Uji Tuntas Rasa Global dan Nasional
Advokat Go International:

Uji Tuntas Rasa Global dan Nasional

Pemerintah berharap pengacara Indonesia yang diminta bantuan melakukan uji tuntas perusahaan memperhatikan standar HAM.

Oleh:
CR-24
Bacaan 2 Menit
Seratusan advokat Indonesia di suatu seminar internasional yang membahas penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional, di Makassar tahun 2016 lalu. Foto: MYS
Seratusan advokat Indonesia di suatu seminar internasional yang membahas penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional, di Makassar tahun 2016 lalu. Foto: MYS
Era globalisasi telah ikut menggeser peta persaingan layanan atau jasa hukum. Kantor hukum yang ingin maju tak lagi berkutat pada lingkup nasional, melainkan sudah melirik pasar global. Karena itu pula, para pengacara perusahaan, baik in house counsel maupun corporate lawyer sudah bisa membaca peluang yang bisa diambil di pasar lintas negara. Bersamaan dengan itu, para pengacara juga dituntut mengikuti perkembangan kaidah-kaidah hukum dan etika bisnis yang digagas di dunia internasional.

Salah satu yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir di dunia internasional adalah isu bisnis dan hak asasi manusia (HAM). Pada tahun 2011, Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah menerbitkan prinsip-prinsip panduan bisnis dan hak asasi, lazim disingkat UNGPs. Prinsip-prinsip ini berbasis pada tiga pilar yaitu pemerintah, korporasi, dan akses masyarakat terdampak terhadap pemulihan. Namun, disimak dari substansinya, para penyusun UNGPs juga melihat peran pengacara perusahaan dalam mengimplementasikan UNGPs itu di lapangan.

(Baca juga: Tiga Pilar dalam Rekomendasi Laporan Profesor John Ruggie).

Peran penting para pengacara perusahaan itu pula yang dilihat International Bar Association (IBA), asosiasi pengacara sejagat. Organisasi yang beranggotakan organisasi advokat, dosen, komunitas hukum, dan pratisi hukum individual ini lantas menerbitkan panduan bagi business lawyer yang diminta membantu perusahaan menjalankan uji tuntas sesuai amanat UNGPs. Sebagai ‘the global voice of the legal profession’ memandang perlu menerbitkan Practical Guide on Business and Human Rights for Business Lawyers (IBA Practical Guide).

Meskipun tak berhubungan secara langsung dengan IBA, Pemerintah Indonesia juga menaruh harap agar para pengacara yang memberikan jasa uji tuntas (due diligence) perusahaan memperhatikan perkembangan global itu. Direktur Kerjasama Ditjen HAM Kementerian Hukum dan HAM, Arry Ardanta Sigit berharap perusahaan yang tengah melakukan uji tuntas –dibantu pengacara—bisa memperhatikan aspek hak asasi, internal maupun eksternal sesuai dengan prinsip-prinsip nasional dan internasional. “Itu bisa membantu Pemerintah untuk mengurangi konflik di masa mendatang”, ujarnya kepada hukumonline.

(Baca juga: Legal Counsel Bank Wajib Uji Tuntas 6 Dokumen Ini Sebelum Kucurkan Kredit).

Pemerintah, kata Arry, juga sedang menyusun indikator yang bisa dipakai ketika mengimplementasikan prinsip-prinsip bisnis dan HAM sesuai kerangka hukum internasional. Pemerintah sedang mempertimbangkan apakah indikator yang disusun akan diberlakukan untuk semua sektor bisnis, atau dibuat cirri khas tertentu.

Kepala Seksi Rencana Aksi Hak Asasi Manusia pada Ditjen HAM, M. Dimas Saudian, membandingkan tiga indikator yang dipakai di sektor tambang. Indikator ini sudah diuji publik pada Juli lalu dengan melibatkan para pemangku kepentingan. Pertama, dengan memberikan sejumlah pertanyaan terkait uji tuntas. Harapannya akan terlihat sejauh mana perkembangan perusahaan dalam melakukan uji tuntas bisnis dan HAM. Kedua, melihat kebijakan internal perusahaan apakah sudah mengakomodasi nilai-nilai HAM atau belum. Ketiga, melihat dampak eksternal yang timbul dari perusahaan baik terhadap lingkungan maupun masyarakat luas.

Menurut Dimas, indikator itu sebenernya campuran aturan yang sudah ada. Misalnya aturan tentang tenaga kerja, akan dicek dalam indikator ketenagakerjaan seperti komponen gaji, hak cuti karyawan, dan hak berserikat.

Namun perlu dicatat, Pemerintah tampaknya akan membuat indikator-indikator sebagai ‘panduan’ bagi pihak-pihak yang membantu perusahaan melakukan uji tuntas. Ditjen HAM juga belum merujuk sama sekali pada IBA Practical Guide. Apalagi Pemerintah tak mungkin sampai mengintervensi apa yang dilakukan para pengacara saat uji tuntas. Dimas tak terlalu yakin panduan IBA sejalan dengan kondisi di Indonesia. Sebaliknya, ia yakin bakal ada indikator yang bersifat umum untuk semua jenis usaha di Indonesia. “Saya tetap yakin ketika dilihat dari sudut pandang Indonesia, ada indikator yang general untuk semua usaha di Indonesia,” terangnya.

Uji tuntas
Managing Partner AKSET Law Mohamad Kadri menjelaskan, uji tuntas adalah proses pemeriksaan perusahaan yang terdiri dari berbagai aspek seperti hukum, keuangan hingga forensik untuk mengambil suatu keputusan biasanya untuk investasi yang akan diambil oleh suatu pihak atau perusahaan seperti akuisisi, penyatuan dua perusahaan, maupun melepas saham perdana kepada publik atau IPO.

(Baca juga: AKSET Rambah Negeri Sakura).

“Kalau untuk hukum itu mulai dari dokumen perusahaan, perijinan, kontrak-kontrak penting, environment, ketenagakerjaan, dari masalah litigasi, gugatan pengadilan sehingga akhirnya keputusan investasi kepada perusahaan tersebut tidak salah,” kata Kadri kepada hukumonline.

“Artinya kalau kita mau mengakuisisi nilainya setuju, hasil due diligence keuangan Rp100 juta, maka kita harus beli Rp100 juta, jangan ternyata dia banyak penyakit, kelemahan dari segi hukum. Misalnya ijin udah mau dicabut, atau tiba-tiba dia punya gugatan yang nilainya lebih dari Rp100 juta tersebut,” sambungnya. Kadri menambahkan, uji tuntas juga bukan hanya berkaitan dengan investasi. Tetapi ada juga yang dilakukan karena rutinitas perusahaan itu sendiri tiap tahunnya.

Kadir mengatakan setuju jika uji tuntas memperhatikan aspek hak asasi manusia. Untuk mengambil suatu keputusan apalagi berkaitan dengan investasi harus memperhatikan berbagai macam hal, termasuk ketentuan hukum yang berlaku. Keputusan yang diambil, terang Kadri, tidak boleh melanggar kepentingan masyarakat sehingga mempunyai resiko nantinya baik itu adanya gugatan ataupun pencabutan izin perusahaan.

Ada dua resiko menurut Kadri yang akan berdampak buruk bagi perusahaan jika mengesampingkan aspek HAM. Pertama, reputasi perusahaan bisa menurun, terutama pada masyarakat sekitar. Bahkan mungkin reputasi perusahaan di negara tujuan ekspor untuk korporasi multinasional. Kedua, kedua resiko yang berkaitan langsung dengan hukum. “Tapi saya belum pernah mendapatkan instruksi harus juga memperhatikan ini, asas HAM,” pungkasnya.

Kadri berpendapat uji tuntas dengan memperhatikan unsur HAM justru menguntungkan perusahaan  karena  semakin kecil kemungkinan muncul adanya gugatan dari masyarakat. Ia mencontohkan pembebasan tanah. Bisa saja perusahaan telah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku secara formal, tetapi tetap bersinggungan dengan kepentingan masyarakat. Jika terjadi konflik dengan masyarakat, reputasi perusahaan bisa memburuk.

“Kalau secara hukum mungkin kita benar, tapi ini satu hal berpotensi merusak reputasi. Atau juga interpretasi terhadap suatu peraturan yang menurut kita bener tapi masyarakat atau LSM menilai (berbeda). Ini kan harus diperhatikan kira-kira potensinya riil nggak nih, resikonya (seperti apa),” tutur Kadri.

Kadri menyarankan kepada para pelaku usaha ataupun advokat yang ingin melakukan uji tuntas untuk menimalisir resiko yang ditimbulkan. Pertama mengecek adanya sistem kepatuhan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku baik di Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Contohnya terkait pembuangan limbah, pembebasan tanah ataupun kegiatan perusahaan lain yang memang berdampak langsung pada kepentingan masyarakat.

(Baca juga: Legal Due Diligence ‘Tanpa Celah’ Kunci Hindari Kasus dalam Pengadaan Tanah).

Dalam transaksi tertentu bisa saja, misalnya, ada public company di Amerika yang sensitif kalau ada isu masyarakat atau lingkungan, mereka listing di luar tidak mau tiba-tiba perusahaan Amerika itu mengakuisisi perusahaan di Indonesia. Ujungnya, bisa saja perusahaan di Indonesia bermasalah, melakukan korupsi, penyuapan, termasuk juga berkaitan dengan pencemaran lingkungan, pelanggaran HAM. “Nah bisa saja mereka menunjuk lawyer untuk memastikan tidak terjadi demikian,” jelas Kadri.

Fungsi konsultan hukum, kata Kadri, adalah menyampaikan apapun hasil temuan, memberikan analisis dan memberi masukan. Kemudian hasilnya akan dilihat apakah ada praktik bisnis yang bertentangan dengan hukum atau berpotensi mengakibatkan perubahan materi yang merugikan atau material adverse effects (MAE) sehingga bisa menghambat kinerja perusahaan.

“Yang repot itu adalah kita merasa analisis hukumnya tidak dilanggar, tapi punya dampak krusial bercampur politik segala macam. Kita bisa mengukur resikolah. Jadi kita punya kewajiban mengukur resiko dan berkonsultasi memberikan apapun informasinya. Tapi jawabannya ini (bukan) stop, atau tidak stop. Ini bisa saja suatu kompromi tertentu. Pada dasarnya lawyer mengingatkan dan yang mengambil commercial decision atau final decision itu adalah perusahaan, klien,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait