Mekanisme Penyadapan ‘dalam Keadaan Mendesak’ Perlu Dirinci
Berita

Mekanisme Penyadapan ‘dalam Keadaan Mendesak’ Perlu Dirinci

Agar menjadi satu alat bukti yang sah di pengadilan sesuai dengan hukum acara.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penanganan terorisme. Foto: RES
Ilustrasi penanganan terorisme. Foto: RES
Pembahasan revisi Undang-Undang (UU) No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih terus berlangsung antara DPR dan Pemerintah. Perkembangan teranyar, tim Panitia Kerja (Panja) RUU dan tim Pemerintah telah menyepakati pasal penyadapan dilakukan setelah mendapat persetujuan dari pengadilan. Penyadapan dapat dilakukan terlebih dahulu sepanjang syarat ‘dalam keadaan mendesak’ terpenuhi. Setelah dilakukan penyadapan baru dimintakan persetujuan dari pengadilan.

Masalahnya, apa yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan mendesak’? Apa ukuran atau kriterianya? Apakah semata-mata didasarkan pada subjektivitas aparat atau ada kondisi objektif yang harus dipenuhi? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab dala penjelasan yang lebih rinci dalam revisi Undang-Undang dimaksud.

Direktur Eksekutif  Institute for Criminal Justice Reform(ICJR)Supriyadi W. Eddyono, berpandangan tindakan penyadapan sebagaimana tertuang dalam UU No. 15 Tahun 2003 hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri (PN) dalam kurun waktu paling lama 1 tahun. Tindakan tersebut harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik.

Penyadapan dalam RUU merupakan tindakan penegakan hukum, bukan  menjadi kepentingan intelijen. Mekanisme penyadapan mesti berdasarkan prinsip fair trial. Misalnya, penyadapan mesti dengan surat perintah yang diberikan oleh hakim pengadilan. Sebab penyadapan dalam konteks penegakan hukum sebagai bagian dari upaya paksa. “Sehingga hasil penyadapan tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti di pengadilan,” ujarnya di Jakarta, Jumat (11/8).

Supriyadi juga menegaskan kewenangan penyadapan ‘dalam keadaan mendesak’  harus diatur detil. Sebab, proses penyadapan yang dilakukan tanpa melalui mekanisme izin ke ketua pengadilan sangat berpotensi  disalahgunakan, bahkan melanggar hak privasi warga negara. Rincian meliputi pula jangka waktu tertentu memberikan kepastian agar penyadapan tidak dilakukan sewenang-wenang.

Rumusan pasal 31A dalam RUU yang telah disepakati menyebutkan, “Dalam keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu terhadap orang yang diduga mempersiapkan, merencanakan dan melakukan tindak pidana teror, dan setelah pelaksanaannya dlm jangka waktu paling lama 3 hari wajib memberitahukan ketua PN utk mendapatkan persetujuan”.

(Baca juga: Disepakati, Penyadapan Harus Mendapat Izin Pengadilan).

Dalam proses pembahasan, Pemerintah mengusulkan ‘keadaan mendesak’ diartikan sebagai bahaya maut atau luka fisik serius dan mendesak, permufakatan jahat untuk lakukan tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau permufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana terorganisasi. Pembahasan muatan dalam Pasal 31 A telah disetujui, dengan merekomendasikan frasa ‘keadaan mendesak’ yang mengacu pada draf Revisi KUHAP.

Cuma, kata Supriyadi, rumusan  ‘keadaan mendesak’ yang tertuang dalam RUU KUHAP dinilai masih terlampau longgar. Karena itu ia mengusulkan perlu dibuat batasan yang relevan dengan keadaan mendesak dalam konteks penanganan terorisme. Misalnya model pengaturan dibentuk dalam rangka mengantisipasi bila dalam ‘kondisi tertentu’ hilangnya bukti kejahatan yang dilakukan pelaku hilang jika tidak dilakukan penyadapan.

Model Pengaturan ini dibentuk untuk mengantisipasi jika dalam “kondisi tertentu” bukti-bukti terjadinya kejahatan akan hilang atau momentum mendapatkan bukti-bukti penting akan hilang jika tidak dilakukan penyadapan.

“Secara umum dapat dilihat bahwa persyaratan penyadapan dalam keadaan mendesak milik Rancangan KUHAP mengadopsi pengaturan penyadapan dalam keadaan mendesak di berbagai Negara. Namun adopsi yang dilakukan oleh Rancangan KUHAP kurang mengatur secara rinci mengenai persyaratan, pengawasan dan implikasi terhadap validitas alat bukti dalam kondisi penyadapan mendesak,” ujarnya.

(Baca juga: RUU Terorisme Bakal Pidanakan Penyidik Pembocor Hasil Penyadapan).

Potensi disalahgunakan tetap ada jika mekanisme pengaturan penyadapan hanya mengadopsi RUU KUHAP tanpa ada aturan lebih rinci. Menurut Supriyadi, rumusan keadaan mendesak dalam RUU KUHAP masih bersifat umum. Ia beralasan rumusan penyadapan dalam RUU KUHAP merupakan prosedur hukum acara yang terhadap seluruh jenis tindak pidana di Indonesia.

Deputi Direktur Riset Elsam, Wahyudi Djafar  mengatakan penyadapan dalam situasi mendesak merupakan otorisasi yang bersifat post facto supervision, memang dimungkinkan. Ini adalah sarana dalam rangka menguji legalitas tindakan penyadapan. Namun otorisasi yang sifatnya pre facto supervision tetap harus diutamakan.“Untuk memastikan praktik penyadapan tersebut tidak sewenang-wenang,” ujarnya.

(Baca juga: Perlunya Pengaturan Khusus Soal Penyadapan).

Wahyudi menilai tindakan penyadapan merupakan bagian dari pengurangan kebebasan sipil. Karena itulah ketentuan dalam UU No. 15 Tahun 2003 sedianya sudah memadai dengan prinsip lawfull interception. Ia berpendapat rumusan aturan ketentuan penyadapan mestinya tidak mengalami perubahan.

“Cukup ditambahkan klausul kemendesakan dan ketentuan lebih lanjut mengenai relasi aturan penyadapan dalam undang-undang ini (terorisme), dengan aturan khusus tentang tata cara penyadapan, yang akan dirumuskan dalam suatu undang-undang khusus,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait