Dicecar Soal Mekanisme Dumas, Raker Komisi III dengan KPK Sempat ‘Memanas’
Berita

Dicecar Soal Mekanisme Dumas, Raker Komisi III dengan KPK Sempat ‘Memanas’

KPK mestinya membuat bagan alur mekanisme kerja di Direktorat Pengaduan Masyarakat.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Pimpinan KPK saat rapat dengan pendapat dengan Komisi III DPR di Gedung Parlemen Jakarta, Selasa (11/9). Foto: RES
Pimpinan KPK saat rapat dengan pendapat dengan Komisi III DPR di Gedung Parlemen Jakarta, Selasa (11/9). Foto: RES
”Dengar saya Pak, diam kalau saya ngomong,”. Suara dengan nada tinggi itu meluncur dari bibir Benny K Harman yang menjadi pimpinan rapat kerja antara Komisi III dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kegeraman Benny disebabkan penjelasan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang terkait mekanisme kerja di Direktorat Pengaduan Masyarakat (Dumas) yang tidak langsung pada persoalan.

Saut memberi penjelasan dengan nada orang Sumatera memang lantang. Menurut Saut, pengaduan masyarakat yang diterima di Direktorat Dumas ditindaklanjuti dengan dilakukan penelitian, validasi, dan mengkroscek laporan. Satgas yang berada di Dumas pun  kemudian memeriksa pula kelengkapan alat bukti bila laporan pengaduan masyarakat ditemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi. Setelah itu, dilakukannya penyelidikan.

Jawaban Saut nampaknya belum memuaskan Benny. Saut pun tak kalah berang. “Saya sudah jelaskan tadi,” ujarnya. Benny dan Saut saling potong ketika satu sama lain berbicara. “Ini di Dumas, belum penyelidikan,” katanya. “Jangan emosi, saya tanya sebab saya tidak tahu. Dengar dulu, jangan dipotong dulu,” sergah Benny.

“Jangan merasa kami (KPK, red) diserang. Pertanyaanya sederhana. SOP-nya seperti apa. Kan gitu,” kata politisi Partai Demokrat itu. Baca Juga: Komisi III Pertanyakan Prosedur Pengelolaan Barang Sitaan KPK

Anggota Komisi III Wenny Warrow ikut terbawa suasana rapat yang memanas. Purnawirawan jenderal polisi bintang satu itu mengatakan, tata kerja Dumas mestinya melakukan pemilahan laporan masyarakat untuk mengetahui ada tidaknya indikasi tindak pidana korupsi. Setelah itu, ditingkatkan ke penyelidikan setelah dilaporkan ke atasan. “Jadi penyidik yang akan melanjutkan, ngerti ya,” katanya.

Sementara Anggota III lain Erma Suryani Ranik mengingatkan agar mitra kerja dalam melakukan rapat dengan Komisi III berkewajiban santun dan menghormati pimpinan rapat. Misalnya, ketika pimpinan rapat belum mempersilakan berbicara, maka berikan kesempatan pimpinan mempersilakan lainnya terlebih dahulu. 

“Jangan sampai pimpinan rapat ini kemudian tidak dihargai, demi ketertiban kita semua. Ini seperti lalu lintas, masing-masing mau ngomong tanpa menghargai pimpinan rapat,” ujarnya.

Menurutnya, penjelasan pimpinan KPK lebih mudah dipahami ketika menyiapkan semacam bagan yang jelas terkait prosedur bagaimana alur pelaporan aduan masyarakat di KPK. Kemudian, mana saja yang dapat dinilai masuk indikasi tindak pidana korupsi, mana yang tidak. Setidaknya dengan adanya standar operasional prosedur, tidak lagi ada kecurigaan perihal laporan lengkap dengan bukti, namun tidak ditindaklanjuti KPK.

“Jangan sampai pimpinan rapat ini kemudian tidak dihargai, demi ketertiban kita semua. Ini seperti lalu lintas, masing-masing mau ngomong tanpa menghargai pimpinan rapat,” ujarnya.

Menengahi perdebatan sengit, Ketua KPK Agus Rahardjo pun meminta agar Direktur Dumas KPK memberikan penjelasan. Penjelasan Direktur Dumas Eko Marjono sedikit membuat anggota dewan puas. Menurut Eko, setelah menerima pengaduan masyarakat, maka dilakukan pemilahan untuk mengetahui ada atau tidaknya indikasi Tipikor. Sebab, bila tidak masuk Tipikor tidak dilanjutkan prosesnya.

Apabila masuk indikasi Tipikor, langkah selanjutnya telah dilengkapi bukti permulaan atau sebaliknya (tanpa bukti). Kemudian, apakah laporan tersebut sudah ditangani aparat penegak hukum institusi lain. Bila belum ditangani penegak hukum lain, maka apakah kewenangan KPK menangani laporan tersebut sesuai Pasal 11 UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK.
Pasal 11 UU KPK
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Bila telah memenuhi Pasal 11, maka dilakukan pengumpulan bahan keterangan dari pihak pelapor dan terlapor. “Kami tidak percaya begitu saja, tapi perlu kroscek ke pelapor. Lalu kami dapat paparan internal dan melibatkan Dumas dan melibatkan penyidik,” katanya.

Ditambahkan Eko, terhadap kasus strategis dipaparkan di tingkat pimpinan KPK. Nantinya, pimpinan KPK yang memutuskan naik atau tidaknya kasus ini ke tingkat penyidikan atau tambahan pengumpulan bahan dan keterangan. Pemilihan kasus, kata Eko, disesuaikan dengan bukti permulaan serta disesuaikan pula dengan arah kebijakan penanganan perkara di KPK. Misalnya, periode 2017 ini KPK fokus pada penanganan perkara korupsi di sektor sumber daya alam, perpajakan, penyelenggara negara, dan penegak hukum. 
Tags:

Berita Terkait