Pemerintah Sebut Hak Angket DPR Open Legal Policy
Berita

Pemerintah Sebut Hak Angket DPR Open Legal Policy

Mahkamah secepatnya diminta mengeluarkan putusan provisi untuk menghentikan sementara penggunaan hak angket KPK oleh DPR hingga adanya putusan permohonan ini.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ketua MK Arief Hidayat. Foto: Humas MK
Ketua MK Arief Hidayat. Foto: Humas MK
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali gelar sidang pleno uji materi 79 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 42 Tahun 2014 tentang UU MD3 terkait kewenangan penggunaan hak angket oleh DPR. Agenda sidang mendengarkan keterangan pemerintah dan DPR. Namun DPR tidak hadir.

Dalam sidang kali ini, Mahkamah menggabungkan empat permohonan perkara yang isi permohonanya hampir sama. Yaitu Perkara No. 40/PUU-XV/2017 dengan pemohon Harun Al Rasyid Dkk; Perkara No. 47/PUU-XV/2017 dengan pemohon Busyro Muqoddas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corupption Watch (ICW), Konfederasi Persatuan Buruh Indonedia (KPBI); Perkara No. 37/PUU-XV/2017 dengan pemohon Horas A.M. Naiborhu; serta Perkara No. 36/PUU-XV/2017 dengan Pemohon Achmad Saifudin Dkk.

Intinya, semua pemohon meminta tafsir Pasal 79 ayat (3) UU MD3 sesuai lettelijk bunyi pasal tersebut. Atau Pasal 79 ayat (3) UU MD3 dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “tidak dapat dilakukan penyelidikan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.” Selain itu, para pemohon ini meminta permohonan provisi agar kerja Pansus Angket KPK dihentikan sementara melalui putusan sela, sampai ada putusan permohonan ini.  

Selain Pasal 79 ayat (3), khusus pemohon perkara No. 47/PUU/XV/2017 juga meminta Pasal 199 ayat (3) UU MD3 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “harus terdapat mekanisme penghitungan yang jelas terhadap anggota yang setuju dan tidak terhadap pemberlakuan hak angket sebagai bagian dari mekanisme voting.”  Baca Juga: MK Diminta Tafsirkan Bersyarat Aturan Hak Angket KPK

Dan, Pasal 201 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “keberadaan semua unsur fraksi dalam panitia angket harus dibuktikan melalui surat resmi sebagai perwakilan unsur partai. Apabila tidak terdapat surat resmi sebagai perwakilan unsur 5 partai, maka panitia khusus dianggap batal demi hukum pembentukannya.”

Dalam keterangannya, Pemerintah mengingatkan Pasal 20A UUD Tahun 1945 memberi kewenangan bersifat open legal policy kepada Pemerintah dan DPR untuk mengatur hak angket DPR. “UUD Tahun 1945 tidak memberikan batasan atau limitasi mengenai pihak mana saja yang dapat diselidiki melalui penggunaan hak angket tersebut,” ujar Direktur Litigasi Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Ninik Heriwanti di ruang sidang MK, Selasa (29/8/2017).

Dia menilai lingkup hak angket DPR melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan UU atau kebijakan pemerintah tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, UUD Tahun 1945 tak mengatur dan memberi batasan jelas mengenai hak tersebut. Karenanya, pengaturan mengenai hak angket adalah pilihan kebijakan pembentuk UU untuk melengkapi pengaturan UUD Tahun 1945.

Ia menilai permohonan ini bukan persoalan konstitusionalitas norma sepanjang pelaksanaan hak angket demi kepentingan bangsa dan negara serta sejalan dengan UUD Tahun 1945. Kecuali, pemilihan kebijakan hak angket ini dapat diuji apabila dilakukan sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat UU (detournement de pouvoir). “Jadi, pengaturan mengenai hak angket pada dasarnya merupakan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) bagi pembentuk UU,” ujarnya.

Ninik mengatakan pelaksanaan hak angket DPR, tak hanya diatur pasal a quo saja. Tapi bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan rangkaian pasal mengenai pelaksanaan hak angket DPR sebagaimana diatur Pasal 199 hingga Pasal 209 UU MD3. Dimana pasal-pasal a quo telah sangat jelas mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan hak angket.

Ditegaskan Ninik, pasal a quo merupakan pilihan kebijakan pemerintah dan DPR guna memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan hak angket demi melaksanakan kedaulatan rakyat. Pemerintah juga menghargai usaha-usaha masyarakat dalam ikut memberi sumbangan dan partisipasi pemikiran demi membangun pemahaman tentang persoalan ketatanegaraan ini.  

“Pemikiran masyarakat tersebut akan menjadi rujukan sangat berharga bagi pemerintah atas dasar pemikiran tersebut. Pemerintah berharap agar dialog antara masyarakat dan pemerintah tetap terus terjaga dengan satu tujuan bersama untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.

Provisi masih dibahas RPH
Dalam persidangan ini, Perkara No. 40/PUU-XV/2017 mengingatkan Mahkamah untuk segera mengeluarkan putusan provisi, dimana hak angket KPK sampai saat ini masih terus berlangsung. Sementara perkara No. 47/PUU-XV/2017 dalam sidang berikutnya akan menghadirkan satu orang saksi dan dua orang ahli.

Menanggapi permohonan provisi Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan permintaan putusan provisi masih dibahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). (Baca juga: MK Diminta Hentikan Sementara Kerja Pansus Angket KPK)

Usai sidang, Kasubdit Penyiapan dan Pedampingan Persidangan Kemenkumham Hotman Sitorus menegaskan hak angket DPR bukan persoalan konstitusionalitas norma, tetapi persoalan open legal policy. “Dalam konstitusi tidak ada yang dilanggar oleh DPR ketika menggunakan hak angket KPK. Ini open legal policy,” tegasnya.

“UUD 1945 hanya mengatur DPR memiliki hak angket, tetapi batasan yang jelas hak angket terhadap siapa, tidak dijelaskan. Itu sesuai dengan kebutuhan DPR dengan Presiden yang akan tentukan kepada siapa saja hak angket ditujukan. Posisi pemerintah disini hanya menjelaskan secara umum tentang hak angket dalam konstitusi,” katanya.

Salah satu pemohon dengan Perkara No. 47/PUU-XV/2017 dari Indonesia Corupption Watch (ICW), Donal Faridz mengatakan seharusnya pemerintah menperjelas tafsir Pasal 79 ayat (3) UU MD3 berikut penjelasannya. Sebab, aturan itu disebutkan jelas lembaga-lembaga termasuk pemerintah sebagai objek angket. “Disitu dijelaskan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, pimpinan non-lembaga kementerian objek hak angket, tidak termasuk KPK.”

Donal menuturkan pemerintah seharusnya normatif saja, menyerahkan seluruhnya kepada MK untuk menilai. “Seharusnya pemerintah mencoba netral. Mahkamah juga lambat merespon untuk mengeluarkan putusan provisi. Kita berharap agar Mahkamah secepatnya mengeluarkan putusan provisi.”
Tags:

Berita Terkait