Polri Diminta Usut Tuntas Kelompok Penebar Kebencian Tanpa Pandang Bulu
Berita

Polri Diminta Usut Tuntas Kelompok Penebar Kebencian Tanpa Pandang Bulu

Tidak boleh ada tebang pilih, termasuk pihak pendukung rezim penguasa yang menggunakan jasa Saracen mesti diberlakukan sama di depan hukum.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi risiko hukum penggunaan media sosial. BAS
Ilustrasi risiko hukum penggunaan media sosial. BAS
Belum juga rampung menangani pesoalan ujaran kebencian, timbul pengungkapan kasus Saracen. Yakni kelompok yang diduga menjual jasa penebar kebencian dengan berita hoax di media sosial. Polri yang membongkar jaringan Saracen mesti dilakukan secara terbuka dan tuntas pengusutannya. Demikian disampaikan Wakil Ketua DPR Fadli Zon di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (30/8/2017).

Menurut Fadli, meski sedari awal Polri melakukan ekspos kasus Saracen ke publik sebagai industri penyebar hoax dan kebencian di media sosial, tetapi proses penanganan bakal berjalan panjang. Soal terbukti tidaknya kasus tersebut, mesti diungkap melalui kerja keras Polri. Setidaknya, membongkar dalang dan pengguna jasa. “Inilah yang sama-sama kita kawal dan perhatikan,” kata dia.

Publik pun berharap penanganan kasus Saracen tidak berujung antiklimak seperti halnya pengungkapan kasus mafia beras. Sebab ekspos ke publik awalnya amatlah bombastis. Namun perkembangan kasusnya justru tak sebesar ekspos di awal. Lebih lanjut Fadli berpendapat penegakan hukum tanpa pandang bulu mesti dilakukan Polri. “Tidak boleh ada tebang pilih di dalamya,” pintanya.

Politisi Partai Gerindra itu berpendapat tantangan Polri dalam menumpas pelaku penyebar ujaran kebencian terbilang berat. Terlebih, Polri mesti menyadari posisinya sebagai alat negara, bukan alat kekuasaan. Karena itu, Polri tak boleh menerapkan standar ganda dalam pengusutan kasus hoax, ujaran kebencian dan SARA di media sosial. Baca Juga: Sanksi Hukum Jika Menulis Kata-Kata Kasar untuk Pemerintah di Medsos.

Penanganan secara tuntas terhadap kasus Saracen tak hanya terhadap pengguna yang berseberangan dengan pemerintah, tetapi juga pihak pendukung rezim penguasa diberlakukan sama. “Jadi, jika benar Saracen adalah industri jasa yang membisniskan penyebaran hoax, isu-isu SARA dan ujaran kebencian, maka polisi harus bisa membongkarnya secara tuntas dan transparan,” katanya.

Wakil Ketua Komisi I DPR Meutya Hafidz punya pandangan serupa dengan Fadli. Menurutnya Polri mesti mengusut tuntas tanpa kecuali. Setidaknya mulai orang yang menyuruh, mendanai, hingga pelaku yang menyebarkan kebencian di medsos mesti diproses secara hukum.

Pemerintah pun mesti serius menangani persoalan penebaran berita hoax ini. Terutama pihak-pihak yang menginginkan bangsa Indonesia terpecah belah dan merusak semangat kebhinekaan. Sebab, bila hal tersebut tidak ditangani cepat oleh pihak kepolisian, maka menjadi ancaman serius terhadap negara kesatuan Indonesia.

“Saya meminta usut tuntas sampai kepada siapa yang menyuruh dan siapa yang mendanai sindikan pabrik hoax ini,” katanya.

Menurutnya bila nantinya hasil investigasi kepolisian terbukti adanya ‘pabrik’ hoax bertujuan memecah belah bangsa, maka pelaku dapat dikenakan tuduhan upaya melawan negara kesatuan Indonesia. Meskipun negara memiliki Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), praktiknya kementerian sulit bergerak mengatasi dan menangal penyebaran hoax. Karena itu, pemerintah mesti segera merealisasikan terbentuknya Badan Siber Nasional (BSN).

“Perlu direalisasikan segera terbentuknya BSN, BSN nanti juga melibatkankan kominfo dan lembaga sandi negara,” kata politisi Partai Golkar itu.

Terpisah, Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai modus yang digunakan kelompok Saracen amatlah berbahaya. Sebab kejahatan yang dilakukan Saracen merupakan kejahatan serius. Bahkan dapat berpotensi destruktif dan berimplikasi buruk bagi persatuan dan kesatuan bangsa. “Karena punya kans memantik ‘api’ (konflik) horizontal,” katanya.

Pangi mengatakan, modus kejahatan serta cara kerja sindikat kelompok seperti Saracen sangat terkonsolidasi, terstruktur, masif dan sistematis. Menurutnya kasus Saracen bisa menjadi pintu masuk penangkapan kelompok ujaran kebencian lain. Hukuman yang berat, bagi aktor atau dalang hate speech harus disiapkan sebagai efek jera (down effect).

“Semuanya harus ditindak, disikat, karena tidak ada urusan apakah diproduksi di kelompoknya sendiri atau di kelompok pihak lain,” pintanya. Baca Juga: Fatwa MUI tentang Medsos Selaras dengan UU ITE
Tags:

Berita Terkait