Kenali Kebutuhan Anda Sebelum Berafiliasi dengan Law Firm Asing
Utama

Kenali Kebutuhan Anda Sebelum Berafiliasi dengan Law Firm Asing

Pelajari profil law firm asing yang akan diajak kerja sama.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Sri Indrastuti Hadiputranto (kanan) bersama Daniel Ginting (tengah) dan Bono Dari Adji (kiri)
Sri Indrastuti Hadiputranto (kanan) bersama Daniel Ginting (tengah) dan Bono Dari Adji (kiri)
Afiliasi antara dua atau lebih law firm merupakan strategi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kapasitas bisnis law firm. Namun banyak hal yang mesti diperhatikan sebelum anda benar-benar memutuskan untuk berafiliasi dengan law firm asing.

“Mungkin apa yang saya gambarkan di sini soal afiliasi dengan firma hukum asing. Apakah diperlukan? Siapa dan bagaimana kita menghadapinya? Building institution, quality dalam partnership, dan sebagainya. Itu semua sebenarnya merupakan satu kesatuan,” ujar Founder Law Firm Hadiputranto Hadinoto & Partner, Sri Indrastuti Hadiputranto, kepada hukumonline, usai menjadi pembicara dalam dialog tentang Peluang dan Tantangan Merger Firma Hukum: Perspektif Lokal dan Regional, Rabu (16/8), di Jakarta.

Perempuan yang kerap disapa Tuti ini menuturkan pengalamannya sebagai salah satu advokat Indonesia yang memiliki pengalaman paling banyak dalam mendirikan suatu partnership maupun dalam bekerja sama dengan law firm asing.

Sebagai langkah awal sebelum memutuskan untuk membangun afiliasi dengan law firm asing, Tuti mengajak para advokat untuk terlebih dahulu mengidentifikasi urgensitas membangun afiliasi dengan law firm asing. Menurut Tuti, seorang advokat harus memahami esensi dari afiliasi yang akan dibangun dengan sebuah law firm asing. Tidak jarang setelah kerja sama dibangun, dalam beberapa kesempatan kerja sama tersebut mesti berhenti di tengah jalan.

(Baca Juga: Ekspansi Size of Business ke Level Global Lewat Merger Law Firm)

“Kita harus tahu bahwa berafiliasi itu artinya bekerja sama, mau atau tidak sih kita bekerja sama? Karena kerja sama itu ada take dan ada gift, samalah dengan perkawinan, ada take dan ada gift. Cerai juga banyak. Nah dalam kerja sama dengan firma asing, perceraian atau perpisahan juga banyak sekali. Bukan satu hal yang tidak mungkin terjadi, pasti akan terjadi,” terang Tuti.

Oleh karena itu, Tuti menilai perlu dilakukan analisa secara mendalam terhadap kebutuhan sebuah law firm yang mencakup visi atau tujuan, kemudian tingkat kebutuhan law firm Indonesia terhadap law firm asing, kemudian alasan law firm Indonesia membutuhkan law firm asing, bahkan sampai pada mempelajari profil law firm asing yang akan diajak kerja sama.

“Kalau saya pribadi akan menganalisa apa yang saya inginkan? Apa kita membutuhkan mereka? Kenapa? Orang macam apa sih?,” ujar Tuti dengan nada bertanya.

Tuti mengisyaratkan agar advokat mampu memilih law firm asing yang cocok untuk diajak bekerja sama. Menurutnya, kecocokan merupakan satu hal yang sangat penting dalam membangun kerja sama antara law firm. Ia mencontohkan kebijakan joint law venture di Singapura yang gagal perjalanannya akibat adanya campur tangan pemerintah yang mendesak terjadinya joint venture tersebut.

(Baca Juga: Dua Hal yang Perlu Diperhatikan Bila Merger Antar Firma Hukum)


Tuti menegaskan perbedaan kerja sama penggabungan antara law firm dengan Perseroan Terbatas. Menurut Tuti, aset law firm yang berupa skill individu, integritas, pengetahuan, dan kepribadian merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum dicampurkan dengan kultur law firm asing yang pasti berbeda.

“Bisa gak sih kepribadian saya dicampur dengan kepribadian orang-orang yang saya gak tahu. Jadi yang harus dicamkan benar-benar apa sebetulnya yang kita cari?,” terangnya.

Penyebab Perpecahan
Masih berkaitan dengan kultur, Tuti menjelaskan penyebab sering terjadinya perpecahan atau berhentinya kerja sama antara law firm lokal dengan law firm asing adalah kultur yang berbeda. Kultur law firm yang biasanya terdiri atas kepribadian, etos kerja, serta visi dan misi perlu untuk diselaraskan antara law firm yang hendak bekerja sama.

(Baca Juga: Ini Firma Hukum Indonesia yang Berafiliasi Law Firm Luar Negeri) 

Selanjutnya, Tuti menceritakan pengalaman saat berpraktik di Amerika Serikat selama 4 tahun. Di sana ia menemukan law firm yang telah berumur ratusan tahun, sesuatu yang tidak dijumpai di Indonesia. Menurutnya, ini adalah persoalan attitude. Di Indonesia, kebanyakan law firm merupakan milik tunggal seseorang (sole proprietor) sehingga yang lainnya merupakan associate. Pendekatan yang selalu terbangun sepanjang bekerja adalah pola partner ke associate.

“Tidak ada konsep bahwa law firm itu harus menjadi besar, harus bisa menjadi satu institusi, dan harus bisa berkembang terus menerus sehingga memberikan masa depan yang layak kepada advokat yang bekerja di situ,” terang Tuti.

Dengan begitu, dalam membentuk sebuah partnership, perlu dibangun sebuah cita-cita agar partner dalam sebuh law firm dapat membangun kerja sama yang berkualitas, berkesinambungan dan dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat. “Collegiality and give something to society,” terang Tuti.

Selain itu, Tuti menegaskan untuk menjadi seorang advokat yang dapat diterima kalangan luas dan bersaing di level global, harus memiliki integritas, independensi, dan reputasi. Untuk bekerja sama dengan law firm asing, tidak bisa hanya berdasarkan preferensi orang lain.

“Jangan kita udah ada MEA nih, kita harus ikutan nih nanti kita kalah jangan cuma gitu. Kalau seperti itu kamu mengorbankan diri sendiri, kamu kehilangan integritasmu, kau kehilangan independensimu, kamu kehilangan reputasimu, karena ingin bekerjasama dengan asing dan didikte. Jangan sampai begitu,” ujar Tuti. 

Untuk itu, Tuti mendorong law firm Indonesia untuk bisa bekerja sama dengan law firm asing dengan memperhatikan beberapa hal. “Cara bekerjanya yang barangkali harus dianalisa,” ujarnya. 

Tuti juga menjelaskan mengenai cara membangun sebuah Institusi. Dalam membangun sebuah Institusi, kata kuncinya adalah kesinambungan. Setelah para pendiri sebuah law firm tidak lagi berada pada law firm tersebut dengan berbagai alasan, sebuah law firm harus mampu bertahan dengan sistem yang telah dibangunnya.

“Jangan sampai kalau pendirinya meningggal atau pergi atau apapun, atau sudah tidak lagi di situ, maka law firm ini menjadi hilang, atau mayoritas yang ada di situ pindah, law firm ini hilang. Kalau begitu caranya tidak ada bedanya dengan sole proprietor,” ujar Tuti.

Saat ditanya hal-hal yang sekiranya tidak mengenakkan dari bekerjasama dengan law firm asing, tuti menampik hal itu. Menurutnya, selama advokat mampu bekerja secara maksimal, tidak ada sesuatu yang benar-benar tidak mengenakkan.

Hal sama disampaikan Managing Partner Ginting & Reksodiputro in association with Allen & Overy LLP, Daniel Ginting. Menurut Daniel, selama seorang advokat dapat benar-benar bekerja, tidak ada yang tidak enak. “Semuanya harus berkomitmen untuk bekerja sebaik-baiknya,” ujarnya.

Selain itu, Daniel menggambarkan mengenai target pekerjaan yang tentunya besar. Sehingga siapapun dalam sebuah law firm, sebagai Managing Partner ataupun Partner, tetap dikejar oleh target. “Jadi tidak ada hari kita nyantai-nyantai. Tergantung kamu melihat gak enaknya, atau kamu menyukai perkerjaan, gak apa-apa,” terangnya.

Sementara, Managing Partner Assegaf Hamzah & Partner, Bono Daru Adji, mengatakan salah satu problem yang mungkin dihadapi dari kerja sama law firm adalah prioritas dalam menangani klien penting dari law firm asing tersebut. Namun hal tersebut menurut Bono, harus tetap dihadapi secara profesional mengingat adanya komitmen kerja sama yang telah dibangun antara masing-masing law firm.


Tags:

Berita Terkait