DPR Sebut Pembentukan Pansus Angket Konstitusional
Utama

DPR Sebut Pembentukan Pansus Angket Konstitusional

Hak angket sebenarnya berlaku dalam sistem parlementer, tetapi Mahkamah mesti memberikan penafsiran yang sesuai desain konstitusi agar tidak terjadi penyimpangan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Dosen Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti bersama Mantan Komisioner KPK Bambang Widjojanto memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian UU MD3 di Gedung MK Jakarta, Selasa (5/9). Foto: RES
Dosen Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti bersama Mantan Komisioner KPK Bambang Widjojanto memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian UU MD3 di Gedung MK Jakarta, Selasa (5/9). Foto: RES
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak permintaan provisi para pemohon uji materi UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 42 Tahun 2014 tentang UU MD3 terkait kewenangan penggunaan hak angket oleh DPR. Sebab, hak angket merupakan hak konstitusional DPR yang dijamin UUD Tahun 1945.

“Dalil pemohon yang menyatakan hilangnya kepastian hukum dan berpotensi merugikan APBN terkait permohonan putusan provisi untuk menghentikan kerja Panitia Khusus (Pansus) Angket (KPK) tidak berdasar dan beralasan hukum,” ujar Anggota Komisi III DPR Asrul Sani saat mewakili pandangan DPR di sidang pengujian UU MD3 di Gedung MK Jakarta, Selasa (5/9/2017). Sebelumnya, Pemerintah telah memberi pandangannya. (Baca Juga: Pemerintah Sebut Hak Angket DPR Open Legal Policy)

Arsul Sani menuturkan Pansus Angket DPR telah ditetapkan dalam rapat paripurna dan keputusan DPR tentang Pembentukan Pansus Angket KPK. Justru, pembentukan pansus hak angket KPK sesuai dengan pasal-pasal yang diuji dan prinsip-prinsip yang dianut UUD Tahun 1945. “Makanya, kami mohon Majelis menolak permohonan provisi para pemohon,” pintanya.

Dia menilai KPK dibentuk dengan UU khusus yang menjalankan tugas eksekutif yang dibiayai negara (APBN). “Kok independen, tetapi juga eksekutif karena KPK dibiayai negara. Karena itu, KPK masuk lembaga eksekutif yang kewenangannya dapat di angket oleh DPR. Kecuali, lembaga independen kekuasaan kehakiman yang disebut Pasal 24 UUD Tahun 1945 yakni Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak dapat di angket oleh DPR.”

Dia menambahkan anggota Pansus Angket KPK terdiri dari setiap fraksi di DPR dan telah memenuhi kuorum sesuai UU MD3. “Hak angket dapat terus berjalan, dan memohon kepada Mahkamah bahwa permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya,” kata dia.

Permohonan ini diajukan 4 kelompok pemohon yang berbeda. Yaitu Perkara No. 40/PUU-XV/2017 dengan pemohon Harun Al Rasyid Dkk; Perkara No. 47/PUU-XV/2017 dengan pemohon Busyro Muqoddas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corupption Watch (ICW), Konfederasi Persatuan Buruh Indonedia (KPBI); Perkara No. 37/PUU-XV/2017 dengan pemohon Horas A.M. Naiborhu; serta Perkara No. 36/PUU-XV/2017 dengan Pemohon Achmad Saifudin Dkk.

Intinya, semua pemohon meminta tafsir Pasal 79 ayat (3) UU MD3 sesuai lettelijk bunyi pasal tersebut. Atau Pasal 79 ayat (3) UU MD3 dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “tidak dapat dilakukan penyelidikan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.” Selain itu, para pemohon ini meminta permohonan provisi agar kerja Pansus Angket KPK dihentikan sementara melalui putusan sela, sampai ada putusan permohonan ini.  

Selain Pasal 79 ayat (3), khusus pemohon perkara No. 47/PUU/XV/2017 juga meminta Pasal 199 ayat (3) UU MD3 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “harus terdapat mekanisme penghitungan yang jelas terhadap anggota yang setuju dan tidak terhadap pemberlakuan hak angket sebagai bagian dari mekanisme voting.” Baca Juga: MK Diminta Tafsirkan Bersyarat Aturan Hak Angket KPK

Dan, Pasal 201 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “keberadaan semua unsur fraksi dalam panitia angket harus dibuktikan melalui surat resmi sebagai perwakilan unsur partai. Apabila tidak terdapat surat resmi sebagai perwakilan unsur 5 partai, maka panitia khusus dianggap batal demi hukum pembentukannya.”

Sementara mantan Komisioner KPK Bambang Widjojanto menerangkan tidak ada Pansus Angket tanpa kasus korupsi e-KTP karena memiliki hubungan kausalitas (sebab-akibat). Baginya, kini ada indikasi kekuatan koruptif dan kolusif semakin kuat dan hampir sempurna menyandera dan mencengkram kekuasaan. “Telah bersimbiosis (mutualisme) dengan kekuatan kartel politik-ekonomi, oligarki, dan politik dinasti. Ini menjadi kekuatan koruptif dan kolusif,” ujar Bambang yang memberi keterangan sebagai ahli pemohon.  

Dia menilai faktanya KPK tengah dibuat sekarat dan terus-menerus diintai skaratul maut yang salah satu ikon KPK Novel Baswedan ‘dihajar’ dengan tindakan teroris yang membutakan kedua matanya. Selain itu, ada kehendak delegitimasi bahwa korupsi dalam revisi RUU KUHP tidak lagi dikualifikasikan sebagai extra ordinary crime, tetapi hanya kejahatan biasa.

Karena itu, menurut Bambang ada indikasi state capture yang diduga bersekutu dengan kekuatan oligarki kasus e-KTP seperti situasi saat ini. Cara pandang untuk menilai Pansus Angket KPK bagian dari relasi antara capture corruption, oligarki dan corruptor fight back. “Pansus Angket KPK jelas dan tegas menunjukan adanya fakta konflik kepentingan. Siapapun melakukan konflik kepentingan, dia pantas diduga melakukan korupsi,” kata Bambang.

Dia menambahkan bisa saja langkah-langkah pelemahan KPK saat ini diduga disempurnakan dengan adanya Pansus Angket KPK agar KPK tidak lagi menjadi simbol dan lokomotif upaya pemberantasan korupsi yang efektif, efisien dan trengginas untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Angket berlaku dalam sistem parlementer
Ahli Pemohon lain, Dosen Hukum Tata Negara Dosen Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti menerangkan selama ini penggunaan hak angket KPK disibukkan dengan pertunjukkan-pertunjukkan politik. Hal ini disebabkan pasca amandemen UUD 1945, hak angket sendiri belum pernah dibedah sama sekali.

“Dalam forum terhormat ini, hak angket ini bisa dibahas lebih sistematis dan terstruktur untuk diberi penafsiran yang jelas oleh Mahkamah. Karena ini persoalan desain konstitusi,” ujar Bivitri.

“Angket diadopsi dari Belanda. Kata Angket berasal dari bahasa Perancis yakni ongke yang artinya menyelidiki. Sesungguhnya hak angket ini dalam konteks dalam sistem parlementer.”

Meski begitu, hak angket masih memiliki dasar hak-hak yang diwarisi dari sistem parlementer pada periode tahun 1949 sampai 1959 saat berlaku sistem parlementer. “Istilah ongke tertian dalam bahasa asli Pasal 121 UUD RIS 1949. Ketentuan ini kemudian menjadi (diadopsi) Pasal 70 UUD Sementara 1950 yang berbunyi “DPR mempunyai hak menyelidiki atau ongke menurut aturan yang ditetapkan dengan UU No. 6 Tahun 1945 tentang Penetapan Hak Angket,” paparnya.

Dalam konteks saat ini, kata Bivitri, MK sendiri telah membatalkan hak angket melalui Putusan No. 08/PUU-XIII/2010, dimana secara materil bertentangan dengan UUD 1945 yang menganut sistem presidensial. “Digarisbawahi disini, pentingnya mengkaitkan konsep ketatanegaraan dengan sistem pemerintahan. Ini sangat penting menerapkan secara konsisten sebuah sistem yang dianut Indonesia,” harapnya.

Pertanyaannya, apakah KPK dapat ditempatkan dalam wilayah yudikatif? Baginya, KPK tidak masuk kewenangan yudikatif, tetapi lembaga negara independen yang menyelenggarakan fungsi penegakkan hukum. Lalu, apakah KPK bisa diawasi? Ia menjawab bisa, tentu dengan cara-cara lain, seperti rapat kerja DPR dan lain-lain yang masuk lingkup kewenangan DPR.

“Dalam mencari informasi kinerja KPK, tidak semua informasi boleh untuk dibuka oleh publik sesuai UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Tetapi faktanya saat ini, panitia angket memaksakan hal itu,” ujarnya.

Untuk itu, dia berharap agar ada kesadaran moral dan etik anggota DPR yang terbukti tidak cukup kuat memastikan pelaksanaan fungsi DPR secara efektif. “Hak angket merupakan desain konstitusional. Saya berharap Mahkamah sebagai penjaga konstitusi dapat memberikan penafsiran yang sesuai (konstitusi) agar tidak terjadi penyimpangan,” katanya.
Tags:

Berita Terkait