Ombudsman Soroti Pelayanan Lapas Terkait Pengurangan Masa Hukuman
Berita

Ombudsman Soroti Pelayanan Lapas Terkait Pengurangan Masa Hukuman

Ada temuan maladministrasi terhadap hak warga binaan pemasyarakatan untuk mendapat pengurangan masa hukuman.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Narapidana di sebuah lembaga pemasyarakatan. Foto: RES
Narapidana di sebuah lembaga pemasyarakatan. Foto: RES
Laporan masyarakat ke Ombudsman mengenai layanan lembaga pemasyarakatan (lapas) menurun dari 36 pengaduan (2014) menjadi 31 (2015) dan 22 (2016). Komisioner Ombudsman, Ninik Rahayu, mengatakan walau jumlahnya turun bukan berarti warga binaan atau narapidana sudah memperoleh pelayanan publik yang baik di lapas. Buktinya, saat melakukan sidak ke lapas, Ombudsman menerima banyak keluhan.

Salah satu persoalan yang diadukan mengenai hak narapidana mendapat pengurangan masa hukuman. Ombudsman melakukan pemantauan di 4 lapas yaitu lapas kelas IIA Pekanbaru, lapas kelas IIA Bekasi, lapas perempuan kelas IIA Palembang dan lapas kelas IIA Bogor. Dari pemantauan itu Ombudsman menemukan sedikitnya 963 permohonan hak pengurangan masa hukuman yang tidak dikabulkan.

UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur hak pengurangan masa hukuman, namun narapidana sulit mendapatkannya. Ninik mengatakan pelayanan pemberian hak pengurangan masa hukuman di lapas tidak diurus dengan baik oleh pejabat berwenang. Akhirnya, banyak warga binaan pemasyarakatan yang tidak memperoleh haknya. (Baca juga: Ratusan Napi Nusakambangan Diusulkan Dapat Remisi).

Ninik mencatat ada sejumlah temuan maladministrasi terhadap hak narapidana untuk mendapat pengurangan masa hukuman seperti remisi, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas. Informasi mengenai adanya hak tersebut baru diinformasikan pihak lapas pada saat narapidana dikumpulkan untuk mengikuti sidang tim pengamat pemasyarakatan (TPP). Akibatnya pihak keluarga narapidana tidak mempersiapkan syarat yang dibutuhkan dengan baik dan prosesnya terkendala.

Walau ada ketentuan yang mengatur jangka waktu proses pengurangan masa hukuman di tingkat lapas, tapi peraturan ini tidak dipatuhi. Sehingga narapidana tidak mengetahui berapa lama proses yang dibutuhkan. Selain itu cepat atau lambatnya tindaklanjut proses tersebut dipengaruhi oleh tingkat kedekatan narapidana dengan petugas lapas. Tentu saja kedekatan emosional ini ukurannya tidak jelas dan subjektif serta berujung diskriminatif.

“Pada proses awal pengajuan ini ditemukan potensi maladministrasi berupa ketidakjelasan informasi dan dugaan tindakan diskriminasi,” kata Ninik dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (21/8). (Baca juga: Remisi, Hadiah Istimewa untuk Penghuni Jeruji Besi).

Dari proses pengurusan hak narapidana itu selain ada potensi maladministrasi bisa juga menimbulkan gratifikasi dan korupsi. Ada narapidana yang mengurus hak pengurangan masa hukuman memberi uang kepada petugas lewat perantara seperti warga binaan yang telah ditunjuk. Besaran uang yang diberikan untuk mengurus proses tersebut variatif, ada yang memberi uang Rp3 juta, ada pula Rp30 juta.

Ombudsman menemukan sedikitnya 5 penyebab pelayanan terhadap pengurangan masa hukuman itu tidak memadai. Pertama, keterbatasan SDM, jumlah petugas pelaksana sangat terbatas sehingga tidak optimal memantau tindak lanjut proses pengajuan pengurangan masa hukuman. Kedua, minimnya sosialisasi mengenai hak dan kewajiban narapidana. Ketiga, keterbatasan anggaran, salah satu dampaknya sidang TPP yang digelar di beberapa lapas dilakukan dengan cara mengumpulkan sampai 70 narapidana dalam satu ruangan.

Keempat, perbedaan persepsi antara lapas, kejaksaan, kepolisian, dan KPK, khususnya dalam permohonan pengajuan justice collaborator (JC). Hal ini terjadi karena PP No.99 Tahun 2012 tidak mengatur secara khusus mengenai jangka waktu dan mekanisme permohonan pengajuan JC. Kelima, indikasi perilaku menyimpang oleh petugas. Misalnya, pemberian uang oleh narapidana atau keluarganya dalam pengurusan hak pengurangan masa hukuman. “Perilaku menyimpang itu merupakan maladministrasi yang perlu dicegah dengan cara membuat sistem yang baik,” ujar Ninik.

Guna membenahi persoalan tersebut Ombudsman memberi saran agar narapidana dibekali informasi terkait haknya berupa pengurangan masa hukuman. Melengkapi sarana dan prasarana lapas dengan memasang cctv yang layak sehingga mengurangi dugaan potensi maladministrasi berupa pemberian uang kepada petugas. “Semua petugas di lapas harus mematuhi standar pelayanan yang telah ada,” tegas Ninik.

Untuk jangka menengah dan panjang, Ombudsman merekomendasikan pemerintah untuk menerbitkan peraturan terkait penentuan batas waktu yang jelas untuk setiap proses pengurangan masa hukuman. Membangun sistem administrasi berbasis IT sebagai tempat informasi umum atau pengurusan terkait hak warga binaan. Terakhir, meninjau ulang PP No.99 Tahun 2012.

Plt Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Ma’mun, menyambut baik temuan Ombudsman. Dia berjanji akan menindaklanjuti temuan itu asalkan data yang disampaikan jelas. Dia mengatakan salah satu persoalan yang dihadapi lapas yaitu kelebihan penghuni dan kekurangan jumlah petugas (SDM) sehingga berdampak terhadap pelayanan dan pengawasan. (Baca juga: Kapan Remisi dan Pembebasan Bersyarat Bisa Didapatkan Narapidana?).

Mengenai proses pengajuan pengurangan masa hukuman, Ma’mun mengatakan Menteri Hukum dan HAM telah menyetujui perubahan Permenkumham No. 21 Tahun 2016 tentang Perubahan Permenkumham No. 21 Tahun 2003 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Remisi, Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Proses tersebut akan diselenggarakan secara daring agar narapidana dan keluarganya bisa memantau perkembangannya. “Melalui cara ini diharapkan narapidana punya kepastian untuk mendapat haknya,” urainya.
Tags:

Berita Terkait