Hukumnya Rumah Sakit Menolak Pasien Gawat Darurat
Berita

Hukumnya Rumah Sakit Menolak Pasien Gawat Darurat

Intinya, rumah sakit tidak boleh menolak pasien. Dalam hal pemberian pelayanan gawat darurat, fasilitas kesehatan baik yang bekerja sama maupun yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dilarang menarik biaya pelayanan kesehatan kepada peserta.

Oleh:
Fathan Qorib/ANT
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS
Kematian bayi Tiara Debora, beberapa waktu lalu menghebohkan masyarakat Indonesia. Bayi berusia empat bulan itu meninggal di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat, lantaran diduga tidak mendapatkan penanganan medis di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) karena kekurangan uang muka. Ditambah, rumah sakit tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Padahal sang bayi harus segera mendapatkan perawatan intensif akibat penyakit yang dideritanya.

Terkait hal ini, Majelis Advokat Indonesia berencana akan melaporkan Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres ke Polda Metro Jaya. “Kejadian ini bukan sekali, perilaku praktisi kesehatan harus diselesaikan, jangan sampai orientasi ke arah keuntungan semata,” ujar Ketua Umum Majelis Advokat Indonesia, Ryo Rama Baskara, sebagaimana dikutip dari Antara, Kamis (14/9).

Pihak RS Mitra Keluarga Kalideres telah memberikan pernyataan resminya tertanggal 11 Spetember 2017. Dikutip dari laman mitrakeluarga.com, RS Mitra keluarga Kalideres menyatakan telah melakukan semua upaya tindakan medis secara optimal untuk menyelamatkan jiwa anak Tiara Debora.

Terkait polemik tentang persepsi yang terjadi di masyarakat mengenai pelayanan IGD dan PICU, RS Mitra Keluarga Kalideres menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara tindakan medis kepada pasien di ruang IGD dan di ruangan PICU. Tindakan medis yang dilaksanakan di ruang IGD merupakan tindakan medis pertolongan pertama sementara tindakan medis di ruang PICU merupakan tindakan medis lanjutan bila diperlukan setelah tindakan medis di IGD.

Kasus meninggalnya bayi yang ditolak rumah sakit pernah terjadi pada Februari 2013 silam. Saat itu, bayi yang baru berusia enam hari, Dera Nur Anggraini, meninggal dunia lantaran sakit pada saluran pencernaannya. Awalnya, sang bayi dirawat di sebuah rumah sakit, namun lantaran keterbatasan alat yang mengharuskan sang bayi dioperasi, akhirnya disarankan untuk dirujuk ke rumah sakit lain.

(Baca Juga: Sanksi Tidak Tuntaskan Masalah BPJS Kesehatan-RS Swasta)

Sang ayah pun mencari rumah sakit yang dimaksud, tapi pada akhirnya ditolak. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 10 rumah sakit menolak dengan alasan berbeda mulai dari penuh hingga dimintai uang muka. Tentunya, dua kejadian ini membuat miris setiap orang yang mengalaminya, apalagi jika dibenturkan dengan masalah ekonomi. Padahal di sisi lain, terdapat regulasi yang mewajibkan rumah sakit untuk tidak menolak tindakan medis terhadap pasien.

Perlu diingat, rumah sakit tidak boleh menolak pasien. Sebagaimana dilansir dari Klinik Hukumonline, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.

Bahkan, Pasal 32 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tegas menyatakan bahwa, fasilitas kesehatan baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Kewajiban memberikan pertolongan kepada pasien ini juga berlaku bagi tenaga kesehatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 59 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Pimpinan rumah sakit atau tenaga kesehatan yang menolak pasien dalam keadaan darurat bisa dipidana dan dikenakan denda sebagaimana diatur dalam Pasal 190 UU Kesehatan.

(1)  Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2)  Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Larangan penolakan pasien juga berlaku bagi rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan BPJS. Pasal 47 ayat (1) Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan (Peraturan BPJS 1/2014) menyebutkan, setiap peserta jaminan kesehatan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan.

Pelayanan kesehatan yang dijamin oleh BPJS Kesehatan terdiri atas; pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama; pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan; pelayanan gawat darurat;  pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medik habis pakai; pelayanan ambulance; pelayanan skrining kesehatan; dan pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 63 ayat (4) Peraturan BPJS 1/2014 menyebutkan bahwa fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan harus segera merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan daruratnya teratasi dan pasien dalam kondisi dapat dipindahkan.

(Baca Juga: Yuk, Pahami Hak dan Kewajiban Pasien Ketika di Rumah Sakit)

Dalam Lampiran Bab IV Huruf A angka 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat disebutkan bahwa pada keadaan gawat darurat (emergency), seluruh fasilitas kesehatan baik jaringan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau bukan, wajib memberikan pelayanan penanganan pertama kepada peserta Jamkesmas. Bagi fasilitas kesehatan yang bukan jaringan Jamkesmas, pelayanan tersebut merupakan bagian dari fungsi sosial, fasilitas kesehatan, selanjutnya fasilitas kesehatan tersebut dapat merujuk ke fasilitas kesehatan jaringan Jamkesmas untuk penanganan lebih lanjut.

Pada Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, khususnya Bab IV mengenai Pelayanan Kesehatan di huruf A angka 3 menyatakan, pelayanan kesehatan diberikan di fasilitas kesehatan yang telah melakukan perjanjian kerja sama dengan BPJS Kesehatan atau pada keadaan tertentu (kegawatdaruratan medic atau darurat medic) dapat dilakukan oleh fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

(Baca Juga: Inilah Poin-poin Perubahan Perpres Jaminan Kesehatan)

Sedangkan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua Atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, khususnya Pasal 36A ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal pemberian pelayanan gawat darurat, fasilitas kesehatan baik yang bekerja sama maupun yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dilarang menarik biaya pelayanan kesehatan kepada peserta. Dalam Pasal 40 ayat (1) aturan yang sama menegaskan, pelayanan gawat darurat yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan dibayar dengan penggantian biaya.
Tags:

Berita Terkait