Densus Tipikor Tetap Memisahkan Penyidikan dan Penuntutan
Berita

Densus Tipikor Tetap Memisahkan Penyidikan dan Penuntutan

Kejaksaan meminta agar kewenangan prosedur hukum disamakan seperti halnya kewenangan KPK.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Jaksa Agung HM Prasetyo. Foto: RES
Jaksa Agung HM Prasetyo. Foto: RES
Wacana pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terus bergulir. Setelah Polri menyambut positif wacana pembentukkan Densus Tipikor, Kejaksaan Agung pun sama. Pasalnya, dengan terealisasinya wacana tersebut nantinya diharapkan dapat meningkatkan kinerja Polri dalam pemberantasan korupsi. Sehingga, pemberantasan korupsi tidak semata-mata menjadi tanggung jawab KPK sebagai trigger mechanism.

Jaksa Agung HM Prasetyo menuturkan Kejaksaan sejak beberapa tahun lalu telah membentuk satuan tugas khusus (Satgasus) Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (P3TPK). Mesti tidak ditambah personil dan dana operasional, Satgasus tetap berjalan. Apabila Densus Tipikor nantinya terbentuk dapat berjalan di Polri dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Namun, hasil penyelidikan dan penyidikan nantinya disampaikan ke pihak Kejaksaan sesuai hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP). Sebab, merujuk hukum acara pidana, hasil penyidikan Kepolisian diserahkan ke Kejaksaan untuk dilakukan penelitian dan memberi petunjuk untuk melengkapi berkas hasil penyidikan perkara korupsi.

“Tetapi, tidak perlu khawatir (berkas penyidikan) bolak-balik,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III di Gedung DPR, Senin (11/9/2017).

Prasetyo mengingatkan putusan MK No.25/PUU-XIV/2016 tidak lagi menjadi delik formil, tetapi sudah menjadi delik materil. Artinya, delik tipikor harus konkrit mensyaratkan adanya kerugian negara akibat perbuatan korupsi dari si pelaku.

Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo meminta wacana Densus Tipikor mesti ada pemisahan fungsi penyidikan dan penuntutan. Berbeda dengan KPK yang menyatukan fungsi penyidikan dan penuntutan dalam satu atap. “Densus Tipikor, kamar penyidikan dan penuntutan terpisah sesuai KUHAP. Tetapi, harus diatur (spesifik) agar mekanismenya tidak main-main,” ujar Bambang. Baca Juga: Minim Supervisi KPK, Penanganan Kasus Korupsi Tidak Saling Menguatkan  

Anggota Komisi III Agun Gunandjar Sudarsa berpendapat membentuk Densus Tipikor di Polri memiliki filosofi pemisahan penyidikan dan penuntutan yang mengembalikan posisi aturan hukum acara pidana (KUHAP) dan aturan turunannya yakni Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

“Kewenangan aparatur penegak hukum yang menangani perkara pidana harus dipisahkan (penyidikan dan penuntutan). Semua diatur dalam PP No. 27 Tahun 83,” ujarnya.

Anggota Komisi III lain, Sarifudin Sudding berharap penegakkan hukum dalam perkara korupsi antara lembaga Kepolisian, Kejaksaan, KPK mesti saling mendukung, bukan saling menjatuhkan. Hanya saja, persoalannnya pemisahan penyidikan dan penuntutan oleh Kepolisian dan Kejaksaan kerap terjadi bolak baliknya berkas perkara yang merugikan pencari keadilan seolah tidak ada kepastian hukum.  

Untuk itu, ia mempertanyakan supervisi yang dilakukan Kejaksaan terhadap penyidik Kepolisian ketika proses prapenuntutan. “Apakah Kejaksaan juga selama ini telah melakukan supervisi (dengan baik) atas hasil penyidikan Kepolisian. Jadi, Kejaksaan tidak semata-mata melakukan penuntutan,” ujarnya.

Kewenangan disamakan
Menanggapi persoalan ini, Prasetyo mengklaim Kejaksaan telah menjalankan fungsi supervisi terhadap setiap perkara yang ditangani penyidik Kepolisian. Yakni, setiap berkas perkara hasil penyidikan dilimpahkan ke Kejaksaan, kemudian jaksa peneliti memberikan petunjuk atau masukan agar penyidik melengkapi berkas perkara sesuai petunjuknya atau biasa dikenal jaksa P-16.

“Kalau supervisi, kita lakukan case by case. Kalau melalui Densus Tipikor untuk proses penuntutan harus melalui tahap prapenuntutan untuk menghindari tidak lagi terjadi bolak baik perkara. Bolak balik perkara itu asal tidak dibuat-buat, sehingga benar-benar untuk melengkapi kelengkapan formil dan materil,” katanya.

Dalam kesempatan ini, Prasetyo menyinggung memorandum of understanding atau nota kesepahaman antara Kejaksaan dan KPK, Polri. Dia merasa nota kesepahaman ini memiliki kelebihan dan kelemahan satu sama lain. KPK memiliki kelebihan kewenangan penyadapan dan tidak terikat dengan perizinan terkait prosedur penangkapan, penahanan, penyadapan, penggeledahan, penyitaan, dan lain-lain. Berbeda dengan Kepolisian dan Kejaksaan beberapa prosedur hukum itu mesti melalui proses perizinan.

“Kepolisian dan Kejaksaan terikat dengan perizinan. KPK punya alat sadap dan bisa menyadap dan menangkap tanpa izin terlebih dahulu,” lanjutnya.

Karena itu, mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) itu meminta agar kewenangan prosedur hukum disamakan seperti halnya kewenangan KPK. Diantaranya, penyadapan dan penyitaan tanpa izin ketua pengadilan negeria setempat. Apalagi, Kejaksaan memiliki anggota jauh lebih banyak ketimbang KPK termasuk pengalaman panjang jauh dibanding KPK.

“Saya kira (baiknya) kami diberi kewenangan yang sama dengan kelebihan lain (kewenangan KPK), kita tidak akan kalah,” katanya. 
Tags:

Berita Terkait