Menakar Problem Konstitusionalitas Holding BUMN
Berita

Menakar Problem Konstitusionalitas Holding BUMN

Pengendalian bisnis dengan model dan konstruksi yang tersentralisasi amat rentan terhadap perekonomian Nasional.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES
Diskursus mengenai konsep holding company yang akan diterapkan oleh pemerintah di bidang Migas terus bergulir. Pemerintah berencana menjadikan PT Pertamina (Persero), BUMN yang bergerak di sektor Migas, menjadi perusahaan holding yang membawahi sederet perusahaan BUMN, seperti PT Perusahaan Gas Negara (Persero) dan PT Pertagas.

Pemerintah melalui Kementerian Negara BUMN berencana mengimplementasikan konsep holding company pada perusahaan-perusahaan BUMN di seluruh sektor, tak terbatas pada holding BUMN di bidang energi saja. Setidaknya ada enam sektor perusahaan yang akan dijadikan holding yaitu jalan tol, pertambangan, minyak dan gas atau energi, perbankan, perumahan serta jasa. 

“Terdapat setidaknya dua instrumen untuk menimbang aspek konstitusionalitas perusahaan holding BUMN, yaitu: memenuhi konsep dikuasai oleh negara, kemudian harus bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Agar tetap bersandar pada konstitusi, perusahaan holding BUMN haruslah memenuhi kedua instrumen tersebut. Jika tidak, problem konstitusionalitas yang serius akan dihadapi,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat, sebagai pembicara utama dalam rangkaian Rapat Umum Anggota Forum Hukum BUMN, Jumat (25/8), di Bali.

Menurut Arief, jika BUMN ditempatkan sebagai perpanjangan tangan negara dalam mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka harus memenuhi kedua instrumen tersebut. Hal ini dikarenakan, apabila Pemerintah memberlakukan holding company terhadap perusahaan BUMN di masing-masing sektor maka dalam konteks pengendalian bisnis nantinya, model dan konstruksi pengelolaan BUMN menjadi tersentralisasi. (Baca Juga: Salah Satu Pilar Perekonomian, BUMN Cermin Pasal 33 UUD 1945)

“Terhadap desain perubahan pengelolaan BUMN dari semula bersifat perusahaan holding Investasi menuju ke arah perusahaan holding beroperasi, pada dasarnya pola pengelolaan BUMN menganut model sentralisasi dengan salah satu BUMN berperan sebagai holding atau induk perusahaan, sedangkan yang lain berstatus sebagai anak perusahaan,” terangnya.

Dalam holding BUMN, pemerintah tetap sebagai pemegang saham tertinggi yang menguasai lebih dari 50% saham apabila model holding BUMN berbentuk perseroan. Dengan posisi seperti ini maka posisi pemerintah lebih dominan dibandingkan dengan pemegang saham lain.

Namun lebih jauh Arief menjelaskan, meskipun posisi pemerintah dominan, jika suatu saat karena kondisi ekonomi misalnya, Pemerintah harus melepas dominasi kepemilikan sahamnya ke pasar, atau terdapat keadaan tertentu yang menyebabkan pemerintah melepas sebagian sahamnya sehingga tidak lagi berstatus sebagai pemegang saham dominan, maka potensial terjadi peralihan kepemilikan Holding BUMN dari pemerintah ke pihak swasta.

“Peralihan demikian itu yang dapat dikatakan tidak sejalan atau bertentangan dengan UUD 1945,” tegas Arief.

Pertentangan ini semakin jelas apabila holding BUMN yang beralih kepemilikan ke pihak swasta itu terdiri dari cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Alasannya jelas, Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 mensyaratkan bahwa penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak mutlak harus dikuasai oleh negara. (Baca Juga: Pakar HTN: Ada Tujuan Positif dari Keberadaan PP 72/2016)

Namun apabila peralihan kepemilikan perusahaan holding BUMN tersebut, di dalamnya tidak terdapat perusahaan yang menguasai cabang produksi bagi negara dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak, menurut Arief, peralihan kepemilikan ke pihak swasta bukanlah persoalan.

Selain itu, menurut Arief, persoalan lainnya adalah problem pengendalian bisnis dengan model dan konstruksi yang tersentralisasi amat rentan terhadap perekonomian Nasional. “Jika terjadi kerugian pada perusahaan induk sebagai akibat krisis moneter misalnya, maka hal ini dapat dipastikan turut memengaruhi kondisi finansial anak perusahaan, sehingga pada akhirnya akan memengaruhi kondisi finansial holding BUMN secara keseluruhan.”

Hal ini menghambat terwujudnya tujuan negara sebagaimana Pembukaan UUD 1945,”...melindungi segenap bangsa Indonesi dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia...”. 

Di sisi lain, lanjut Arief, Holding BUMN dapat pula mereduksi peran negara dalam mengelola BUMN, karena pengendalian penuh yang dilakukan oleh perusahaan induk telah mereduksi peran Kementerian BUMN dalam membuat kebijakan dan tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan. (Baca Juga: Dinilai Bertentangan dengan UU, KAHMI Uji Materi PP Holding BUMN)

Untuk itu, Arief menyarankan agar perusahaan holding BUMN dikategorikan ke dalam dua bentuk: perusahaan holding BUMN yang perusahaan induknya berbentuk perseroan; dan perusahaan holding BUMN yang perusahaan induknya berbentuk Perusahaan Umum (Perum). Menurut Arief, konsep penguasaan negara untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat akan lebih relevan dengan holding BUMN yang berbentuk Perum ketimbang Perseroan. 

“Terlebih lagi, untuk BUMN yang mengelola sumber daya alam, dengan memposisikan Kementerian BUMN sebagai perusahaan induk berinvestasi, barangkali itu dapat dipahami dan dipandang lebih rasional,” ujar Arief.

Negara sebagai Entitas Politik, Bukan Entitas Ekonomi
Berbicara mengenai konsep penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, Arief mengutip Moh. Hatta, Dikuasai negara dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula ‘penghisapan’ orang yang lemah oleh orang lain yang bermodal.

Jadi menurut Arief, tidak ada yang mengharuskan Pemerintah untuk menjadi pengusaha atau usahawan dalam mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Sebab yang terpenting adalah negara “tetap menguasai dan mengatur”. Untuk itulah, negara melalui Pemerintah, mendirikan BUMN guna mengelola cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan menghindari penguasaan oleh pihak-pihak tertentu yang dapat mereduksi terpenuhinya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

“Eksistensi BUMN dibutuhkan semata-mata membawa negeri ini menggapai tujuan dalam mensejahterakan rakyat. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit BUMN yang menurut sebagian kalangan berjalan, akan tetapi tidak atau belum sesuai dengan harapan,” katanya.  

Arief mengkritisi pengelolaan BUMN yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak berbeda dengan pengelolaan korporasi swasta. Menurutnya, ini pangkal dari masalah. Sebab pengelolaan BUMN merupakan implementasi konkret dari Pasal 33 UUD 1945.Tidak seharusnya pengelolaannya bergeser dari semangat dan makna keberadaan Pasal 33 UUD 1945. Sebagai salah satu soko guru perekonomian nasional, BUMN lagi-lagi harus ditegaskan merupakan kepanjangan tangan negara untuk diarahkan pada tujuan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

“Jadi, tata kelola BUMNtidak boleh diperlakukan dengan intensi pengelolaan korporasi swasta, apalagi hanya mengutamakan pendekatan bisnis atau business to business. Maka, yang perlu diperhatikan dalam tata kelola BUMN ialah kembali kepada fitrahnya untuk selalu bersandar pada amanat Pasal 33 UUD 1945,” pungkas Arief.

Pada kesempatan yang sama, Rektor Universitas Paramadina, Firmanzah, memaparkan hambatan optimalisasi dan kinerja BUMN di Indonesia. Menurut Firmanzah, dari aspek internal misalnya, sinergi antar BUMN yang belum optimal serta duplikasi fungsi. Sinergi masih bersifat sementara, biasanya berdasarkan kerjasama dalam menangani suatu proyek. Belum strategis serta terintegrasi secara simultan. Selain itu, terdapat duplikasi fungsi antara BUMN sehingga berikutnya yang terjadi adalah kompetisi untuk saling meniadakan satu sama lain.

Kedua, kapabilitas dan kapasitas yang belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari kapasitas permodalan yang terbatas di beberapa BUMN. Selain itu belum optimal dari sisi teknologi dan sumber daya manusia. Serta jumlah BUMN yang banyak dengan skala kerja yang kecil. Berikutnya, pengelolaan rantai nilai dan hilirisasi yang belum menyeluruh. Hal ini dapat dilihat dari perencanaan yang belum holistic dalam rantai nilai; rantai logistic yang panjang; serta hilirisasi produk yang belum maksimal.

Hambatan selanjutnya adalah mindset yang masih bersifat birokrasi dan jangka pendek. Contohnya misalnya pengambilan keputusan yang lambat. Kemudian periode manajeman yang mempengaruhi rencana jangka panjang BUMN.

Sementara hambatan dari sisi eksternal, menurut Firmanzah, adalah adanya distribusi usaha yang belum merata dan persaingan usaha. Hal ini terlihat dari pembangunan yang melum merata dan belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Berikut bidang garapan yang masih terbatas ketimbang pihak swasta. Kemudian penghampat dari sisi eksternal lainnya adalah regulasi, komunikasi & informasi yang melum selaras. Hal ini bisa dilihat dari adanya regulasi yang saling bertentangan. Kemudian, data dan informasi yang belum standar serta masih adanya ego sektoral.

Kemudian perbandingan pengaturan antara BUMN dengan swasta. BUMN diwajibkan untuk mematuhi peraturan/ketentuan yang jumlah dan lingkupnya lebih banyak dari pada swasta. Kondisi ini menjadikan BUMN tidak memiliki bidang garapan yang sama dengan swasta. Jika swasta hanya tunduk kepada Unndang-Undang Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal, dan UU sektoral, BUMN selain kepada 3 UU tersebut juga tunduk kepada UU BUMN. UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU Tipikor, UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

“Selain itu, lembaga yang terlibat dalam proses pembinaan, pengelolaan, dan pengawasan BUMN lebih banyak dari pada swasta,” kata Firmanzah.
Tags:

Berita Terkait