Tetap Menulis Hingga Garis Finish
Jejak dan Pemikiran J. Satrio:

Tetap Menulis Hingga Garis Finish

J. Satrio dikenal sebagai akademisi yang telah menghasilkan puluhan karya tulis bermutu dalam bidang perdata. Ada pesan ayahnya yang memotivasi.

Oleh:
Muhammad Yasin/NEE
Bacaan 2 Menit
J. Satrio di antara koleksi buku-buku klasik miliknya. Foto: FEB
J. Satrio di antara koleksi buku-buku klasik miliknya. Foto: FEB
Di ruang kerjanya yang tenang dan menghadap ke jalan kompleks di depan rumah, J. Satrio menyimpan kekayaan literatur yang tak terhingga nilainya. Sebagian besar buku yang berjejer di dua rak besi adalah koleksi klasik buku-buku hukum berbahasa Belanda dan Inggris. “Ini buku Vinogradoff,” ujarnya sambil menunjuk ke bagian atas rak di belakang meja kerjanya.

Pertemuan dengan J. Satrio suatu sore di rumahnya yang nyaman di Purwokerto Jawa Tengah, 14 Agustus lalu, seperti sebuah kehormatan bagi jurnalis Hukumonline. Satrio memperlihatkan koleksi buku-buku referensi yang sering ia gunakan untuk menulis. Vinogradof yang dia singgung misalnya merujuk pada Paul Vinogradoff, penulis buku klasik ‘Common Sense in Law’. Dalam buku ini Paul mendapat sebutan sebagai corpus professor of jurisprudence dari Universitas Oxford, Inggris.

(Baca juga: Onheelbare Tweespalt dalam Doktrin dan Yurisprudensi)

Tetapi yang menjadi ‘bintang’ dalam ribuan literatur itu adalah kumpulan putusan pengadilan. Satrio mengoleksi putusan-putusan pengadilan sejak sebelum zaman perang hingga tahun 1941. “Mestinya sampai tahun 1942, tapi yang 1942 nggak ada,” ujarnya menunjuk pada rak di samping jendela. Lebih langka lagi di rak sebelahnya. “Ini putusan-putusan pengadilan Belanda sejak 1918 sampai 1985,” jelasnya.

Ibrahim Senen, of counsel pada kantor hukum Arman Yapsunto Muharamsyah & Partners (AYMP), mengenang J. Satrio sebagai salah seorang yang bisa ‘membaca’ dan memahami putusan-putusan pengadilan dan mengikuti perkembangannya. Di rak buku Satrio memang berjejer Nederlandsche Jurisprudentie berdasarkan tahun putusan. “Pak Satrio yang bisa ‘baca’ yurisprudensi itu,” ujarnya.

Sebagian dari literatur klasik itu diperoleh Satrio semasa menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ketika kuliah di kampus UI Salemba, sebagian staf pengajar Fakultas Hukum masih keturunan Belanda. Karena itu literaturnya pun banyak berbahasa Belanda. “Kita harus membaca buku perdata Vollmar yang ratusan halaman,” kenangnya. HFA Vollmar menulis buku antara lain Nederlands Buergerlijk Recht, Handleiding voor studie en praktijk (1951), dan Inleiding tot de studie van het Nederlands Burgerlijk Recht (1955). 

Ketika pindah ke Purwokerto, menjadi notaris dan akademisi di sana, buku-buku itu ikut dibawa. Sebagian lagi berasal dari pemberian firma hukum di mana Satrio pernah menjadi konsultan. Selain AYMP, kantor hukum yang pernah disebut berkontribusi memberikan literatur Belanda adalah Hendra Soenardi & Partners, dan Widjojo Budiarto. Koleksinya, Indisch Tijdschrift van het recht, adalah berkat sumbangan kantor hukum Hendra Soenardi.

Bahkan ada literatur yang dicari-cari dalam waktu lama, dan setelah berhasil diperoleh, literatur itu menjadi dasar revisi karya sebelumnya. Ini misalnya, dilakukan Satrio pada karyanya Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensasi & Percampuran Utang. Buku ini direvisi judul dan isinya setelah Satrio mendapatkan salinan disertasi Jan Wiarda di Leiden University Belanda: Cessie of overdracht van schuldvoorderingen op naam naar Nederlandsch burgerlijkrecht (1937). Satrio menyebut disertasi Wiarda itu sebagai salah satu referensi cessie yang paling bagus, dan sangat ingin dia miliki. Wiarda lulus dengan sumna cumlaude. “Kalau tidak punya (disertasi Wiarda), saya mau nulis itu ndak marem (yakin—red)”.

(Baca Juga: Cerita tentang Seorang Begawan Hukum Perdata)

Di ruang kerjanya yang berukuran sekitar 3 x 4 meter, terpajang figura gambar para profesor Rechtshogeschool/RHS (Sekolah Tinggi Hukum) Batavia. Foto itu pemberian seorang akademisi dari Belanda kepada Satrio, memperlihatkan sebagian guru besar pada saat pembukaan RHS di Batavia, 28 Oktober 1924. “Ini foto Prof. Mr Hoesein Djajadiningrat,” Satrio menunjuk pria yang duduk paling kiri. Hosein Djajadiningrat adalah guru besar RHS pertama dari kalangan pribumi. Selebihnya adalah orang Belanda.   

Hukumonline.com
J. Satrio menunjuk figura gambar para profesor Rechtshogeschool/RHS (Sekolah Tinggi Hukum) Batavia. Foto: FEB

Salah satu ciri khas tulisan Satrio adalah kekayaan putusan yang dijadikan rujukan. Di hampir semua bukunya, tertulis daftar putusan pengadilan mulai pengadilan Belanda dan Hindia Belanda hingga pengadilan di Indonesia. Sekadar contoh, tak kurang dari 130 putusan pengadilan sejak zaman Belanda hingga putusan Mahkamah Agung tahun 2011 yang dikutip dalam buku karya terbarunya Pelepasan Hak, Pembebasan Hutang dan Merelakan Hak (Rechtsverwerking).

Di buku lain, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanian (Buku I), Satrio menyinggung banyak putusan pengadilan mulai putusan dari Residentiegerecht Medan 19 Mei 1923, putusan Landraad Makassar 21 Januari 1926 hingga putusan atas perkara Bank Surabaya Putra vs Budisantoso yang diputus Mahkamah Agung pada 25 November 1987. Pengutipan putusan-putusan pengadilan klasik itu menunjukkan akses Satrio pada literatur era Hindia Belanda, dan kemampuannya menganalisis putusan-putusan berbahasa Belanda itu.

(Baca juga: Perbedaan dan Persamaan dari Persetujuan, Perikatan, Perjanjian, dan Kontrak)

Kebiasaan menulis
Di usia yang sudah masuk 81 tahun, Satrio masih punya rutinitas yang bisa membuat orang lain terkagum-kagum. Pernah suatu ketika Satrio sampai tak bisa berjalan karena sarafnya kejepit. Operasi dilakukan di Surabaya, Jawa Timur. Selama menjalani pengobatan itu, dalam hati Satrio bicara pada dirinya sambil berdoa. Tak bisa jalan karena sakit tidak apa-apa, asalkan masih bisa menulis. Menulis itu adalah bagian dari penyembuhan. “Menulis itu adalah olahraga otak,” ujarnya.

Bangun pagi-pagi sekali, sekitar pukul 04.30, ritual pagi Satrio dimulai dari berdoa dan mengisi buku harian. Setelah itu jalan pagi bersama isteri mengelilingi kompleks Perumahan Permata Hijau, Purwokerto. Daerah tempat tinggalnya yang tenang mendukung olahraga pagi. “Kini saya sudah pakai tongkat, untuk berjaga-jaga”. Setelah saraf tulang belakangnya terjepit, Satrio semakin berhati-hati di jalan.

Hukumonline.com
J. Satrio bersama sang istri, Herwanti. Foto: FEB

Sekitar pukul 07.00 Satrio sudah masuk ke ruang kerjanya untuk membaca dan menulis. Satu jam kemudian biasanya dua asistennya dulu di kampus datang untuk berdiskusi. Materi diskusinya beragam, khususnya masalah-masalah perdata. Diskusi berlangsung sekitar satu jam. Diselingi coffee break, Satrio kembali menulis hingga jelang siang. Istirahat dua tiga jam, Satrio kembali ke meja kerja membuat catatan atau sekadar membaca. “Saya menulis setiap hari nulis, sudah berpuluh-puluh tahun,” jelasnya.

Dulu ketika terbilang ‘muda’ Satrio masih menyempatkan diri menulis pada malam hari. Tetapi kini, di usia yang sudah 81 tahun, malam adalah waktunya beristirahat. Besok paginya, rutinitas ini terus berlangsung. Di akhir pekan, Kamis dan Jum’at, biasanya diselingi video conference dengan firma hukum atau lembaga dan orang tertentu yang membutuhkan pendapat hukum.

Menulis, bagi Satrio, bukan sekadar olahraga otak atau melatih diri sekaligus mengikuti perkembangan dunia hukum. Menulis juga sesuatu yang luhur, yang terjalin ke pesan almarhum orang tuanya. “Ayah saya dulu pernah berpesan, kamu dalam hidup mustinya meninggalkan suatu jejak, kenangan. Saya meninggalkan buku-buku ini sebagai sumbang sih. Ada sesuatu yang dikenang,” kata pria kakek 9 cucu itu.

Dalam setahun terakhir ada dua buku yang sedang digarap Satrio. Pertama, tulisan tentang Perwakilan dan Kuasa. Karya ini dalam proses percetakan, dan tak lama lagi akan terbit. Kedua, yang sedang ditulis, tentang Perseroan Terbatas (PT).

(Baca juga: Haruskah Perubahan Data Perseroan Diumumkan dalam Tambahan Berita Negara)

Jika buku kedua ini rampung, Satrio masih ingin meneruskan keinginannya untuk ‘menjelajahi semua bidang perdata’. Mimpinya, adalah merinci bagian-bagian dalam KUH Perdata (BW) sehingga lebih mudah dipahami generasi saat ini dan generasi mendatang. Satrio menyadari pekerjaan mulia itu tak mudah. Apalagi menguraikan BW ke dalam topik-topik khusus membutuhkan usaha dan waktu yang tak sedikit. Daluarsa (verjaring) dan benda (zaken) diakui sebagai bagian yang sulit. Selain itu, bidang hukum perdata di Indonesia relatif lebih beragam sistem hukumnya dibandingkan pidana.

Toh, di usia yang terus beranjak senja, Satrio masih menyisakan harapan untuk membuat karya-karya penting di bidang hukum perdata. “Semoga saja bisa kesampaian sebelum saya tutup usia,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait