Begini Alasan Pemerintah Terbitkan Perppu Ormas
Berita

Begini Alasan Pemerintah Terbitkan Perppu Ormas

Salah satu pemohon menilai keterangan pemerintah tidak menjawab pengujian formil Perppu Ormas terutama syarat “kegentingan yang memaksa”. Apalagi, video orasi HTI yang ditayangkan terjadi pada 2013 saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai tidak relevan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Mendagri Tjahjo Kumolo saat memberi keterangan pemerintah dalam sidang pengujian Perppu Ormas di Gedung MK Jakarta, Rabu (30/8). Foto: AID
Mendagri Tjahjo Kumolo saat memberi keterangan pemerintah dalam sidang pengujian Perppu Ormas di Gedung MK Jakarta, Rabu (30/8). Foto: AID
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pleno pengujian Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organis asi Kemasyarakatan (Ormas). Agenda sidang mendengar keterangan pemerintah dan pihak terkait yakni Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) dan Sekretariat Nasional Advokat Indonesia. Sidang pleno uji materi Perppu ini mengabungkan 7 Pemohon yang pokok permohonannya hampir sama.  

Yakni, perkara No. 38/PUU-XV/2017 dengan pemohon Afriady Putra S (OAI); perkara No. 39/PUU-XV/2017 dengan pemohon mantan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto; perkara No. 41/PUU-XV/2017 dengan pemohon Aliansi Nusantara; perkara No. 48/PUU-XV/2017 dengan pemohon Yayasan Sharia Law Institute Dkk.

Dan, perkara No. 49/PUU-XV/2017 dengan Pemohon PP Persatuan Islam (persis); Perkara No. 50/PUU-XV/2017 dengan pemohon Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Yayasan Forum Silaturahmi Antar Pengajian Indonesia, Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia; Perkara No. 52/PUU-XV/2017 dengan pemohon Herdiansyah.

Para Pemohon menguji formil dan materil Perppu Ormas, khususnya Pasal 59 ayat (4) huruf c sepanjang frasa “menganut”, Pasal 61 ayat (3), Pasal 62, Pasal 80, dan Pasal 82A. Intinya, dalil permohonan mempersoalkan alasan pemerintah menerbitkan Perppu Ormas yang dinilai tidak memenuhi syarat “kegentingan yang memaksa” dan melanggar hak berserikat yang dijamin konstitusi.  

Sebelum memberi keterangan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang mewakili pemerintah meminta MK menayangkan rekaman video selama dua menit terkait cuplikan orasi HTI di depan media massa terkait penyebaran paham khilafah. Setelah diputar, Tjahjo menilai pemerintah sudah melihat situasi dan kondisi ormas yang ada saat ini.

“Yang dengan jelas, tegas dan terang-terangan terbuka di depan umum melakukan tindakan atau perbuatan yang sifatnya ingin mengganti, mengubah landasan ideologi Pancasila atau UUD 1945 dengan sistem khilafah,” ujar Tjahjo dalam persidangan di Gedung MK Jakarta, Rabu (30/8/2017). (Baca Juga: ‘Menggugat’ Wewenang MK Menguji Perppu)

Tjahjo beralasan penerbitan Perppu Ormas tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Sebab, UU Ormas tidak mengatur tentang perbuatan ormas yang bertentangan dengan Pancasila. “Sehingga ada keadaan memaksa untuk mengeluarkan Perppu dengan cepat agar tidak terjadi kekosongan hukum yang berdampak mengubah Pancasila dan UUD 1945,” tegasnya.

Alasan lain, kata Tjahjo, membuat peraturan dalam konsteks ini tidak mungkin dapat ditempuh dengan mekanisme biasa dalam membuat UU yang memakan waktu lama, sehingga kondisi sudah berada dalam kegentingan memaksa. Karena itu, terbitnya Perppu Ormas sudah sesuai Pasal 22 UUD 1945 terkait “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” dan Putusan MK No. 138/PUU-VI/2009 yang mengamanatkan tiga syarat menerbitkan Perppu oleh presiden.

“Karena itu, penerbitan Perppu Ormas tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan putusan MK. Dan tidak diskriminatif terhadap agama, ras, suku, jenis kelamin, bahasa, keyakinan berpolitik, status sosial pihak tertentu,” dalihnya.

Tidak sewenang-wenang
Dalam kesempatan ini, Pemerintah berupaya melakukan pengawasan dan penjatuhan sanksi terhadap ormas berdasarkan prinsip kehati-hatian, tidak sewenang-wenang, seperti diatur Pasal 61 ayat (4) Perppu Ormas. Lagipula, Mendagri dan Menkumham ketika dalam memberi sanksi administrasi berupa pencabutan SK Ormas bersifat langsung dan sudah sesuai dengan asas contrarius actus.

“Mekanisme pemberian sanksi administratif telah ditempuh dengan tahapan berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan, dan terakhir pembubaran ormas. Perppu a quo juga secara nyata tidak menghalangi ormas untuk menempuh jalur pengadilan, sehingga sudah menerapkan prinsip due process of law,” ujarnya.

Tjahjo juga melaporkan data hingga 6 Juli 2017, keseluruhan ormas di Indonesia berjumlah 344.039 ormas. Rinciannya, data di Kemendagri tercatat 370 ormas tidak berbadan hukum dengan surat keterangan terdaftar; Kementerian Luar Negeri tercatat 71 ormas yang didirikan warga negara asing; pemerintah daerah tercatat 7.226 ormas tidak berbadan hukum dengan surat keterangan terdaftar.

Dan, pemerintah daerah kabupaten/kota tercatat 14.890 ormas tidak berbadan hukum dengan surat keterangan terdaftar; serta Kementerian Hukum dan HAM tercatat 321.482 ormas. Sebagian besar berbentuk yayasan dan perkumpulan yang didaftarkan secara online. Untuk itu, dari data perkembangan ormas seperti ini, perlu diimbangi dengan pengaturan yang komprehensif agar tidak menimbulkan permasalahan dari segi legalitas, akuntabilitas, fasilitas pelayanan, pemberdayaan hingga masalah penegakkan hukum.

Karena itu, Pemerintah meminta Mahkamah dapat menerima seluruh keterangan pemerintah dan menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya karena tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. “Atau setidak-tidaknya permohonan pengujian Perppu Ormas ini tidak dapat diterima,” harapnya.

Tidak relevan
Kuasa Hukum eks Jubir HTI, Yusril Ihza Mahendra mempertanyakan relevansi pemutaran video HTI sebelum pemerintah menyampaikan keteranganya. Di luar sidang, Yusril menilai tidak relevansinya pemutaran video sebelum membacakan keterangan pemerintah. “Baru pertama kali hal ini terjadi di sidang MK. Ini sidang UU, bukan perkara pidana atau tata usaha negara. Kalau pemerintah mau mengajukan bukti ada waktunya, tapi kok diputarkan videonya. Ini satu langkah yang memalukan dan tidak pantas,” tudingnya.

Lagipula, video orasi HTI di Senayan pada tahun 2013 saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (saat akan disahkannya UU Ormas). Baginya, kalau ada unsur “kegentingan yang memaksa”, kenapa video yang diputar aktivitas tahun 2013 dan baru tahun 2017 dikeluarkan Perppu Ormas di era pemerintahan Presiden Jokowi?

Karena itu dari sisi substansi, Yusril menilai keterangan pemerintah tidak menjawab pengujian formil Perppu Ormas terutama syarat “kegentingan yang memaksa”. “Kami mendalilkan sebenarnya pemerintah dalam menerbitkan Perppu harus dalam ‘kegentingan yang memaksa’. Tetapi, kok hal ikhwal kegentingan yang memaksanya dikaitkan dengan pemutaran video HTI tahun 3013,” kata dia.

Apalagi, sejak tahun 2013 hingga hari ini, pemerintah tidak memberikan surat peringatan ataupun meminta keterangan kepada HTI, tetapi tiba-tiba langsung saja dibubarkan. “Dalil-dalil Pak Tjahjo tadi, sama sekali tidak relevan dengan sidang permohonan ini. Malah, menghilangkan kewenangan pengadilan untuk menilai dan memberi hak penuh kepada pemerintah,” katanya. Baca Juga: Lebih Baik Membubarkan Ormas Lewat Mekanisme Yudisial
Tags:

Berita Terkait