Jalur Pengaduan Masyarakat Korban Tambang Masih Tertutup
Berita

Jalur Pengaduan Masyarakat Korban Tambang Masih Tertutup

Hal tersebut kian diperparah dengan terbatasnya jumlah Inspektur Tambang yang dimiliki Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi yang bertema
Acara diskusi yang bertema "Efektifitas Pengawasan dan Penegakan Hukum Sektor Pertambangan Minerba", di Jakarta, Selasa (29/8). Foto: NNP
Pemerintah diminta memperhatikan aspirasi masyarakat terutama yang terkena dampak negatif dari usaha pertambangan. Sampai saat ini, masyarakat masih belum mempunyai jalur pengaduan khusus ketika melaporkan aktivitas perusahaan tambang yang merugikan mereka.

Direktur Eksekutif Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Henri Subagiyo, mengatakan bahwa pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum menyediakan jalur khusus bagi masyarakat yang ingin melaporkan dugaan pelanggaran usaha pertambangan ataupun pengaduan terkait lainnya. Sehingga, selama ini upaya keberatan yang ditempuh masyarakat lebih pada tindakan aksi atau demo langsung kepada perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran usaha pertambangan.

“Masalahnya jalurnya, belum ada saluran untuk dia (masyarakat) dapatkan perlindungan dari dampak pertambangan,” kata Henri kepada hukumonline dalam acara diskusi yang bertema "Efektifitas Pengawasan dan Penegakan Hukum Sektor Pertambangan Minerba", di Jakarta, Selasa (29/8).

Akibatnya, lanjut Henri, temuan atau dugaan indikasi pelanggaran yang disampaikan tidak jelas tindak lanjutnya. Padahal, dugaan pelanggaran tersebut masuk ranah pengawasan dari kementerian untuk selanjutnya ditindaklanjuti dengan penegakan hukum. Sejauh ini, pelanggaran yang khusus terkait aspek lingkungan masih dapat diakomodir Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Padahal aspek pelanggaran perusahaan tambang tidak sebatas pada aspek lingkungan semata.

Kecenderungan di lapangan, Henri melihat masyarakat kesulitan bahkan bingung ketika melaporkan suatu indikasi pelanggaran lantaran memang di Kementerian ESDM sama sekali tidak terdapat desk (bagian) khusus yang menerima laporan. (Baca Juga: Korporasi Tambang Perlu Simak 3 Rekomendasi Komnas HAM Ini)

Kemudian, standar pengelolaan pengaduan juga tidak jelas sehingga masyarakat tidak mendapatkan kepastian apakah laporan atau aduan yang dilaporkan tersebut diterima atau ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hal itu kian sulit, ditambah minimnya jumlah aparatur pengawas pertambangan baik oleh Inspektur Tambang atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

“Masyarakat diberikan akses untuk menyampaikan dugaan atau indikasi pelanggaran. Selebihnya Inspektur Tambang untuk masuk membuktikan dan sebagainya. Misalnya, dugaan pencemaran bukti dugaan itu yang harus disampaikan. Tapi setidaknya Inspektur Tambang dapat feeding data awal, ini mengefisienkan tenaga pengawas yang masih kurang,” kata Henri.

Merujuk data, terdapat 9.069 izin usaha pertambangan (IUP) yang tersebar dari wilayah Aceh hingga Papua pasca batas waktu evaluasi IUP oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No.43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan IUP Minerba, yang berakhir pada 2 Januari 2017 yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

Terbitnya ribuan IUP tersebut menimbulkan berbagai persoalan, seperti masih terdapat 2.731 IUP yang berstatus Non Clean and Clear (CnC), 325 IUP seluas 795.523,07 Ha masuk kawasan hutan konservasi dan 1.349 IUP seluas 3.711.881,07 Ha masuk kawasan hutan lindung, sejumlah perusahaan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) serta ribuan IUP belum menempatkan dana jaminan reklamasi (jamrek) dan pasca tambang lantaran lemahnya pengawasan maupun penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan tambang bermasalah yang beroperasi di Indonesia.

Dari segi aturan, regulasi terkait pengawasan sudah diatur dalam UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara beserta turunannya antara lain Peraturan Pemerintah (PP) No.55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Tambang Minerba. (Baca Juga: Lubang Bekas Tambang Wajib Ditutup, Ini Alasannya)

Peran Inspektur Tambang yang dimiliki Kementerian ESDM yang meliputi teknis pertambangan, konservasi sumber daya minerba, keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, keselamatan operasi pertambangan, pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi dan pascatambang, serta penerapan teknologi pertambangan sayangnya harus ‘tereduksi’ pasca ditetapkannya UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasca terbitnya UU No.23 Tahun 2014 tersebut, pengelolaan Inspektur Tambang menjadi beralih kepada Pemerintah Pusat termasuk yang mencakup rekrutmen, pengangkatan, pembinaan karir, hingga pemberhentian dari jabatan. Data Kementerian ESDM, hingga saat ini hanya terdapat 166 PNS di sektor ESDM yang telah diangkat menjadi Inspektur Tambang meliputi 28 Inspektur Tambang di Direktoral Jenderal (Ditjen) Minerba Kementerian ESDM dan 138 Inspektur Tambang di pemerintah daerah.

PNS yang telah lulus pendidikan dan pelatihan Inspektur Tambang berjumlah mencapai 1.050 orang. Adapun, total perusahaan tambang yang harus diawasi Inspektur Tambang berkisar 6.500 perusahaan. Bila diasumsikan, rasio ideal jumlah Inspektur Tambang dan perusahaan yang diawasi antara 1:7 hingga 1:5 sehingga secara nasional masih butuh 1.000-1.300 Inspektur Tambang.

“Di UU Minerba mungkinkan oversight. Pengawasn melekat kepada si pemberi izin tapi kalau tidak beres baru diambil pusat. Kalau diambil pusat maka daerah lepas tangan. ICEL usul tetap diawasi pemberi izin, sehingga tanggungjawab tetap melekat,” kata Henri. (Baca Juga: Izin Tambang Mesti Pertimbangkan Dampak Permanen Lingkungan)

Di tempat yang sama, Inspektur Tambang Pertama pada Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batu Barua, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rifki Aristantyo, mengakui bahwa dari segi jumlah Inspektur Tambang masih sangat minim. Sejak tahun 2014, Kementerian ESDM telah mentargetkan penambahan sebanyak 1000 aparatur. Sayangnya hingga saat ini proses tersbut belum terealisasi sepenuhnya.

“Kita sadar masyarkat kena imbas dari kegiatan tambang. Ketika masyarkat dirugikan wajar mengadu. Ketika mengadu, memang sebaiknya ada bilik pengaduan,” kata Rifki.

Rifki melanjutkan, sejauh ini Kementerian ESDM memang baru membuka akses pengaduan terhadap perusahaan dan pekerja melalui pelaporan secara online. Katanya, mulai dari tingkat manajemen perusahaan hingga tingkat pekerja dapat melaporkan adanya dugaan pelanggaran secara online kepada Kementerian ESDM. Sebaliknya, khusus untuk masyarakat sendiri, Rifki mengakui bahwa pihak kementerian sebatas menerima laporan dari surat kabar atau media masa.

Rifki juga mengkonfirmasi bahwa belum ada desk pengaduan khusus yang ditempatkan di Kementerian ESDM khusus untuk masyarakat. Namun tak menutup kemungkinan ke depan akan dibuat desk pengaduan khusus bagi masyarakat seperti yang diberikan pada tingkat manajemen dan pekerja.

Untuk diketahui, sebelumnya Kementerian ESDM tidak membuat desk pengaduan bagi pekerja, tetapi ketika pada praktiknya banyak perusahaan yang ‘menyembunyikan’ adanya pelanggaran-pelanggaran, maka jalur pengaduan bagi pekerja akhirnya dibuka.

“Kita sudah ada teknologi online, tapi terbatas level manajemen. Sekarang pekerja bisa laporkan, dulu sekali yang dibuka kerannya manajemen atas sekarang pekerja, mungkin ke depan bisa jadi (yang masyarkat dibuka),” kata Rifki.
Tags:

Berita Terkait