Penulis ‘Menjerit” Dibebani Pajak Besar, Ini Klarifikasi Ditjen Pajak
Berita

Penulis ‘Menjerit” Dibebani Pajak Besar, Ini Klarifikasi Ditjen Pajak

Pemerintah sudah sepatutnya memberikan insentif kepada profesi penulis.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Siapa yang tak kenal dengan penulis novel Indonesia, Tere Liye? Nama Tere Liye mencuat ke publik lewat buku-bukunya yang romantik. Mayoritas pembaca, khususnya kaum hawa, banyak menggandrungi karya-karya Tere Liye. Bahkan, banyak pembaca yang kerap mengutip ulang kalimat-kalimat dalam novel Tere Liye, dan berseliweran di dunia maya.

Namun siapa sangka, penulis novel Hafalan Shalat Delisa ini secara mengejutkan memutuskan untuk berhenti menerbitkan karya-karyanya. Ada apa gerangan? Ternyata keputusan tersebut didalangi oleh tarif pajak yang dirasa tak adil oleh Tere Liye bagi profesi penulis.

Keluhan tersebut diungkapkannya melalui akun media sosial facebook Tere Liye pada Senin, (5/9) pukul 21.08 WIB. Keluhan Tere Liye terhadap beban pajak profesi penulis disampaikan dalam tulisan kurang lebih sepanjang 13 paragraf. Baginya, pajak bagi profesi penulis terlalu besar jika dibandingkan dengan profesi-profesi lainnya.

Tak butuh waktu lama, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak langsung merespons. Dalam rilis yang diterima oleh hukumonline, Rabu (6/9), lewat Direktur P2 Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama memberikan klarifikasi atas keluhan berbau kritikan dari Tere Liye. Ditjen Pajak menjelaskan lima poin penting terkait keluhan beban pajak dari Tere Liye.

Pertama, Ditjen Pajak menegaskan bahwa pada prinsipnya semua jenis penghasilan yang diterima dari semua sumber dikenakan pajak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menjunjung tinggi asas-asas perpajakan yang baik, termasuk asas keadilan dan kesederhanaan. (Baca Juga: 4 Aturan Perpajakan Terbaru yang Wajib Anda Ketahui)

Kedua, penghasilan yang menjadi objek pajak adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis, sehingga pajak dikenakan atas penghasilan neto yang ditentukan dari penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

Ketiga, Wajib Pajak yang berprofesi sebagai penulis dengan penghasilan bruto kurang dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun, dapat memilih untuk menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) yang besarnya adalah 50% dari royalti yang diterima dari penerbit sesuai dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 untuk Klasifikasi Lapangan Usaha Nomor 90002 (Pekerja Seni). Ketentuan teknis mengenai penggunaan NPPN diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak tersebut.

Keempat, Ditjen Pajak menghargai dan terbuka terhadap setiap masukan untuk memperbaiki dan meningkatkan sistem perpajakan Indonesia. Masukan dari semua pihak kami tindaklanjuti sesegera mungkin, namun keputusan yang bersifat kebijakan diambil secara hati-hati dan seksama dengan mempertimbangkan semua aspek, termasuk aspek legal dan analisis dampak kebijakan secara lebih luas yang seringkali membutuhkan waktu yang tidak singkat.

Kelima, saat ini Pemerintah sedang melaksanakan program Reformasi Perpajakan untuk memperbaiki sistem perpajakan Indonesia, termasuk reformasi di bidang peraturan dan regulasi perpajakan. Untuk mengetahui lebih lanjut dan memberikan masukan untuk program Reformasi Perpajakan tersebut, kunjungi laman www.pajak.go.id/reformasiperpajakan. Pertanyaan yang bersifat teknis dapat disampaikan langsung kepada Account Representative masing-masing atau menghubungi Kring Pajak di 1500 200. (Baca Juga: Aturan Baru Controlled Foreign Company, Korporasi Dipersulit ‘Pecah-Pecah’ Saham)

Sementara itu, pengamat perpajakan Yustinus Prastowo berpendapat bahwa pada dasarnya pengenaan besaran pajak penghasilan (PPh 21) bagi profesi adalah sama, sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015. Tarif PPh 21 diatur secara progresif dan memiliki beberapa layer.

Berikut tarif PPh 21 yang diatur oleh Ditjen Pajak:
WP dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50 juta adalah 5%
WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 50 juta - Rp 250 juta adalah 15%
WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 250 juta - Rp 500 juta adalah 25%
WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 500 juta adalah 30%
Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif pph 21 sebesar 20% lebih tinggi dari mereka yang memiliki NPWP.

Hanya saja, terdapat perbedaan perlakuan antara profesi seperti dokter, akuntan dan lain sebagainya yang masuk sebagai kategori profesi bebas, dengan profesi penulis meskipun pada dasarnya profesi penulis novel masuk ke dalam kategori profesi bebas. Hal tersebut disebabkan karena mekanisme penghasilan penulis di dapatkan dari royalti, maka pajak profesi penulis masuk ke dalam kategori profesi lepas. Situasi ini pula yang menimbulkan perbedaan interpretasi dari setiap kantor pajak. (Baca Juga: Paket Kebijakan Ekonomi XVI Diluncurkan, Ini Ringkasan Perpresnya)

Dalam perhitungannya, bagi profesi seperti dokter, akuntan, arsitek, dan sejenis, pengenaan pajak bisa dikurangi 50 persen dari total pendapatan. 50 persen pengurangan tersebut, lanjut Yustinus, dianggap sebagai biaya-biaya yang dikeluarkan oleh profesi dalam mendapatkan penghasilan. Sehingga, yang dikenakan pajak hanyalah 50 persen pendapatan dikali dengan tarif PPh 21.

Sedangkan untuk profesi penulis yang mendapatkan penghasilan dari royalti, pajak sebesar 15 persen dikenakan pada tiap pembayaran royalty oleh penerbit ke penulis. Pajak 15 persen tersebut didasarkan pada seluruh pendapatan penulis, tanpa bisa dikurangi layaknya profesi dokter, akuntan, dan sebagainya.

“Tarif sama saja, nah cuma kalau pekerjaan bebas itu dihitung seluruh penghasilan dikali 50 persen, nah 50 persen itu dianggap sebagai biaya-biaya. Kalau penulis yang masuk dalam kategori profesi lepas, pendapatan itu disebut sebagai passif income, dan itu sudah dipotong 15 persen waktu dibayar dalam bentuk royalti. Besaran pajak royalty itu 15 persen. Karena sudah dikenakan pajak 15 persen, maka di akhir tahun profesi penulis tidak bisa menggunakan perhitungan dengan penguragan 50 persen tersebut,” kata Yustinus kepada hukumonline, Kamis (7/9).

Dalam hal ini, penghasilan profesi penulis sudah dikenakan pajak 15 persen dari total royalti yang dibayarkan oleh penerbit, meskipun pendapatan penulis seharusnya masuk ke dalam kategori 5 persen. Pada akhir tahun, lanjut Yustinus, WP berhak menghitung ulang total pendapatan selama setahun. Jika ternyata total pendapatan tidak sesuai dengan besaran pajak yang dikenakan (15 persen), sedangkan pendapatan tahunan dibawah Rp50 juta maka akan ada kelebihan bayar. Hal ini yang menjadi persoalan bagi profesi penulis.

Atas dasar hal itu pula, Yustinus menilai sudah sepantasnya pemerintah memberikan insentif kepada profesi penulis. Caranya adalah dengan menurunkan pajak royalti dari angka 15 persen ke 5 persen. Selain itu, pemerintah juga perlu menegaskan posisi penulis dari sisi perpajakan guna memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

“Interprestasi itu beda, padahal regulasi mengakui pekerjaan penulis novel itu sebagai pekerjaan bebas. Tapi di beberapa kantor pajak itu tidak bisa menggunakan perhitungan dengan pengurangan 50 persen, ini dilapangan disikapi berbeda. Sehingga perlu kejelasan dan pengaturan yang lebih baik, agar ada kepastian hukum dan keadilan. Saya rasa pemerintah patut memberikan insentif kepada penulis dengan menurunkan pajak royalti menjadi 5 persen. Karena apa? Ada yang mau nulis saja sudah bersyukur. Perlakuan yang sama itu penting, apalagi bagi penulis yang udah bagian royalti kecil tapi pajaknya besar,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait