Celah Hukum Penggunaan Dana Haji
Kolom

Celah Hukum Penggunaan Dana Haji

Setidaknya ada tiga celah hukum dalam penggunaan dana haji, mulai dari tujuan investasi, manfaat bagi jamaah haji, dan tanggung jawab keuangan negara, yang harus segera dicarikan solusinya.

Oleh:
Roziqin
Bacaan 2 Menit
Roziqin. Foto: Koleksi Pribadi.
Roziqin. Foto: Koleksi Pribadi.
Akhir-akhir ini, kontroversi penggunaan dana haji terus mengemuka. Hal ini dipicu rencana penggunaan dana haji oleh Pemerintah untuk membiayai proyek infrastruktur. Tak tanggung-tanggung, pengusul rencana adalah Presiden Joko Widodo usai melantik Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH). 
Pemerintah sendiri ternyata belum satu suara mengenai model penggunaan dana haji dimaksud. Presiden, Wapres, Ketum MUI misalnya mengusulkan dana haji untuk pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara, dan kelapa sawit. Wapres bahkan mengiming-imingi penggunaan dana haji untuk infrastruktur akan mendapat keuntungan 15%. Presiden kemudian merivisi dengan mengatakan penggunaan dana haji untuk infrastuktur hanya contoh. Menag Lukman Hakim Saifudin, meskipun setuju dana haji untuk infrastruktur, namun membatasi penggunaan dana haji demi untuk kemaslahatan jamaah haji dan masyarakat luas. 
Menag mendasarkan pada hasil Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia IV Tahun 2012 tentang Status Kepemilikan Dana Setoran BPIH Yang Masuk Daftar Tunggu (Waiting List). Menurut Menag, hasil investasi itu menjadi milik calon jemaah haji. Adapun pengelola berhak mendapatkan imbalan yang wajar/tidak berlebihan. Namun demikian, dana BPIH tidak boleh digunakan untuk keperluan apa pun kecuali untuk membiayai keperluan yang bersangkutan. Fatwa itu juga sejalan dengan UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (UU 34/2014). 
Kehadiran UU 34/2014 diharapkan memberi kepastian hukum pengelolaan keuangan haji, terutama pasca pembentukan BPKH yang diamanatkan mengelola keuangan haji. Namun demikian, penulis setidaknya melihat tiga celah hukum dalam penggunaan dana haji, mulai dari tujuan investasi, manfaat bagi jamaah haji, dan tanggung jawab keuangan negara, yang harus segera dicarikan solusinya.
Pertama, UU 34/2014 belum mengatur tujuan investasi. UU hanya menyatakan bahwa pengelolaan keuangan haji oleh BPKH dilakukan secara korporatif dan nirlaba. Dalam Penjelasannya, asas “nirlaba” adalah pengelolaan keuangan haji dilakukan melalui pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi jemaah haji dan kemaslahatan umat Islam, namun dengan tidak ada pembagian deviden bagi pengelolanya. Asas nirlaba demikian sesuai dengan asas “manfaat”, yang dalam penjelasan, dinyatakan bahwa pengelolaan keuangan haji harus dapat memberikan manfaat atau maslahat bagi jemaah haji dan umat Islam.
UU 34/2014 tidak memberi penjelasan apa yang dimaksud korporatif. Menurut KBBI, korporatif berarti bersifat atau berkaitan dengan korporasi. Tidak ada ketentuan yang tegas bahwa investasi dana haji harus menguntungkan. Terlebih belum ada Peraturan Pemerintah sebagai turunan UU ini. Jika yang dimaksud korporatif adalah komersil atau menguntungkan, maka hal ini tidak sesuai dengan asas Pasal 2 UU 34/2014, yang hanya mengenal asas syariah, kehati-hatian, manfaat, nirlaba, transparan; dan akuntabel. Dengan demikian, bagaimana pengaturan jika investasi mengalami kerugian? 
Kekhawatiran terjadi bila BPKH dengan alasan menghindari potensi masalah atas kesalahan investasi, terjebak pada urusan investasi semata dengan meninggalkan tugas utamanya untuk mengelola keuangan haji secara lebih luas. Toh untuk urusan investasi telah ada lembaga pemerintah yang lebih concern seperti Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dan  Sarana Multi Infrastruktur (SMI), dan Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN).
Tags: