

Penjelasan Pasal 72 ayat (2) huruf d
Alat bukti petunjuk antara lain alat bukti ekonomi (economic evidence) dan alat bukti komunikasi (communication evidence).
Merujuk draf RUU Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pasca dibahas oleh Baleg DPR, Sukarmi tak mempermasalahkan sekalipun bukti tidak langsung tersebut tidak masuk setelah dalam sidang paripurna. Draf tersebut sejakan dengan Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2006 yang kemudian diubah Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 di mana indirect evidence adalah bukti petunjuk.

(Baca Juga: Ekstrateritorialitas Penegakan Hukum Persaingan Usaha Sebuah Keniscayaan)

Memang tak bisa dipungkiri, pemerintah dan Komisi VI DPR sementara ini belum setuju dengan usulan tersebut lantaran berpendapat sistem hukum Indonesia tidak mengenal adanya bukti lain selain bukti yang selama ini dikenal dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP seperti saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Sukarmi menegaskan akan terus memberikan pengertian kepada pemerintah dan DPR RI bahwa secara spesifik bukti tidak langsung selama ini lazim dipakai dan diterima dalam hukum persaingan usaha yang diterapkan pada negara lain. Ia pun kembali menekankan, keberadaan bukti tidak langsung mesti diikuti dengan alat bukti lainnya lantaran satu bukti bukan bukti(unus testis nullus testis). Dengan asas tersebut, satu bukti memerlukan bukti lain sebagai pendukung.

“Inikan belum final, masih ada pembahasan. Praktisi dan akademisi yang mengetahui bahwa itu dinilai sebagai alat bukti perlu memberikan masukan kepada pemerintah supaya pemerintah punya pandangan berbeda dengan apa yang terjadi di perbincangan di sana (di DPR). Walaupun tidak dimasukan di dalam satu bentuk norma di alat bukti, kita sudah memasukan itu sebagai satu bentuk petunjuk. Di situ diatur petunjuk, jadi dicantolkan ke sana (bukti petunjuk). Tapi sebetulnya untuk memperkuat dan lebih meyakinkan penegak hukum selayaknya itu jadi alat bukti tersendiri,” kata Sukarmi.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha FHUI, Ditha Wiradiputra berpendapat apabila bukti tidak langsung tersebut ‘dicantolkan’ sebagai bukti petunjuk, kekuatan pembuktiannya akan menjadi tidak maksimal. Pasalnya, bukti petunjuk biasanya ditemukan di tengah proses persidangan serta punya keterkaitan dengan bukti-bukti lain. Sedangkan bukti tidak langsung ini sebagaimana disinggung di atas salah satunya adalah bukti ekonomi yang menunjukkan bahwa benar terjadi pelanggaran misalnya kartel.

“Bukti tidak langsung ini adalah bukti ekonomi seperti statistik yang menunjukkan bahwa benar terjadi kartel. Menunjukkan harga yang hampir mirip, ada pengurangan produksi yang signifikan dan itu yang ditunjukkan. Ketika orang mengatakan ‘saya tidak kartel’, kenapa anda harganya sama dengan kompetitor anda, itu sebagai bukti ekonomi,” kata Ditha kepada Hukumonline di kampus pasca sarjana UI, Selasa (1/8).

Ditha melanjutkan, pandangan pengadilan selama ini terkait bukti tidak langsung masih belum jelas. Kebanyakan putusan KPPU yang diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri (PN) mayoritas diterima dalam arti dikuatkan oleh pengadilan. Namun, bila ditelisik lebih lanjut pada pertimbangan hukum yang disampaikan, Ditha menilai seringkali hakim justru tidak memberikan pertimbangan atas perdebatan yang mengemuka dalam persidangan di tingkat KPPU. Bahkan, beberapa kasus yang dimintakan keberatan juga dikuatkan sekalipun KPPU hanya membuktikan dengan bukti tidak langsung secara tunggal.

Di satu sisi, KPPU memang kesulitan untuk mencari bukti langsung mengingat KPPU tidak memiliki kewenangan untuk menggeledah termasuk menyita dari pelaku usaha. Namun yang namanya persidangan tetap harus menjunjung prinsip due process of law. Merujuk data KPPU tahun 2002-2017, setidaknya 58% putusan KPPU dimenangkan di tingkat PN. Belakangan, satu kasus yang mendapat perhatian adalah vonis KPPU terkait kartel kategori motor jenis skuter matic (Skutik) kelas 110-125cc di mana Yamaha dan Honda terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999 lantaran telah melakukan kesepakatan harga.

Masing-masing dikenakan sanski denda administrasi maksimal Rp 25 miliar untuk Yamaha dan Rp 22,5 miliar untuk Honda. Denda untuk Yamaha lebih tinggi lantaran majelis komisi menilai Yamaha telah memanipulasi data sewaktu persidangan. Dalam putusannya, KPPU menyampaikan bukti pertemuan di lapangan golf dan email internal Yamaha sebagai dasar menjatuhkan putusan. Catatan Hukumonline, pihak KPPU mengklaim memiliki tiga bukti yang sangat kuat.

(Baca Juga: KPPU Harus Sampaikan Direct Evidence Agar Vonis Kartel Skutik Yamaha-Honda Dikuatkan)

Pertama, adanya pertemuan pelaku usaha di lapangan golf. Kedua, tidak lama setelah pertemuan itu, ada kiriman email dari salah satu orang yang ada di lapangan golf kepada bawahannya dan mengatakan supaya memperhatikan selalu harga pesaingnya. Email itu kemudian diterukan lagi kepada marketing yang lain. Yang terakhir, pada tahun yang sama, tahun 2014, KPPU menemukan Honda melakukan lima kali perubahan harga. Perubahan itu pun diikuti oleh Yamaha dengan jumlah yang sama. Dari tiga bukti tersebut, KPPU menilai pembuktian tidak langsung dapat dipakai dalam kasus ini.

“Nah itu permasalahan kelemehan KPPU. Dalam hal ini, dia hanya mendapatkan bukti kalau pelaku usaha menyerahkan. Jadi kalau pelaku usaha pintar, dia tidak akan menyrerahkan dong kalau menyarkakan ‘bunuh diri’. Kenapa bisa email, karena itu saja yang bisa didapat dan harusnya perlu didukung bukti yang lain. Ketika KPPU mengatakan si A salah, sudah pasti salah. Ngga usah pakai email, tidak ada bukti saja salah.  Ada bebarapa perkara yang buktinya apa ya, maka saya selalu kritisi proses penegakan hukum,” kata Ditha.

Bukti Tidak Langsung
Pakar Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia Kurnia Toha menyayangkan tidak jelasnya kedudukan bukti tidak langsung dalam sistem hukum di Indonesia berpotensi merugikan pelaku usaha. Apalagi, selama ini KPPU seringkali menerapkan bukti tidak langsung secara tunggal tanpa disertai bukti-bukti lain. Bahkan tak jarang ditemukan KPPU hanya menggunakan satu bukti tidak langsung dalam memutus misalnya bukti berupa email.

“Kalau email, apa boleh. Tentu harus didukung dengan yang lain. Ini konsep common law, hakim harus yakin. Karena harus jelas yang common law aja buktinya harus banyak tidak cukup sedikit,” kata Kurnia saat menjadi pembicara dalam diskusi panel bertema revisi UU Nomor 5 Tahun 1999 yang digelar Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha FHUI awal Agustus lalu.

Kurnia menambahkan, KPPU harus sangat berhati-hati memperlakukan bukti tidak langsung tersebut. Menurutnya, ada dua kemungkinan yang mesti selalu dipertimbangkan. Pertama, pelaku usaha bisa begitu agresif dalam bersaing. Kedua, pelaku usaha tersebut benar-benar melakukan kolusi. Keduanya bila dilihat secara ekonomi menunjukkan gejala yang serupa sehingga ketika KPPU hanya menerapkan bukti tidak langsung secara tunggal, ia khawatir tindakan pelaku usaha bukan tergolong pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha.

Indirect evidence harus sangat hati-hati. Ada dua kemungkinan, dia agresif bersaing atau kolusi. Harga mirip, tetapnya produksi, bisa karena bersaing secara ketet. Saya setuju ini jadi salah satu bukti. Kalau petunjuk, kan jadi tambahan,” kata Kurnia.

Pakar Hukum Ekonomi dari FHUI Teddy Anggoro berpendapat, bukti tidak langsung harus segera mendapat tempat yang sesuai apakah diterima sebagai bukti atau diterima sebagai petunjuk. Ia menilai, lebih pas bila bukti tidak langsung dinilai sebagai bukti sehingga kedepan tidak lagi dipersoalkan dengan prinsip due process of law. “Kenapa tidak dikuatkan saja dan diterima (indirect evidence). Kita adopsi saja bahwa itu adalah bukti sehingga yang dipermasalahkan soal due procces bisa dikurangi,” kata Teddy awal Agustus kemarin.

Terlepas dari persoalan itu, ia berpendapat, KPPU semestinya melakukan treatment yang berbeda ketika menegakkan UU Nomor 5 Tahun 1999. Selain karena hukum persaingan usaha memiliki porsi ekonomi yang cukup signifikan, bisa jadi tindakan yang dilakukan pelaku usaha saat ini dan dipandang sebagai pelanggaran belum tentu kedepan benar-benar salah. Sebab ada perbedaan mendasar antara persaingan usaha dengan pidana.

“Saat ini salah kedepan bisa tentu benar. Beda dengan pidana. ini ekonomi harus agak lebih fleksibel. Penegakan hukum administratif, itu artinya hentikan atau kembalikan ke keadaan semula,” kata Teddy.

Dimintai tanggapannya, Senior Associate dari firma hukum HADS Partnership Law Office, Lantiko Hikma Suryatama mengatakan, ada kondisi di mana bukti tidak langsung mungkin diterima majelis hakim pada pengadilan negeri dengan catatan kualitas nilai pembuktiannya menunjukkan adanya pelanggaran terhadap UU Nomor 5 Tahun 1999. Ambil contoh, email yang disampaikan apabila tidak membuktikan subtansi pembicaraan maka tidak dapat diterima.

“Akan lebih baik kalau misalnya Mahkamah Agung (MA),lawyer, dan KPPU duduk bersama untuk kemudian merumuskan bukti tidak langsung seperti apa. Jangan semua dianggap sebagai indirect evidence, kasian pelaku usaha,” kata Lantiko kepada hukumonline, Jumat (4/8).

Lantiko menambahkan, KPPU selama ini seringkali menetapkan bukti tidak langsung hanya berdasarkan pergerarakan harga pelaku usaha tertentu. Padahal tidak semua pergerakan harga antar pelaku usaha menunjukkan adanya pelanggaran. Sebagai contoh, pelaku usaha A yang memiliki skala usaha besar suatu ketika menaikan harga biasanya akan diikuti pelaku usaha lainnya yang memiliki skala usaha lebih kecil. Begitu pula dengan misalnya, penurunan harga bahan baku untuk industri tertentu biasanya akan diikuti juga penurunan harga oleh pelaku usaha terkait.

Dua contoh itu, kata Lantiko, lebih cenderung dinilai sebagai reaksi alamiah yang dilakukan pelaku usaha. Yang mesti dibenahi, kata Lantiko, KPPU seringkali melupakan bahwa bukti yang diajukan dnilai sebagai bukti sepanjang dipenuhi syarat minimal dua alat bukti. Bukti tidak langsung yang punya kedudukan sebagai bukti petunjuk, berarti harus dilengkapi dengan bukti lain agar prinsip dua alat bukti tersebut terpenuhi misalnya ditambah lagi dengan bukti saksi ataupun bukti dari ahli.

“Butuh bukti satu lagi. Ahli atau saksi baru dikombinasi, Harus ada plus faktor, yang jadi pemberat dan pembuktiannya berkualitas,” kata Lantiko.
Tags:

Berita Terkait