Masyarakat dan Sengketa Usahanya
Kolom

Masyarakat dan Sengketa Usahanya

Seandainya MA segera melengkapi mekanisme gugatan sederhana dengan berbagai inisiatif pendamping, lembaga peradilan akan berkontribusi konkrit bagi perputaran roda ekonomi bangsa.

Bacaan 2 Menit
Binziad Kadafi. Foto: Istimewa
Binziad Kadafi. Foto: Istimewa
Sebut saja namanya Mawar, karyawati swasta dan ibu 3 anak yang berdomisili di sebuah kota besar. Untuk menambah penghasilan, Mawar berpatungan usaha katering yang dikelola Melati. Tidak sedikit modal yang ia sertakan untuk itu. Ketika pelanggan mulai banyak, Mawar diminta menambah dana untuk ekspansi usaha.

Awalnya Mawar yakin usaha patungannya berprospek cerah. Namun lambat laun keyakinan tersebut meredup. Komunikasinya dengan Melati terkendala. Laporan keuangan jarang disampaikan, hingga bisnis mereka terhenti sama sekali.

Lama Mawar berjuang sendirian membalikkan keadaan, berharap Melati berubah dan usaha mereka pulih. Lantaran masalah berlanjut, dia mencari bantuan pihak ketiga. Kawan dan keluarga diminta menengahi. Saat langkah ini tidak berujung, Mawar mulai putus asa.

Ke pengadilan? Asetnya tidak seberapa jika harus menggugat perdata yang konon butuh waktu lama, biaya besar, dan proses berbelit. Mawar dirugikan Rp. 80 juta akibat tindakan Melati. Jika untuk itu dia harus bayar biaya perkara, sewa pengacara, dan bolak-balik sidang, tidak impas apa yang dikeluarkan dengan yang akan didapat.

Mempidanakan? Sebenarnya kuat dorongan ke sana. Melati sudah menyusahkan, sehingga pantas dibuat susah. Pasal penipuan atau penggelapan bisa dipakai lapor polisi. Namun ada rasa iba saat membayangkan Melati, yang bagaimanapun kawan lama, harus masuk penjara. Lagipula Mawar mungkin tidak akan dapat apa-apa selain beri ‘pelajaran’ buat Melati.

Menggunakan jasa penagih hutang? Mawar kuatir langkah ini memperumit masalahnya. Jika si penagih hutang menempuh cara melawan hukum, bukankah dia harus ikut bertanggung jawab?

Mekanisme gugatan sederhana
Berbulan-bulan memendam masalah, Mawar akhirnya menemukan titik terang. Dia dengar Mahkamah Agung (MA) membentuk mekanisme gugatan sederhana pada akhir 2015 lewat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Gugatan Sederhana. Menurut tayangan videografis di media sosial yang didapat, mekanisme itu jauh lebih singkat dan mudah dari gugatan biasa.

Jika putusan final pada gugatan biasa baru didapat setelah 450 hari lewat 3 (tiga) tingkat peradilan hingga ke MA, gugatan sederhana diselesaikan hanya melalui 2 (dua) tingkat pada Pengadilan Negeri (PN). Pertama lewat hakim tunggal, dan jika ada keberatan, lewat majelis hakim di PN yang sama. Putusan final sudah bisa didapat dalam 58 hingga 60 hari kerja.

Kebetulan kasus Mawar yang pembuktiannya sederhana memenuhi syarat. Tuntutannya kurang dari Rp. 200 juta, batas maksimal gugatan sederhana. Tuntutan Mawar pun material, bukan imaterial seperti harga diri yang sulit dinilai uang. Sengketanya juga bukan soal pertanahan, perburuhan, atau sengketa lain yang jadi kewenangan pengadilan khusus yang sudah ada. Mawar dan Melati pun berdomisili di kota yang sama, sehingga memudahkan panggilan sidang.

Untuk mengajukan gugatan, penggugat hanya perlu menjelaskan persoalannya, hakim lah yang akan menentukan pasal hukum yang sesuai, guna dibuktikan dalam rangkaian sidang yang tidak terlalu formal. Surat gugatan disusun hanya dengan mengisi formulir, dibantu petugas. Dengan itu semua tidak harus ada pengacara, yang akan sangat meringankan biaya.

Kendala di lapangan
Sayangnya, sebagian fitur tersebut belum benar-benar ditemui Mawar. Misalnya, biaya perkara masih cukup besar, setara biaya gugatan biasa. Mawar pun tetap diminta membuat surat gugatan, yang meski sederhana namun sulit dipenuhi tanpa bantuan kerabat berlatar hukum.

Jadwal sidang juga tidak terlalu jelas. Jika Mawar tidak berinisiatif mengejar panitera, mungkin sidang sulit terselenggara. Hampir di setiap hari sidang, Mawar harus berjam-jam menunggu sambil menerka kapan sidangnya bakal digelar.

Mawar memenangi perkara setelah habiskan total 43 hari dan datang ke pengadilan sebanyak 8 (delapan) kali, termasuk di dalamnya untuk upaya mediasi. Itu lebih lama dari waktu penyelesaian perkara oleh hakim tunggal yang dicanangkan MA, yaitu 25 hari.

Namun yang paling membuat Mawar gusar adalah manfaat putusan yang tidak sebesar bayangannya semula. Putusan tersebut tidak kunjung menggerakkan Melati memenuhi kewajibannya. Pengadilan menganjurkan Mawar memohon eksekusi seperti pada perkara biasa. Artinya ada tambahan biaya, waktu, dan tenaga lagi.

Tantangan ke depan
Kisah Mawar dan Melati, meski menggunakan nama samaran, adalah kisah nyata. Persepsi Mawar terhadap gugatan sederhana juga nyata adanya. Berlarutnya waktu penyelesaian perkara pernah dikonfirmasi data MA pada Agustus 2016. Sebanyak 67% gugatan sederhana diputus PN seluruh Indonesia kurang dari 25 hari, namun 33% masih diselesaikan lebih lama.

Adapun masalah di jadwal sidang, layanan pengadilan, hingga eksekusi putusan, merupakan sinyal perlunya agenda-agenda tambahan. Mekanisme gugatan sederhana dibentuk sebagai langkah strategis untuk merevitalisasi peradilan perdata di Indonesia. Dengan itu diharapkan masyarakat tidak lagi memasrahkan sengketa perdatanya, membawanya ke ranah pidana, atau malah main hakim sendiri.

Namun untuk mencapai tujuan, diperlukan berbagai prasyarat lain utamanya menjamin integritas dan memperbaiki layanan publik pengadilan dalam arti sebenarnya, serta mengefektifkan eksekusi putusan perdata. Isi Perma pun perlu dievaluasi agar lebih sempurna.

Apalagi gugatan sederhana makin dikenal dan mulai diterima masyarakat. Berdasarkan Laporan Tahunan MA, sepanjang 2016 terdapat 754 gugatan sederhana yang masuk ke berbagai PN di seluruh Indonesia.

Memang jumlah itu besar jika dibandingkan 21 gugatan sederhana pada 2015. Namun dibanding 30,741 gugatan perdata biasa pada 2016, jumlah tersebut kecil. Makin kecil jika dirasiokan dengan sekitar 57,8 juta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah di Indonesia yang paling berpotensi menemui sengketa perdata. Padahal mekanisme gugatan sederhana didesain untuk membuka lebar pintu PN bagi sengketa perdata ringan di masyarakat, sambil mempersempit celah supaya perkara ringan tersebut tidak perlu sampai ke MA.

Seandainya MA segera melengkapi mekanisme gugatan sederhana dengan berbagai inisiatif pendamping, lembaga peradilan akan berkontribusi konkrit bagi perputaran roda ekonomi bangsa. Jutaan orang seperti Mawar bisa bernafas lebih lega dan tidak takut lagi memulai usaha. Sebab jika menemui sengketa, ada mekanisme di pengadilan yang terjangkau (dan semoga terpercaya) untuk memulihkan hak-haknya.

*)Binziad Kadafi adalah konsultan hukum, pengajar pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera & saat ini tengah menempuh program PhD di Tilburg Law School Belanda.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags: