Pasal Penghinaan yang Merisaukan Sang Begawan
Jejak dan Pemikiran J. Satrio:

Pasal Penghinaan yang Merisaukan Sang Begawan

Ketika muncul gugatan beruntun terhadap media massa, Satrio tergerak ‘mengingatkan’ hakikat dan maksud pasal penghinaan dalam Burgerlijk Wetboek.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
J. Satrio saat diwawancarai tim Hukumonline. Foto: FEB
J. Satrio saat diwawancarai tim Hukumonline. Foto: FEB
Ketika masih menjabat sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers di Jakarta, Hendrayana menangani banyak kasus pers, baik gugatan terhadap perusahaan pers maupun laporan pidana terhadap jurnalis dan pimpinan perusahaan media. Ada beberapa media yang diseret ke pengadilan karena tuduhan pencemaran nama baik atau penghinaan. Salah satu kasus paling sulit yang ikut ditangani Hendrayana adalah gugatan beruntun terhadap Tempo. Amunisi yang dipakai untuk ‘menyerang’ media massa kala itu adalah gugat perdata atas dasar penghinaan sebagai tindakan melawan hukum.

Di Jakarta, Hendrayana dan tim pengacara Tempo lainnya harus berusaha sekuat tenaga menyusun argumentasi agar gugatan bernilai dari ratusan juta hingga triliun itu tak diterima hakim. Perjalanan kasus itu diwarnai perdebatan mengenai pasal penghinaan dalam konsep perdata dan pidana. Hendrayana punya bekal ilmu hukum yang dia pelajari selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Salah satu dosen yang dihormati dan dikenang Hendrayana adalah J. Satrio.

(Baca: Cerita tentang Seorang Begawan Hukum Perdata)

“Beliau menerangkan sangat sistematik,” ujar pria yang kini berprrofesi sebagai advokat itu. “Orangnya on time dan tegas mengajar,” sambung Hendrayana kepada Hukumonline.

Ketika gugatan beruntun terhadap media massa itu muncul, nun jauh di sana, di Purwokerto, kegelisahan intelektual menimpa Satrio. Dia mengumpulkan dan membaca puluhan  artikel mengenai gugatan terhadap media massa. Proses hukum terhadap insane pers sebenarnya sudah ada sejak dulu. Tapi baginya, gugatan beruntun seperti yang terjadi di Jakarta menjadi fenomena, yang disebut Satrio ‘lebih dari yang sudah-sudah’.

Menggugat adalah hak warga negara. Karena itu, Satrio mengatakan  biarlah gugatan  atau tuntutan itu berjalan dalam koridor hukum, sebagai bagian dari perjalanan bangsa ini berdemokrasi. Yang harus diingat adalah pentingnya kebebasan pers. “Kebebasan pers merupakan salah satu unsur penting suatu negara yang demokratis,” tulis Satrio.

Mengilhami tulisan
Ramainya gugatan dan tuntutan terhadap media massa pada era tahun 2000-an rupanya mengilhami Satrio membuat karya tulis. Lewat karya tulis itu ia seperti mengingatkan para pemangku kepentingan tentang makna dan hakikat pasal penghinaan sebagai tindakan melawan hukum. Ia menelusuri belasan artikel mengenai kasus pers di media massa nasional, membaca tak kurang dari 35 putusan pengadilan yang relevan, dan –seperti biasa—menelusuri buku-buku klasik.

(Baca Juga: Inilah Daftar Karya Lengkap J Satrio)

Kini, siapapun bisa membaca guratan pena ‘profesor’ Satrio itu dalam bukunya Gugatan Perdata atas Dasar Penghinaan Sebagai Tindakan Melawan Hukum’. Seperti yang dituliskan dalam pengantar buku dan wawancara dengan Hukumonline, 14 Agustus lalu, buku ini terilhami oleh kasus-kasus gugatan terhadap pers.

Sebenarnya, ada keinginan Satrio mendapatkan beberapa putusan perkara pers yang menarik. Tapi apa daya, hingga buku selesai ditulis dan diterbitkan pada Maret 2005, putusan yang dinanti tak kunjung datang, dan beberapa perkara gugatan terhadap pers masih berjalan. Satrio akhirnya membatasi analisisnya pada gugatan perdata saja, meskipun kadang menyinggung masalah pidana pers. Pembatasan lain, Satrio banyak merujuk pada doktrin dan putusan pengadilan.

Meskipun ada ‘pembatasan’ demikian, karya Satrio termasuk yang dicari banyak orang terutama ketika menyinggung penghinaan dalam ranah hukum perdata. Hendrayana termasuk yang masih mencari buku tersebut karena sudah jarang dijual di toko buku. Pertama kali buku ini terbit pada tahun 2005.

J. Satrio sendiri punya cerita menarik di balik penerbitan buku terbitan PT Citra Aditya Bakti itu. Begitu buku rampung disusun, Satrio menghubungi Citra, salah satu penerbit di Bandung yang sudah banyak menerbitkan buku-buku Satrio. Dalam hati, sebenarnya Satrio agak khawatir buku ini tak laku dijual. Penerbit mungkin tak akan untung. Tapi karena penerbitan buku sebelumnya penerbit relatif untung, Satrio berpikir tak apalah kali ini Citra Aditya Bakti berkorban.

Perkiraan Satrio ternyata meleset. “Eh, nggak tahunya ternyata (penerbit) minta cetak ulang. Saya kaget. Yang tidak disangka-sangka malah untung,” jelasnya disertai tawa.

(Baca Juga: Tetap Menulis Hingga Garis Finish)

1365 vs 1372 BW
Buku ‘Gugat Perdata Atas Dasar Penghinaan’ sebenarnya memberikan jawaban penting atas perdebatan yang selama ini terjadi. Bolehkah kita menggugat pihak lain dengan menggunakan pasal 1365 BW/KUH Perdata dan Pasal 1372 KUH Perdata sekaligus? Majalah Tempo misalnya pernah digugat salah satu organisasi kepemudaan dengan menggunakan kedua pasal tersebut. Hakim menyatakan gugatan penggabungan semacam itu tidak dapat diterima.

(Baca juga: Pemuda Panca Marga Kembali Gugat Tempo)

Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan ‘tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu’. Pasal 1372 KUH Perdata menyebutkan ‘tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapatkan penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik’.

Kedua pasal itu menyinggung perbuatan melawan hukum dan pembayaran ganti rugi. Satrio berpendapat  bahwa tuntutan ganti rugi atas dasar penghinaan (Pasal 1372 KUH Perdata) merupakan salah satu varian dari tuntutan ganti rugi berdasarkan tindakan melawan hukum yang umum (Pasal 1365 KUH Perdata). Kesamaan kedua pasal itu adalah dasar gugatannya adalah adanya tindakan melawan hukum. Satrio memberikan contoh putusan-putusan pengadilan berkaitan dengan penggunaan kedua pasal ini. Tetapi pada bagian kesimpulan ia menulis bahwa pada asasnya orang tidak bisa selain menuntut ganti rugi berdasarkan Pasal 1372 juga sekaligus menuntut ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata.

(Baca juga: Jalan Berliku Korban Salah Tangkap Peroleh Uang Ganti Kerugian)

Menurut Satrio, pada tindakan ‘menghina’ ada unsur-unsur tindakan melawan hukum yang khas, dan ada pengaturannya secara khusus, yang tidak ada perumusannya dalam pengaturan tindakan melawan hukum secara umum. Penghinaan selalu berkaitan dengan pelanggaran terhadap nama baik dan kehormatan seseorang.

Apa yang dimaksud dengan penghinaan dalam Pasal 1372 KUH Perdata? Satrio telah menelusuri literatur klasik yang pada intinya pembentuk undang-undang sebenarnya bermaksud menyelaraskan makna penghinaan dalam Pasal 1372 KUH Perdata dengan penghinaan dalam KUHP.

(Baca juga: Pemberitaan Dinilai Tendensius, Asian Agri Gugat Tempo)

Salah satu yang krusial dalam kasus penghinaan adalah ukuran yang dipakai? Apakah cukup seseorang merasa terhina pernyataan orang lain lalu bisa menggugat? Satrio menulis dengan memberi tanda khusus italic bahwa penghinaan tidak diukur dari apa yang oleh si korban dirasakan sebagai perbuatan menghina. “Tetapi diukur dari apakah tindakan/ucapan itu merupakan ‘penghinaan’ di dalam anggapan masyarakat di mana penghinaan itu dilakukan”. Jadi, ukurannya bukan subjektif korban, melainkan ukuran objektif yang akan dinilai oleh hakim. Hakimlah yang memainkan peran strategis menilai pandangan masyarakat.

‘Kegalauan’ Sang Begawan terhadap pasal penghinaan diwujudkan dengan membuat tulisan yang bermutu, dikuatkan dengan putusan-putusan pengadilan yang relevan. Tak kurang dari 14 putusan Hoge Raad Belanda dan 18 putusan pengadilan era Hindia Belanda dijadikan rujukan dalam karya ini.

(Baca Juga: Sosok Sang Begawan di Mata Kolega)

Begitulah Satrio dikenal dan dikenang sebagai akademisi yang menguatkan setiap argumentasinya dengan doktrin dan yurisprudensi. Dan, dari tempat kediamannya di Purwokerto, ia telah memberikan jawaban atas kerisauan banyak orang.
Tags:

Berita Terkait