Pengawasan Melekat Aparatur Peradilan Harus Diperkuat
Berita

Pengawasan Melekat Aparatur Peradilan Harus Diperkuat

Tetapi, MA tak bisa sendiri untuk mengatasi persoalan judicial corruption, tetapi membutuhkan bantuan lembaga eksternal, seperti KPK.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES
Wajah lembaga peradilan kembali tercoreng pasca tertangkapnya hakim dan panitera Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Bengkulu, Rabu dan Kamis (6-7/9) kemarin. Ironisnya, oknum hakim dan panitera tipikor yang mestinya menegakkan hukum dan keadilan terhadap penanganan perkara-perkara korupsi, justru malah menjadi bagian dari tipikor itu sendiri.

Anggota Komisi III DPR Muhammad Nasir Djamil menilai Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi mesti melakukan evaluasi terhadap model pengawasan dan pembinaan terhadap hakim dan panitera yang sudah berjalan. “Komisi III  meminta kepada MA mengevaluasi model pengawasan dan pembinaan yang dilakukan selama ini.Sepertinya,  para hakim dan panitera kurang mendapat pengawasan dan pembinaan yang maksimal,” ujarnya di Jakarta, Jumat (8/9/2017).

Peristiwa beruntun terkait operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap hakim maupun panitera menunjukan betapa pentingnya ukuran integritas dalam di dunia peradilan. Menurut Nasir, peradilan yang agung mesti menjaga integritas para hakim dan paniteranya sebagai pengadil dan pelayan masyarakat.

“Kalau tidak segera disikapi serius, saya khawatir upaya pembenahan institusi peradilan bagaikan ‘arang habis besi binasa’,” ujar politisi Partai Keadilan Sejahtera itu. Baca Juga: Hakim-Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor Bengkulu Tersangka Penerima Suap

Sebagaimana diketahui, KPK melakukan penangkapan terhadap Dewi Suryana (DSU) selaku hakim anggota di Pengadilan Tipikor Bengkulu dan Hendra Kurniawan (HKU) sebagai Panitera Pengganti (PP) Pengadilan Tipikor Bengkulu terkait penanganan kasus tipikor. Keduanya diduga penerima suap. Sedangkan Syuhadatul Islamy (SI) diduga sebagai pemberi suap, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang juga keluarga terdakwa Wilson.

Terpisah, peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah berpendapat pengawasan yang dilakukan MA melalui Badan Pengawas (Bawas) acapkali menjadi sorotan banyak pihak. Selama ini, kata dia, model pengawasan yang dilakukan MA terhadap satuan kerja (Satker), termasuk hakim, panitera dan pegawai pengadilan dilakukan Bawas melalui pengawasan fungsional.

Dia mengungkapkan Bawas sebagai pusat pengawasan internal bagi aparatur pengadilan termasuk hakim memiliki keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran. Belum lagi, Bawas memiliki beban berat yang mesti mengawasi hampir 900 Satker di seluruh Indonesia. “Tentu ini bukan pekerjaan mudah. Ini memang sudah menjadi catatan dan MA pun sudah mengetahuinya,” ujarnya. Baca Juga: Hakim Tipikor Bengkulu Kembali Ditangkap KPK, KY Minta MA Bersih-Bersih

Selain pengawasan fungsional, lanjut Liza, terdapat pula pengawasan melekat. Menurut Liza, pengawasan melekat inilah yang dinilai tidak berjalan maksimal. Padahal, pengawasan melekat idealnya wajib dilakukan setiap atasan baik terhadap hakim atau aparat pengadilan di tempatnya bertugas terhadap anak buahnya secara rutin dan berkala. Dengan begitu, adanya tindakan preventif dan represif oleh pihak atasan yang bersangkutan (di internal lembaga).  

“Menurut saya, pengawasan melekat yang harus diperkuat di setiap satuan kerja (termasuk pengadilan, red),” katanya menyarankan.   

Terkait pengawasan melekat, MA sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya. Perma tersebut mestinya menjadi landasan masing-masing pimpinan di pengadilan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap bawahannya dengan pengawasan melekat.

MA tidak bisa sendiri
Menurut Liza, penonaktifan Ketua PN Bengkulu Kaswanto lantaran terjadinya kasus ini wujud implementasi Perma No. 8 Tahun 2016 karena pimpinan pengadilan tidak melakukan pengawasan melekat sebagaimana mestinya. “Karena dianggap tidak melakukan pengawasan melekat dengan baik. Misalnya, ada orang yang ‘aneh-aneh’, rekan sejawat dan atasannya diam-diam saja. Eh giliran ada OTT, kebakaran jenggot. Seharusnya sejak awal bisa dilakukan tindakan-tindakan preventif,” katanya.              

Meski begitu, LeIP mengapresiasi sikap Bawas MA yang sudah bekeja sama dengan institusi lainnya. Berdasarkan catatan LeIP, sejak peristiwa operasi tangkap tangan terhadap oknum panitera PN Jakarta Selatan beberapa waktu lalu dan kasus Pengadilan Tipikor Bengkulu, MA berkoordinasi dengan KPK dengan melakukan konferensi pers bersama terkait penetapan tersangka.

“Bahkan, dalam kasus operasi tangkap tangan hakim tipikor PN Bengkulu, informasi berasal dari MA,” kata Liza.

Baginya, koordinasi antar lembaga menjadi sangat penting dalam upaya pemberantasan korupsi di lembaga peradilan. Karena itu, kerja sama dan koordinasi antara MA dan KPK terus ditingkatkan. “Intinya, MA tidak bisa kerja sendiri, perlu bantuan lembaga eksternal untuk mengatasi judicial corruption,” katanya. Baca Juga: Hatta Ali: Pengawasan Harus! Jangan Kasih Kendur
Tags:

Berita Terkait