Mau Dibawa ke Mana Upaya Keberatan atas Putusan KPPU?
Utama

Mau Dibawa ke Mana Upaya Keberatan atas Putusan KPPU?

Tiga pandangan berbeda disertai alasan logis dan yuridis terkait yurisdiksi peradilan yang berwenang memeriksa upaya keberatan atas putusan yang dijatuhkan KPPU, antara lain Pengadilan Niaga, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Tinggi.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS
Pandangan mengenai yurisdiksi yang sesuai untuk memeriksa upaya keberatan terhadap putusan yang dijatuhkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap pelaku usaha ‘belum seragam’. Sekalipun selama belasan tahun keberatan dibawa ke pengadilan negeri, praktik tersebut menuai kritik dari sejumlah pihak terkait.

Mantan Hakim Agung Susanti Adi Nugroho mengatakan bahwa pengadilan negeri sebagai peradilan umum dinilai kurang tepat menjadi yurisdiksi yang ditunjuk memeriksa keberatan yang diajukan pelaku usaha sebagai pihak atas keberatan putusan KPPU karena lebih pada persoalan kompetensi. Maksud kompetensi di sini, lanjut Susanti, lebih kepada kurangnya pengertian dan kesulitan dalam memeriksa dan memutus sengketa persaingan usaha yang kompleks sehingga acapkali putusan yang dijatuhkan menjadi bias.

“Saya condong ke Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga hanya ada di 5 wilayah,” kata Susanti dalam seminar Indonesian Competition Lawyers Association (ICLA) di Jakarta, Senin (11/9) lalu.

(Baca Juga: ICLA: Durasi Penanganan Keberatan Putusan KPPU di Pengadilan Negeri Terlalu Cepat)

Keberadaan Pengadilan Niaga di lima wilayah, lanjut Susanti, dianggap lebih mudah dalam hal mendidik para hakim agar lebih menguasai substansi terkait persaingan usaha. Sama halnya seperti perkara kepailitan yang juga menjadi kewenangan Pengadilan Niaga, terbuka peluang untuk mengangkat hakim ad hoc di mana ketika perkara persaingan usaha menjadi yurisdiksi Pengadilan Niaga, itu berarti dimungkinkan mengangkat hakim ad hoc yang menguasai perkara persaingan usaha terutama yang memahami bidang ekonomi.

Pasal 87 Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, masih diatur keberatan atas putusan KPPU diajukan ke pengadilan negeri di domisili pelaku usaha. Sama seperti aturan sebelumnya, yakni UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kedua ketentuan tersebut tidak menyebutkan pengadilan negeri yang mana sedangkan pengadilan negeri terikat dengan yurisdiksi atau kompetensi relatif sesuai dengan domisili pemohon atau pelaku usaha.

“Perkara KPPU tidak cuma hukum tetapi ekonomi dan mendidik (hakim) tidak gampang. Pengadilan Negeri gimana mau profesional kalau pindah-pindah (hakim mutasi). Kalau di Pengadilan Niaga lebih sedikit tetapi (sejauh ini) DPR tidak setuju,” kata Susanti.

Sekalipun draf RUU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat versi DPR masih mengatur hal sama seperti undang-undang sebelumnya, masih terbuka peluang adanya perubahan lantaran proses pembahasan masih berlanjut. Perkembangan terakhir, Komisi VI DPR telah menerima Daftar Invetaris Masalah (DIM) versi pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan yang kabarnya memuat banyak catatan kritis atas usul yang disampaikan DPR. Sayangnya, Hukumonline hingga saat ini belum berhasil mendapat DIM resmi pemerintah melainkan hanya sekedar informasi yang dilontarkan sumber terpercaya.

Praktisi hukum Chandra Hamzah justru punya pandangan berbeda dengan Susanti. Secara azas, ia lebih setuju kalau upaya keberatan ditangani oleh yurisdiksi peradilan tata usaha negara atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) lantaran kedudukan KPPU sendiri dalam sistem ketatanegaraan sebagai lembaga kuasi negara yang prinsipnya menjalankan administrasi negara. Apalagi, dalam upaya keberatan itu sendiri UU Nomor 5 Tahun 1999 mensyaratkan KPPU sebagai pihak atau dalam hal tersebut sebagai pihak termohon atau terlapor.

“Karakteristik keberatan di Pengadilan Negeri, termohonnya adalah KPPU selaku lembaga negara. Sama seperti PTUN, itu pemerintah, gubernur (yang digugat). Kalau kita konsisten, karena KPPU selalu jatuhkan administratif dan hubungan hukum bukan hubungan perdata, maka pilihannya adalah PTUN,” kata mantan Komisioner KPK ini.

Sebagai pihak yang mengajukan keberatan putusan KPPU ke pengadilan, lanjut Chandra, waktu itu terjadi ‘keruwetan’ lantaran Perma Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Atas Putusan KPPU (sebelumnya Perma Nomor 1 Tahun 2003) yang merupakan ‘perma konsolidasi perkara’ belum lahir sehingga pelaku usaha pada kasus Indomobil waktu itu cukup ‘kreatif’ mengajukan upaya hukum ke sejumlah yurisdiksi antara lain PN Jakarta Selatan, PN Jakarta Pusat, bahkan ke PTUN. Demi mengatasi itu, akhirnya Mahkamah Agung menerbitkan Perma sehingga perkara ditangani di PN Jakarta Pusat.

Yang menjadi pertanyaan bagi Chandra waktu itu adalah kenapa MA melakukan klasifikasi dan memasukan perkara persaingan usaha ke kamar perdata. Padahal KPPU menjalankan fungsi sebagai lembaga publik dan bukan sebagai lembaga perdata. Apabila KPPU sebagai lembaga publik yang berarti hubungannya dengan pelaku usaha adalah bersifat publik juga, tetapi kenapa memeriksa perkara yang sifatnya keperdataan seperti pengadaan barang jasa atau tender.

(Baca Juga: MA Revisi Perma Terkait Tata Cara Pengajuan Keberatan Putusan KPPU)

“Apakah kita masih taat azaz bahwa ada 4 lingkungan peradilan. Di Amerika semua masuk karena anglo saxon. Kalau masih taat azaz, maka kita tinggal pikir dimana sengketa KPPU kita adili. Lingkungan agama? tentu tidak karena tidak bicara cerai, waris, perbankan syariah. Apakah militer? Bukan, kalau militer ada pidana dan jenderal. Kalau di negeri? ada yang publik dan perdata, pertanyaan apakah KPPU jatuhkan sanksi pidana? Kalau tidak ada dan kita sepakat, maka sanksi administratif, maka setiap putusan diajukan ke PTUN, Se-simple itu,” kata partner pada Assegaf Hamzah & Partners (AHP) ini.
UU Nomor 5 Tahun 1999RUU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pasal 44
(1)   Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan Komisisebagaimana dimaksud Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut danmenyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi.
(2)   Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeriselambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
(3)   Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) dianggap menerima putusan Komisi.
(4)   Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha,Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5)   Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti permulaan yang cukupbagi penyidik untuk melakukan penyidikan.

Pasal 45
(1)   Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana dimaksud Pasal 44 dalam ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya pemeriksaan keberatan tersebut.
(2)   Pengadilan Negeri harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) harisejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut.
(3)   Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam waktu 14 (empat) belas hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(4)   Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diterima.
BAB XIII
UPAYA HUKUM
Pasal 87
Keberatan atas putusan KPPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) diajukan ke Pengadilan Negeri.

Pasal 88
(1)   Pengadilan Negeri wajib memeriksa keberatan terlapor dalam waktupaling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanyakeberatan tersebut.
(2)   Pengadilan Negeri wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak dimulainya pemeriksaankeberatan tersebut.
(3)   Keberatan dapat diajukan jika pihak yang mengajukan keberatan telahmembayar sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai denda yangdijatuhkan kepada pihak tersebut sebagaimana termuat dalam PutusanKPPU sebagai uang titipan.
(4)   Dalam hal diajukan keberatan, KPPU merupakan pihak.
(5)   Pihak yang keberatan terhadap Putusan Pengadilan Negeri, dapatmengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja.
(6)   Mahkamah Agung wajib memberikan putusan paling lama 60 (enam puluh) hari kerjaterhitung sejak permohonan kasasi diterima.
(7)   Dalam hal upaya hukum terlapor diterima dan putusannya telahberkekuatan hukum tetap, nilai denda yang sudah dibayarkansebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikembalikan kepada terlapor dandirehabilitasi.
(8)   Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya hukum diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.


(Baca Juga: Chandra Hamzah: Dudukkan Kembali KPPU pada Posisi yang Benar)

Hakim Agung pada Kamar Perdata Sudrajat Dimyati menjelaskan bahwa latar belakang MA mengkategorikan perkara persaingan usaha ke kamar perdata lebih sekedar memisahkan perkara ke empat kamar yang tersedia di MA. Terlepas dari hal tersebut, kata Sudrajat, sempat ada wacana di internal MA bahwa upaya keberatan akan dibawa ke Pengadilan Tinggi (PT) dengan pertimbangan salah satunya beban pekerjaan para hakim tinggi yang relatif tidak begitu berat.

“KPPU kan peradilan kuasi, maka semua bermuara ke MA. pernah ada wacana keberatan ke PT, pertimbangan praktis beban kerja lebih sedikit di PT. Sekarang hakim PT itu nganggur, jadi tidak ada pekerjaan. Tapi ini menyulitkan terlapor yang selama ini di domisili, tapi kalau ke Provinsi jadi kendala. Perlu dipikrikan bersama,” kata Sudrajat.

Hal tersebut juga diamini oleh Susanti. Ia menilai opsi pengajuan keberatan ke PT lebih memperhatikan due process of law karena masih terbuka ruang bagi pelaku usaha mengajukan saksi atau bukti baru yang sebelumnya tidak dihadirkan ke muka sidang atau tidak pernah dipertimbangkan oleh majelis pada KPPU itu sendiri. Di sisi lain, dibawanya perkara keberatan ke tingkat PT juga semakin menegaskan posisi KPPU sebagai lembaga peradilan tingkat perdata khusus perkara persaingan usaha.

“Di sana masih judex facti, masih bisa tambah bukti dan saksi. KPPU tidak jadi pihak lagi dalam perkara. Tapi kalau di PN mau tidak mau harus ada pihak. kalau bisa masuk ke pengadilan tinggi saja,” kata Susanti.

Sementara itu, Anggota Komisioner KPPU Sukarmi sendiri menanggapi lebih pasif lantaran berbagai usul tersebut telah mengemuka sejak wacana revisi UU Nomor 5 Tahun 1999 bergulir beberapa waktu sebelumnya. Pihaknya juga tidak begitu mempersoalkan lantaran memang dalam draf RUU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat nyatanya tidak mengubah yurisdiksi pengadilan yang berwenang memeriksa upaya keberatan atas putusan KPPU melainkan hanya sekedar jangka waktu yang berubah dalam draf.

“Wacana harus di bawa ke PN atau PT atau di buka sendiri peradilan persaingan sudah dari dulu yang terjadi perubahan jangka waktu dari 30 hari jadi 45 hari (tingkat keberatan) itu berikan ruang kepada hakim untuk periksa dokumen yang tebal,” kata Sukarmi.
Tags:

Berita Terkait