4 Rekomendasi DPR Soal Kasus Penghilangan Paksa yang Belum Dijalankan Pemerintah
Berita

4 Rekomendasi DPR Soal Kasus Penghilangan Paksa yang Belum Dijalankan Pemerintah

Presiden Joko Widodo diharapkan berani mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan perkara tersebut.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Ilustrator: BAS
Ilustrasi. Ilustrator: BAS
Berbagai kasus penghilangan orang secara paksa di Indonesia belum selesai. Hingga kini, sekarang keluarga korban terus menuntut pemerintah untuk mencari para korban. Salah satu upaya panjang keluarga korban berbuah harapan di tahun 2009 ketika DPR menelurkan empat rekomendasi untuk Presiden RI.

Pertama, merekomendasikan Presiden RI membentuk pengadilan HAM ad hoc. Kedua, merekomendasikan Presiden RI serta institusi pemerintah dan pihak terkait untuk mencari 13 aktivis yang masih hilang. Ketiga, merekomendasikan pemerintah merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang. Keempat, merekomendasikan pemerintah meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.

Ketua IKOHI, Wanmayetti, mengatakan peristiwa penghilangan paksa aktivis 1997-1998 sudah 19 tahun berlalu tapi sampai sekarang belum ada titik terang penyelesaian kasus. Ia mengingatkan, dua tahun lalu pemerintah berjanji akan membentuk tim untuk mencari para korban yang masih hilang.

(Baca Juga: KontraS: Kejagung Belum Pro Aktif Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM)

Namun, sampai sekarang janji itu belum terwujud. Padahal, para korban hanya ingin mendapat kepastian apakah anggota keluarganya yang menjadi korban masih hidup atau meninggal. “Presiden pernah berjanji untuk membentuk tim tapi tak kunjung terealisasi,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (30/8).

Kepala Bidang Advokasi KontraS, Putri Kanesia, mengatakan rekomendasi yang diterbitkan DPR sejak 2009 itu implementasinya tidak mengalami kemajuan. Sekitar tahun 2010 Menteri Luar Negeri ketika itu Marty Natalegawa mewakili pemerintah menandatangani konvensi Anti Penghilangan Paksa di New York, tapi sampai sekarang proses ratifikasi itu mandek.

Kemudian, KontraS bersama korban telah melaporkan Presiden RI ke Ombudsman pada tahun 2012 karena tidak menjalankan rekomendasi DPR tersebut, tapi tak berbuah hasil seperti harapan. “Empat rekomendasi DPR itu harus dijalankan sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap kasus penghilangan paksa,” ujar Putri.

(Baca Juga: KontraS Desak Presiden Tindaklanjuti Rekomendasi MK)

Upaya itu penting dilakukan pemerintah guna mencegah agar kasus serupa tidak terjadi lagi. Melansir data Komnas HAM, Putri menyebut, ada 32.774 korban penghilangan paksa periode 1965-1966, 23 korban pada kasus Tanjung Priuk (1984), 23 korban kasus penembakan misterius (1982-1985), 13 korban pada kasus penculikan aktivis (1997-1998), dan 5 korban untuk kasus Wasior (2001).

Koalisi NGO mencatat ada 1.935 korban pada Operasi Militer di Aceh (1989-1998) dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Timur mencatat ada 18.600 korban (1975-1999). Data KontraS untuk kasus Talangsari ada 88 korban (1989), seorang korban bernama Aristoteles Masoka di Papua (2001) dan terakhir dialami Dedek Khairudin di Sumatera Utara (2013).

Peneliti Amnesty International Indonesia, Papang Hidayat, berpendapat penyelesaian bermacam kasus penghilangan paksa itu tanggung jawab penuh Presiden Joko Widodo. Pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998 tinggal menunggu Keputusan Presiden. Presiden Joko Widodo diharapkan berani mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan perkara tersebut, seperti yang dilakukan pemerintah Chili dan Argentina. “Ini beban masa lalu yang harus diselesaikan,” pungkasnya.

Sebelumnya, Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengakui proses penyelesaian dugaan pelanggaran HAM di masa lalu belum ada laporan kemajuan. Hal ini melihat penanganan berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu masih mangkrak dan belum tuntas penyelesaiannya. Padahal, Komnas HAM sudah berupaya melakukan komunikasi dengan Pemerintah.

(Baca Juga: Komnas HAM Akui Penyelesaian Pelanggaran Masa Lalu Masih Tersendat)

Ketua Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu, Roichatul Aswidah mengatakan Komnas HAM telah melakukan serangkaian komunikasi dan koordinasi dengan Pemerintah, khususnya dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan sejak 2013. Pertemuan pun dilakukan dalam rapat terbatas yang melibatkan Menteri Hukum dan HAM, Kapolri, Panglima TNI, Kepala BIN dan Jaksa Agung.

Komisioner Komnas HAM yang disapa Roi itu menyebut kasus Wasior (2001) dan Wamena (2003) yang diselesaikan melalui mekanisme yudisial atau pemeriksaan di pengadilan seperti diatur UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM selaku penyelidik sedang melengkapi berkas untuk segera ditindaklanjuti dengan penyidikan.
Tags:

Berita Terkait