Bahasa Hukum: “Ganti Rugi Gagal Panen Akibat Kejadian Luar Biasa”
Berita

Bahasa Hukum: “Ganti Rugi Gagal Panen Akibat Kejadian Luar Biasa”

Inilah konsep pembayaran ganti rugi yang tak didasarkan pada gugatan. Pembayarannya disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Tanaman padi petani yang masih menghijau. Perubahan iklim bisa menyebabkan gagal panen. Ada konsep ganti rugi kepada petani. Foto ilustrasi: MYS
Tanaman padi petani yang masih menghijau. Perubahan iklim bisa menyebabkan gagal panen. Ada konsep ganti rugi kepada petani. Foto ilustrasi: MYS
Di tengah isu komoditas pangan beras dan garam yang lagi hangat saat ini, ada satu frasa yang relevan untuk diperhatikan kalangan hukum dari UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU PPT). Frasa itu membentuk suatu bahasa hukum yang seharusnya diperjelas makna dan cakupannya. Frasa dimaksud ialah “ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa’.

Pasal 33 UU PPT menyebutkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan bantuan ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa sesuai kemampuan keuangan negara. Untuk menentukan besaran ganti rugi itu, Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berkewajiban (a) menentukan jenis tanaman dan menghitung luas tanam yang rusak; (b) menentukan jenis dan menghitung ternak yang mati; dan (c) menetapkan besaran ganti rugi tanaman dan/atau ternak.

(Baca juga: Harga Beras Meroket, DPR Tuding Ulah Pemain Besar).

Lantas, apa yang dimaksud dengan ‘ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa’? Jika dipilah, frasa panjang itu merupakan gabungan tiga istilah, yakni (i) ganti rugi; (ii) gagal panen; dan (iii) kejadian luar biasa. Ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa sebenarnya merupakan salah satu bentuk kebijakan perlindungan yang disiapkan Pemerintah bagi para petani. Selain ganti rugi dari Pemerintah itu, ada banyak kebijakan lain yang bisa ditempuh. Misalnya, pengaturan impor komoditas pertanian, penetapan tarif bea masuk komoditas pertanian, subsidi sarana produksi, dan asuransi pertanian.

Ganti Rugi
Ganti rugi adalah istilah yang sangat dikenal dalam dunia hukum dan selalu dikaitkan dengan Pasal 1365 BW (KUH Perdata).  Pasal ini menyebutkan “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Selanjutnya Pasal 1366 KUH Perdata menyebutkan setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.

Menurut J. Satrio (2005: 2) ganti rugi dalam Pasal 1365 BW didasarkan pada perbuatan melawan hukum. Dalam praktiknya, perbuatan melawan hukum sudah mengalami perluasan makna. Pasal 1365 dan 1366 mengatur tentang pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kerugian. Jelas, yang bertanggung jawab adalah pihak yang menimbulkan kerugian.

Konsep ganti rugi tak hanya dikenal dalam lapangan perdata, tetapi juga administrasi negara dan pidana. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menganut asas pencemar membayar. Siapapun atau perusahaan apapun yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup diharuskan membayar ganti sesuai kesepakatan mediasi atau putusan pengadilan. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik juga mengenal ganti rugi oleh badan publik negara. Dalam hukum pidana, pelaku tindak pidana korupsi yang dinyatakan bersalah menyebabkan kerugian negara acapkali dibebani kewajiban membayar uang pengganti kerugian sebesar kerugian negara itu.

(Baca juga: Jalan Berliku Korban Salah Tangkap Peroleh Uang Ganti Kerugian).

Dari beberapa contoh regulasi di atas, jelas bahwa yang membayar ganti rugi adalah yang menyebabkan kerugian. Kewajiban membayar kerugian setelah ada gugatan atau langkah hukum. Juga, pembayaran kerugian itu karena terbukti pelaku melakukan perbuatan melawan hukum. Namun di sini, dalam konteks UU PPT, tidak ada perbuatan melawan hukum. Yang ada adalah kejadian luar biasa yang disebabkan oleh alam (iklim).

Pemberian ganti rugi dalam konteks UU PPT ternyata bukanlah kewajiban yang diperintahkan pengadilan karena adanya gugatan atau langkah hukum. Ada dua alasan yang memperkuat argumentasi ini. Pertama, penggunaan kata ‘dapat’ yang bermakna bisa ‘ya’ (dibayar) bisa ‘tidak’ (tidak dibayar). Kedua, ada frasa yang menyebutkan pembayaran ganti rugi akan disesuaikan dengan keuangan Pemerintah. Kalau keuangan Pemerintah tak memungkinkan berarti ganti rugi tidak akan diberikan. Kalaupun diberikan jumlahnya kemungkinan akan kecil.

Pihak penanggung jawab juga beda. Yang selalu bertanggung jawab membayar ganti rugi dalam UU PPT adalah selalu Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing.

Tanggung jawab Pemerintah dan/Pemerintah Daerah memang diatur jika terjadi bencana yang menimpa masyarakat. Setidaknya, menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pemerintah bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana, berupa: (a) pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; (b) perlindungan masyarakat dari dampak bencana; (c) penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum; (d) pemulihan kondisi dari dampa bencana; (e) pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam APBN/D yang memadai; (f) pengalokasian dana siap pakai; dan (g) pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.

Gagal Panen
Dalam dunia hukum perbankan telah dikenal gagal bayar, suatu kondisi dimana debitor tidak sanggup lagi membayar kewajibannya. Gagal panen adalah kondisi dimana petani tidak bisa memanen hasil pertaniannya akibat penyakit, perubahan iklim, atau akibat bencana alam. Dalam lingkup pertanian, gagal panen sering diselaraskan dengan puso, paceklik, dan krisis.

Jika petani gagal panen, Pemerintah menjalankan tanggung jawabnya sebagai pelindung masyarakat. Konsep ini juga dikenal jika bencana alam mengakibatkan kerugian kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. Mereka yang terkena dampak berhak mendapatkan bantuan dari Pemerintah berupa bantuan tanggap darurat (misalnya pengobatan dan beras) dan bantuan rehabilitasi (misalnya sarana dan prasarana usaha). Ini diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 22 Tahun 2014 yang mengatur perubahan ketentuan perlindungan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam rakyat yang terkena bencana alam.

Kejadian Luar Biasa
Apa yang dimaksud dengan ‘kejadian luar biasa’? Dalam kehidupan sehari-hari sering digunakan istilah KLB (kejadian luar biasa) jika terjadi fenomena tertentu seperti serangan malaria, kekeringan akibat musim kemarau panjang, kekurangan bahan pangan, dan lain-lain.

Salah satu regulasi yang menyinggung nomenklatur ini adalah Peraturan Menteri Kesehatan No. 2 Tahun 2013  tentang Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan. KLB Keracunan Pangan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala yang sama atau hampir sama setelah mengkonsumsi pangan, dan berdasarkan analisis epidemiologi, pangan tersebut terbukti sebagai sumber keracunan. Permenkes ini menitikberatkan KLB pada jumlah orang dan akibat yang timbul.

‘Ganti Rugi Gagal Panen Akibat Kejadian Luar Biasa’ dalam konteks UU PPT ternyata adalah ganti rugi yang tidak ditanggung oleh Asuransi Pertanian yang diakibatkan antara lain oleh terjadinya pemusnahan budi daya tanaman atau ternak yang disebabkan oleh area endemik, bencana alam periodik, dan/atau rusaknya infrastruktur pertanian. Penegasan itu disebutkan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU PPT.

Bersyarat
Jika dibaca secara utuh UU PPT tampak jelas bahwa pembayaran ganti rugi kepada petani akibat gagal panen tidak bersifat otomatis. Ada syarat tertentu yang harus dipenuhi, baik persyaratan yang ada Pemerintah maupun syarat objektif di lapangan. Syarat di Pemerintah yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (1) UU PPT adalah ‘kemampuan keuangan negara’.

Kondisi objektif di lapangan yang menjadi syarat adalah kesungguhan benar terjadinya gagal panen akibat KLB. Jika Pemerintah sudah menetapkan KLB, masih ada kewajiban untuk melakukan penilaian seperti dijelaskan di atas, yakni: (a) menentukan jenis tanaman dan menghitung luas tanam yang rusak; (b) menentukan jenis dan menghitung ternak yang mati dalam kasus KLB menimpa peternakan; dan (c) menetapkan besaran ganti rugi tanaman dan/atau ternak.

(Baca juga: Cara Pembagian Ganti Rugi dalam Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)).

Masalahnya, metode perhitungan yang menghasilkan besaran ganti rugi tak dijelaskan dalam UU PPT. Karena itu, hampir dapat dipastikan pembayaran ganti rugi gagal panen akibat KLB tidak semudah membalik telapak tangan di lapangan. Apalagi jika keuangan negara tidak memadai.
Tags:

Berita Terkait