Perselisihan Kepentingan Dominasi Masalah Ketenagakerjaan di Industri Pertambangan
Berita

Perselisihan Kepentingan Dominasi Masalah Ketenagakerjaan di Industri Pertambangan

Pemenuhan hak normatif buruh yang bekerja di industri pertambangan biasanya sudah lebih baik daripada ketentuan.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi perselisihan kepentingan dalam industri pertambangan. Ilustrator: BAS
Ilustrasi perselisihan kepentingan dalam industri pertambangan. Ilustrator: BAS
Kebijakan pemerintah di sektor pertambangan ternyata tidak hanya berdampak pada bisnis perusahaan tapi juga bidang ketenagakerjaan. Misalnya, kewajiban perusahaan pemegang izin usaha pertambangan untuk melakukan pemurnian mineral di dalam negeri menyebabkan mereka tidak bisa mengekspor mineral mentah seperti sebelumnya. Hal ini berdampak pada penjualan produk yang dihasilkan perusahaan sehingga mendorong dilakukannya efisiensi.

Salah satu yang disasar dalam efisiensi biasanya menyasar bidang ketenagakerjaan seperti pengurangan jumlah tenaga kerja. Ketua Bidang Mineral, Energi, dan Batubara Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (DPN APINDO), Muliawan Margadana, mengatakan ongkos tenaga kerja yang dikeluarkan perusahaan tambang cukup besar karena industri ini membutuhkan pekerja berketerampilan tinggi. Industri pertambangan juga membutuhkan teknologi tinggi dan padat modal.

Oleh karenanya Muliawan menyebut fluktuasi harga mineral di pasar internasional sangat mempengaruhi bisnis perusahaan. Ketika harga mineral di seluruh dunia jatuh, perusahaan melakukan efisiensi salah satunya berbentuk pemutusan hubungan kerja (PHK). Proses PHK itu relatif tidak mengalami gejolak karena biasanya perusahaan memberikan kompensasi di atas ketentuan yang diatur peraturan di bidang ketenagakerjaan.

(Baca juga: Pengusaha Mem-PHK Karyawan yang Sakit, Haruskah Membayar Sisa Kontrak).

Muliawan melihat masalah ketenagakerjaan yang sering muncul di industri pertambangan berkaitan dengan perselisihan kepentingan. Misalnya, dalam berunding perjanjian kerja bersama (PKB) membutuhkan waktu yang sangat panjang. Untuk perselisihan lainnya seperti hak dan PHK jarang terjadi di perusahaan pertambangan karena umumnya pemenuhan hak-hak pekerja lebih baik daripada ketentuan.

“Pada dasarnya di industri pertambangan hak normatif pekerja terpenuhi. Makanya masalah ketenagakerjaan yang sering terjadi bukan perselisihan hak tapi perselisihan kepentingan,” kata Muliawan dalam diskusi di Jakarta, Rabu (23/8).

(Baca juga: Perbedaan Konsiliasi dan Arbitrase dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).

Ketua Indonesia Mining Institute (IMI), Irwandy Arif, pertambangan merupakan industri konvensional, sangat bergantung pada pekerja. Dia mencatat sangat jarang masalah ketenagakerjaan yang terjadi di industri tambang berujung mogok kerja. Misalnya, peristiwa mogok kerja yang terjadi di PT Freeport Indonesia di Papua.

Selama perusahaan mampu memberi rasa keadilan dan kebersamaan bagi buruh, Irwandy yakin persoalan ketenagakerjaan tidak akan terjadi. Begitu pula dengan pekerja, harus berkomitmen dengan perjanjian yang telah disepakati.

Dibanding berselisih dengan buruh Irwandy menghitung perusahaan tambang paling sering bersengketa dengan masyarakat yang ada di sekitar wilayah operasional perusahaan. “Industri pertambangan itu lebih banyak mengalami masalah dengan masyarakat daripada persoalan ketenagakerjaan,” ujarnya.

Selain itu Irwandy mengingatkan pemerintah untuk cermat dalam membuat kebijakan yang menyasar industri pertambangan karena itu akan mempengaruhi bisnis perusahaan. Misalnya, kebijakan melakukan pemurnian mineral di dalam negeri, hal itu mengakibatkan ekspor mineral berhenti, penerimaan berkurang dan terjadi pengurangan buruh. Perusahaan tambang berpandangan PHK merupakan pilihan terakhir setelah upaya lain yang sudah ditempuh gagal.

Advokat sekaligus praktisi hubungan industrial, Kemalsjah Siregar, mengingatkan bagi perusahaan yang mengeluarkan kebijakan bebas tugas terhadap pekerjanya dalam rangka efisiensi, hak-hak buruh harus tetap dipenuhi seperti biasanya. Tidak ada ketentuan yang mengatur berapa lama pengusaha boleh menjalankan kebijakan tersebut, hal itu sepenuhnya kewenangan pengusaha.

(Baca juga: Di Bidang Tambang, Semua Ilmu Hukum Bisa Dipakai).

Jika pemilik perusahaan berganti, dan pengusaha menginginkan seluruh pekerja tetap bekerja seperti biasa, Kemalsjah mengatakan tidak perlu dilakukan perubahan terhadap perjanjian kerja. Perjanjian kerja itu masih berlaku walau kepemilikan dan nama perusahaan berubah. “Kalau pemilik baru tidak ingin menggunakan pekerja yang lama dan ingin melakukan PHK maka dia harus membayar pesangon dan kompensasi sesuai aturan,” urainya.
Tags:

Berita Terkait