Rancangan Perpres TKDN Diharap Tak Kandas di Tengah Jalan
Berita

Rancangan Perpres TKDN Diharap Tak Kandas di Tengah Jalan

Perpres ini adalah langkah tepat yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam rangka memperkuat daya saing industri nasional.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Foto: igj.or.id
Foto: igj.or.id
Saat ini Presiden Joko Widodo sedang menyusun Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Perpres ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor. Merespons hal ini, Indonesia for Global Justice (IGJ) menyatakan dukungannya terhadap langkah presiden dalam pembuatan Perpres TKDN ini. Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menyatakan Perpres ini adalah langkah tepat yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam rangka memperkuat daya saing industri nasional.

Namun, Rachmi mengingatkan Pemerintah agar kebijakan TKDN ini jangan sampai kandas di tengah jalan. Hal ini dikarenakan adanya trend proteksionisme ekonomi global serta perundingan Indonesia di berbagai kerjasama perdagangan internasional, khususnya dalam EU CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) dan RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership).

“Pasalnya, Perjanjian perdagangan bebas melarang ketentuan kewajiban TKDN,” ujar Rachmi, Senin (14/8), di Jakarta.

Rachmi berkaca pada pengalaman Vietnam yang menandatangani CEPA dengan EU. Dalam bab investasi Vietnam-EU CEPA, khususnya aturan tentang Performance Requirements melarang Negara untuk mensyaratkan atau mewajibkan konten lokal dalam sebuah investasi atau sektor industri tertentu.

Begitu pun dalam Scooping Paper Indonesia-EU CEPA juga disebutkan bahwa coverage aturan Investasi perlu mempertimbangkan penerapan tentang ketentuan Performance Requirements yang melarang adanya kewajiban konten lokal. (Baca Juga: Ada yang Perlu Diwaspadai dalam CEPA Indonesia-Uni Eropa)

Selain itu, Rachmi juga berharap dengan adanya Prepres TKDN ini, dapat menjadikan Indonesia lebih kuat sebagai pemain dalam Global Value Chains (GVC).  “Kebijakan ini sangat strategis bagi pembangunan industry nasional dan akan memberikan efek domino yang cukup besar bagi perekonomian nasional. Sehingga, Indonesia semakin berpeluang menjadi pemain aktif dalam agenda Global Value Chains,” ujar Rachmi.

GVC sendiri adalah sebuah revolusi sistem produksi dengan pendekatan jaringan global.  GVC ini menerapkan praktik produksi dan distribusi suatu barang dapat diselenggarakan secara bersama-sama oleh beberapa negara. Dalam GVC, satu tahapan produksi dari satu kesatuan proses produksi diselenggarakan di satu negara sedangkan tahapan berikutnya dilakukan di negara lain.

GVC dimungkinkan karena adanya revolusi teknologi komunikasi dan logistik serta makin menurunnya hambatan perdagangan antar negara yang membuat barang dan jasa dapat berpindah nyaris tanpa hambatan dari satu negara ke negara lain.

Salah satu contoh GVC adalah sistem produksi kendaraan bermotor di Asia yang telah melibatkan proses produksi dan distribusi satu jenis kendaraan di beberapa negara di kawasan ini, di mana komponen dari kendaraan bermotor diproduksi di berbagai negara sedangkan perakitan dilakukan di negara lain di Asia. (Baca juga: Konstitusionalitas Perjanjian Transpasific Partnership)

Rachmi menambahkan, selama ini di dalam forum perdagangan multilateral, EU selalu menyuarakan negative terhadap kebijakan investasi Indonesia, khususnya terkait dengan kebijakan TKDN yang diterapkan baik dalam sector elektronik, telekomunikasi, sector tambang, migas, dan listrik, maupun sektor retail.
“EU menganggap bahwa kebijakan ini menjadi non-tarrif barriers dalam perdagangan dan merugikan investornya,” ujar Rachmi.

Dalam putaran perundingan ke-3 Indonesia-EU CEPA yang akan berlangsung 10-17 September 2017, di Brusels, Rachmi meminta agar kebijakan TKDN harus menjadi kekuatan posisi runding Indonesia. Rachmi menilai, kerja sama perekonomian antara Indonesia dengan Negara-Negara Uni Eropa seharusnya membawa dampak positif terhadap pertumbuhan sector industri nasional.

“Pemerintah Indonesia harus konsisten dalam menerapkan kebijakan TKDN ini. Jangan sampai, hanya karena EU CEPA kebiijakan ini harus dibatalkan. Justru seharusnya, Kebijakan TKDN ini harus menjadi posisi runding yang kuat bagi Indonesia terhadap Uni Eropa, sehingga kerjasama ini dapat membuka ruang bagi pertumbuhan industri nasional, bukan kembali mengkerdilkan atau bahkan mematikan Industri nasional akibat pembukaan akses barang impor diseluruh aktivitas ekonomi,” tegas Rachmi. (Baca Juga: Pemerintah Diminta Hati-hati Rancang Model Bilateral Investment Treaty)

Trend Proteksi Global
Pada kertas presentasinya dalam The Eurodad Confrence, di Den Hag (21/6), Rachmi memaparkan mengenai trend proteksi ekonomi dunia yang penjadi perhatian setelah terjadinya Brexit dan adanya kebijakan ekonomi Donald Trump. Trend proteksi ini menjadi isu yang tidak bisa dilepaskan dari analisis ekonomi politik global, terutama terkait isu perdagangan internasional.

Menurut Rachmi, laporan monitoring perdagangan WTO 2015 menyebutkan bahwa sejak krisis ekonomi global menghantam pada 2008, terjadi peningkatan terhadap tindakan pembatasan perdagangan. Hingga Oktober 2014, dari total 2.146 tindakan pembatasan perdagangan baru 508 tindakan atau 24 % dari total tindakan telah dihapus, dan masih tersisa sebanyak 1.638 atau 76% tindakan.

Sementara itu, menurut G20, anggotanya bertanggungjawab terhadap 81 % dari tindakan proteksionis di seluruh dunia pada 2015. G20 juga memandang bahwa proteksionisme yang ada hari ini jauh melampaui retorika anti perdagngan, tetapi isu ini lebih dalam dan berimplikasi terhadap pilihan politik negara yang memilih aliran nasionalisme.

Selanjutnya Rahmi mengatakan, dalam situasi ekonomi global seperti ini, setiap negara akan mencari strategi yang efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasionalnya. Seperti yang dilakukan oleh Indonesia, dengan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi, Pemerintah memberikan stimulus fiskal dan moneter melalui peningkatan daya saing nasional dan penguatan ekonomi rakyat.

Efek pelemahan ekonomi global terus menekan sisi fisckl dan moneter Indonesia. Sejak 2012 efek pelemahan nilai rupiah berdampak terhadap neraca perdagangan Indonesia yang mengalami penurunan kinerja ekspor akibat tingginya ketergantunagn terhadap impor yang kemudian berdampak pada defisit transaksi berjalan.

Menurunnya, kinerja ekspor Indonesia akan berdampak pada produksi dan output industri dalam negeri yang selanjutnya akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Hal inilah yang pada akhirnya menyadarkan Pemerintah Indonesia bahwa jika struktur perdagangan ini tetap langgeng, maka ke depan akan semakin membahayakan fondasi ekonomi Indonesia.

Situasi inilah yang akhirnya mendorong Pemerintah untuk mengambil langkah penyelamatan. Menggerakkan sektor riil menjadi pilihan utama Pemerintah untuk memperkuat sisi fiskal dan moneter Indonesia. Beberapa strategi di sektor riil yang diambil seperti meningkatkan daya saing nasional dengan program hilirisasi industri, mempercepat pembangunan instruktur, dan menggerakkan ekonomi pedesaan.

Menurut Rachmi, strategi ini akan menjadi sangat penting di era pasar terbuka guna menciptakan daya saing yang berkualitas. “Apalagi Indonesai banyak terlibat di dalam kerjasama perdagangan bebas seperti AEC, ASEAN RCEP, dan Kerja sama Bilateral lainnya seperti EU CEPA, Australia CEPA, dan sebagainya,” pungkas Rachmi.

Tags:

Berita Terkait