Kala Napi Korupsi Persoalkan Aturan Remisi
Berita

Kala Napi Korupsi Persoalkan Aturan Remisi

Majelis menyarankan para pemohon untuk mempertajam konstruksi dalil argumentasi yang menjadi pokok permasalahan permohonan ini terutama Pasal 34A ayat (1) PP Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Barnabas Suebu, Irman Gusman, Otto Cornelis Kaligis, Suryadharma Ali, dan Waryono Karno selaku Pemohon hadir dalam sidang pendahuluan pengujian UU Pemasyarakatan di ruang sidang Gedung MK, Kamis (24/8). Foto Humas MK.
Barnabas Suebu, Irman Gusman, Otto Cornelis Kaligis, Suryadharma Ali, dan Waryono Karno selaku Pemohon hadir dalam sidang pendahuluan pengujian UU Pemasyarakatan di ruang sidang Gedung MK, Kamis (24/8). Foto Humas MK.
Polemik pengetatan remisi bagi narapidana kasus korupsi akhirnya dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adalah sejumlah narapidana Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin mempersoalkan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyaratan terkait hak remisi (pengurangan hukuman) bagi warga binaan pemasyarakatan.  

Mereka adalah mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, Advokat Otto Cornelis Kaligis, mantan Ketua DPD Irman Gusman, mantan Gubernur Provinsi Papua Barat Periode 2009–2014 Barnabas Suebu, dan mantan Sekjen Kementerian ESDM Waryono Karno yang sudah divonis bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi.      

“Norma Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan merugikan hak konstitusional para pemohon,” ujar kuasa hukum pemohon, Muhammad Rullyandi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK Jakarta, Kamis (24/8/2017) seperti dikutip laman resmi MK. Baca Juga: Hal-Hal yang Perlu Dipertimbangkan Pemerintah Sebelum Beri Remisi

Selengkapnya, Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan menyebutkan “Narapidana berhak: i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).”

Menurut Pemohon, seharusnya norma tersebut memberikan jaminan pemenuhan HAM sebagai wujud hak atas perlindungan dan kepastian hukum yang adil tanpa diskriminasi. Baginya, norma tersebut harus sejalan dan tidak dapat bertentangan dengan prinsip nondiskriminasi yang dianut oleh The Standart Minimum Rules for The Treatment of Prioner.

Adanya pembatasan atas pemberian remisi terhadap warga binaan kasus tindak pidana korupsi merupakan kebijakan hukum yang telah mengesampingkan hak-hak narapidana yang telah dilindungi dan dijamin UUD 1945. Lebih khusus diatur dalam Pasal 3 ayat (2), ayat (3) UU HAM. Artinya, ketentuan tersebut seharusnya berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali dan tanpa diskriminasi.

“Dengan demikian, ketentuan tersebut (seharusnya) diberlakukan kepada subjek hukum narapidana dalam konteks keseluruhan,” terang Rullyandi dihadapan Majelis Panel yang diketuai Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul beranggotakan Wahiduddin Adams dan Aswanto.

Karena itu, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan inkonstitusional bersyarat. “Kita minta pasal itu dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘pemberian remisi berlaku juga untuk narapidana korupsi’,” harapnya.

Menguraikan PP 99/2012
Menanggapi permohonan, Manahan meminta pokok permohonan menguraikan Peraturan Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang memuat kualifikasi hak remisi. “Coba lihat lebih lanjut kalau yang bermasalah PP yang membuat kualifikasi, maka yang bermasalah PP-nya, dan itu yang mestinya di-judicial review,” saran Manahan.

Senada, Hakim Konstitusi Wahiduddin pun menyarankan para pemohon untuk mempertajam konstruksi dalil argumentasi yang menjadi pokok permasalahan permohonan  ini. Baginya, masalah utama permohonan ini terdapat dalam Pasal 34A ayat (1) PP Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan yang memberi syarat tambahan/pengetatan (remisi bagi narapidana korupsi) yang kemudian digambarkan sebagai perlakuan diskriminasi oleh pemohon.

“PP ini memang pernah diajukan ke MA dan sudah ada putusannya. Jika semua dirangkai, maka ini perlu dipertajam konstruksi dalil argumentasinya, sehingga terlihat pertentangan dengan UUD 1945,” kata dia. Baca Juga: KPK Tolak Syarat Justice Collaborator Dihilangkand dari PP 99/2012
Pasal 34A ayat (1) PP No. 99 Tahun 2012

Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi  persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan: a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan
tindak pidana korupsi; dan….”

Wahiduddin pun mengingatkan para pemohon yang telah menjalani hukuman menyertakan bukti putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah menjalani hukuman lebih dari 6 bulan. Sebab, hal tersebut merupakan syarat untuk mendapatkan remisi.

Hakim Konstitusi Aswanto menambahkan terkait norma yang diuji perlu dielaborasi secara teoritis, yang mengakibatkan hak asasi manusia (HAM) terlanggar yang seharusnya diperoleh para pemohon, tetapi menjadi tertunda.

“Ini harus dibangun landasan teori untuk meyakinkan Mahkamah. Sebenarnya ini soal sederhana, tetapi menjadi susah untuk dipahami ketika tidak dibangun secara komprehensif tafsirnya. Semua jenis pidana mesti dapat remisi, tetapi ada kondisi faktual yang dialami para pemohon, maka ini harus didukung oleh landasan teori. Kalau itu ada, maka kita bisa lihat nanti ini menjadi persoalan konstitusional,” ujar Aswanto.

Dia menilai isi dari permohonan ini memang bagus, tetapi Mahkamah mempunyai hukum acara yang lazim diterapkan, terutama sistematika naskah permohonan. “Seharusnya, bagian pendahuluan yang ada pada permohonan ditempatkan dalam bagian sesuai sistematika di MK,” pinta Aswanto.

Sebelum menutup persidangan, Majelis memberi kesempatan bagi Pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan hingga Rabu, 6 September 2017 mendatang.
Tags:

Berita Terkait