PTUN Jakarta Batalkan Pergub UMP DKI Tahun 2017
Berita

PTUN Jakarta Batalkan Pergub UMP DKI Tahun 2017

Gubernur menyatakan banding.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Demo buruh dikawal polisi. Foto: RES
Demo buruh dikawal polisi. Foto: RES
Kisruh penetapan upah minimum provinsi (UMP) Jakarta 2017 berujung sampai pengadilan tata usaha negara (PTUN). Serikat buruh yang diwakili Winarso dkk dan Ilhamsyah dkk melayangkan gugatan terhadap Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No. 277 Tahun 2016 tentang UMP 2017 ke PTUN Jakarta. Mereka meminta PTUN Jakarta menyatakan Pergub itu batal dan mewajibkan Gubernur mencabutnya serta menetapkan UMP 2017 sebesar Rp3.831.690.

Menjawab gugatan itu Biro Hukum Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selaku kuasa hukum Gubernur mengatakan dalam eksepsinya bahwa PTUN tidak berwenang mengadili perkara karena Pergub termasuk dalam peraturan perundang-undangan sehingga kompetensinya berada di Mahkamah Agung. Gugatan yang diajukan serikat pekerja dianggap tidak dapat diterima karena objek sengketa tidak termasuk keputusan TUN karena tidak bersifat individual dan merupakan pengaturan bersifat umum. Serikat buruh selaku penggugat dirasa tidak punya kapasitas karena bukan orang atau badan hukum perdata.

Dalam pokok perkara, Gubernur Jakarta menyebut berwenang dan menerbitkan Pergub itu sesuai peraturan perundang-undangan. Penerbitan Pergub tersebut dirasa telah sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik. Selain itu menjelaskan proses kronologis pembahasan UMP 2017 yang melibatkan Dewan Pengupahan Provinsi Jakarta.

(Baca juga: Buruh Jakarta Gugat Pergub UMP 2017 ke PTUN).

Majelis yang diketuai Oenoen Pratiwi, dengan anggota Tri Cahya Indra Permana dan Roni Erry Saputro membacakan putusan bernomor 21/G/2017/PTUN.JKT pada 8 Agustus 2017. Hasilnya, seluruh eksepsi Gubernur Jakarta sebagai tergugat tidak diterima. Dalam pokok perkara, mengabulkan sebagian gugatan serikat buruh. Menyatakan Pergub UMP 2017 batal dan mewajibkan Gubernur Jakarta mencabutnya.

Dalam pertimbangan hukum, majelis menilai prosedur penetapan UMP oleh Gubernur harus melalui penetapan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) terlebih dulu oleh Dewan Pengupahan Provinsi atau Kabupaten/Kota. Penetapan itu paling lambat 1 bulan sebelum jatuh tempo penetapan UMP oleh Gubernur.

Namun dalam jangka waktu tersebut tidak ada KHL yang ditetapkan Dewan Pengupahan Provinsi sehingga penetapan upah minimum dalam sidang Dewan Pengupahan dipastikan tidak menggunakan komponen KHL. Padahal itu telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan jo PP Pengupahan jo Permenakertrans No. 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum jo Permenaker No. 21 Tahun 2016 tentang KHL.

Tidak adanya KHL yang ditetapkan sebelum ditetapkannya UMP menurut majelis diperkuat keterangan saksi yang diajukan serikat buruh. Intinya, pada tahun 2016 tidak dilaksanakan survei pasar guna mendapatkan nilai KHL. “Bahwa penetapan upah minimum in casu objek sengketa oleh tergugat tidak mendasarkan pada KHL sehingga tidak melalui prosedur yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan karenanya pula bertentangan dengan asas kepastian hukum dan kecermatan,” begitu kutipan pertimbangan hukum majelis dalam putusan.

(Baca juga: Buruh Jakarta Tuntut Kenaikan UMSP 2017 Hingga 18 Persen).

Majelis berpendapat rekomendasi UMP 2017 yang diterbitkan Dewan Pengupahan Provinsi Jakarta tertanggal 26 Oktober 2016 secara substansi tidak menetapkan usulan UMP kepada Gubernur. Tapi merupakan laporan yang menjelaskan dalam persidangan Dewan Pengupahan Provinsi tidak menghasilkan keputusan bersama besaran UMP karena ada perbedaan pendapat antara unsur serikat buruh dengan unsur pengusaha dan pemerintah.

Rekomendasi itu tidak tergambar adanya suatu keputusan atau penetapan UMP dari Dewan pengupahan yang diusulkan kepada Gubernur untuk kemudian ditetapkan sebagai UMP. Untuk itu majelis mengatakan secara materi substansi pada Pergub UMP 2017 telah terbukti penghitungannya tidak menggunakan KHL dan tidak ada keputusan penetapan usulan UMP dari Dewan pengupahan Provinsi. “Sehingga oleh karenanya pada objek sengketa (Pergub UMP 2017,-red) terdapat cacat materi substansinya,” ujar majelis dalam pertimbangan putusan.

Majelis mengatakan Pergub UMP 2017 secara prosedur dan substansi telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Serta bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, sehingga Pergub itu harus dinyatakan batal.

Anggota tim advokasi tolak upah murah, Nurul Amalia, mengatakan ditolaknya eksepsi tergugat menunjukan legal standing serikat buruh sebagai penggugat diakui sebagai badan hukum perdata yang tercatat pada instansi pemerintah yang berwenang.

Ditambahkan, penetapan Pergub UMP 2017 tidak berdasarkan KHL serta tidak pernah dilakukan survei KHL oleh Dewan Pengupahan Provinsi Jakarta. Sehingga dalam rekomendasi yang disampaikan Dewan Pengupahan kepada Gubernur tidak ada besaran UMP yang disepakati oleh para unsur. Besaran UMP yang ditetapkan Gubernur Jakarta sebagaimana tercantum dalam Pergub UMP 2017 adalah angka yang diajukan unsur pengusaha dan pemerintah.

Nurul berpendapat tidak ada rekomendasi Dewan Pengupahan yang berisi kesepakatan terkait nilai UMP. Pergub itu menggunakan besaran yang telah ‘disepakati’ oleh unsur pengusaha dan pemerintah. “Putusan PTUN ini diharapkan menjadi acuan untuk penentuan UMP pada tahun berikutnya,” urai Nurul di Jakarta, Selasa (22/8).

Pegawai Biro Hukum Setda Provinsi DKI Jakarta sekaligus salah satu kuasa hukum Gubernur Jakarta dalam perkara ini, Mindo Simamora, mengatakan pihaknya sudah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta pekan lalu. Walau belum membuat memori banding tapi upaya hukum itu dilakukan karena majelis PTUN dinilai tidak cermat dalam memeriksa perkara.

“Kami berharap hakim PTTUN membatalkan putusan PTUN Jakarta karena kami sudah membuat Pergub UMP 2017 sesuai dengan wewenang dan prosedur,” papar Mindo ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (24/8).

Tak ketinggalan Mindo mengingatkan Pergub UMP 2017 masih berlaku selama belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap yang membatalkan peraturan tersebut. Dia ingin perkara banding yang diajukan menang di PTTUN Jakarta.
Tags:

Berita Terkait