Pesan Khusus KPK Dalam OTT Wali Kota Batu
Utama

Pesan Khusus KPK Dalam OTT Wali Kota Batu

Peran inspektorat daerah masih menjadi sorotan.

Oleh:
CR-24
Bacaan 2 Menit
Konferensi pers KPK soal OTT Wali Kota Batu Eddy Rumpoko di Jakarta, Minggu (17/9). Foto: CR-24
Konferensi pers KPK soal OTT Wali Kota Batu Eddy Rumpoko di Jakarta, Minggu (17/9). Foto: CR-24
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko sebagai tersangka menerima suap. Ia bersama dengan Kepala Bagian Unit Layanan Pengaduan Eddi Setiawan diduga menerima uang suap dengan nilai total Rp600 juta dari seorang pengusaha bernama Filipus Djap yang tak lain merupakan pemilik Amarta Hills Hotel.

Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menjelaskan kronologi penangkapan ini yang dilakukan pada Sabtu (16/9) kemarin. Pada sekitar pukul 12.30 WIB, Filipus bertemu dengan Eddi di restoran sebuah hotel milik Filipus. Keduanya lantas berjalan menuju tempat parkir mobil dan diduga saat itu juga terjadi penyerahan uang Rp100 juta yang memang ditujukan untuk Eddi.

Selang 30 menit kemudian Filipus bergerak ke rumah dinas Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko yang diduga untuk menyerahkan uang sebesar Rp200 juta dengan pecahan Rp50 ribu yang dibungkus kertas koran di dalam paper bag. Tak lama, tim KPK mengamankan keduanya beserta seorang berinisial Y yang merupakan supir dari Eddy dan dibawa ke Polda Jawa Timur untuk dilakukan pemeriksaan.

“Tim lainnya mengikuti EDS (Eddi Setiawan) dan mengamankan sekitar pukul 16.00 WIB di sebuah jalan di Batu. Dari tangan EDS diamankan uang Rp100 juta yang dibungkus kertas koran dan paper bag,” kata Syarif di kantornya, Minggu (17/9).

Kemudian ada juga seseorang berinisial ZE yang diamankan pada pukul 16.00 WIB di tempat terpisah dan kemudian dibawa ke Pemkot Batu untuk dilakukan pemeriksaan. Sayangnya Syarif tidak menjelaskan siapa dan apa keterkaitan ZE akan kasus ini sebab setelahnya ia tidak ikut dibawa serta berangkat ke Jakarta pada pukul 01.00 WIB dini hari pada Minggu (17/9) untuk menjalani pemeriksaan lebih intensif di Gedung KPK.

Untuk kepentingan penyidikan beberapa ruangan juga telah disegel KPK. Pertama ruang kerja Wali Kota Batu, ruangan ULP, ruangan Kepala BKAD dan beberapa ruang lain di Pemkot Kota Batu. Selain itu ruang kerja Filipus juga tidak luput dari penyegelan yang dilakukan penyidik.  Selain sebagai pemilik hotel, Filipus, kata Syarif juga merupakan Direktur PT Dailbana Prima, perusahaan yang memenangkan proyek di Pemkot Batu.

“Kasusnya berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa Pemerintah terkait dengan proyek belanja modal dan mesin pengadaan meubelair dengan nilai proyek Rp5,26 miliar,” terang Syarif.

(Baca Juga: Wali Kota Batu Terjaring OTT KPK)

Dalam penangkapan ini KPK menyita uang “hanya” Rp300 juta yang terdiri dari Rp100 juta dari Eddi Setiawan dan Rp200 juta dari Eddy Rumpoko, padahal jumlah uang suap secara keseluruhan dinilai mencapai Rp600 juta. Lalu ke mana sisanya? “Rp300 juta sudah digunakan untuk melunasi mobil Alphard milik Wali Kota,” jelas Syarif.

Sebagai penerima, Wali Kota Batu Eddy Rumpoko dan Kepala Bagian ULP Eddi Setiawan dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana dengan ancaman minimal 4 tahun denda Rp200 juta dan maksimal 20 tahun atau seumur hidup dengan denda Rp1 miliar.

Sedangkan Filipus sebagai pihak pemberi dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana dengan ancaman minimal penjara 1 tahun denda Rp50 juta dan maksimal 5 tahun denda Rp250 juta.

Untuk selanjutnya ketiga tersangka ini ditahan pada tiga lokasi berbeda. Filipus untuk sementara menghuni Rutan Polres Jakarta Pusat, Eddy Rumpoko di Rutan Kelas I Cipinang, Jakarta Timur dan Eddi Setyawan di Rutan Pomdam Jaya Guntur, Jakarta Selatan. “KPK menahan ketiga tersangka selama 20 hari ke depan untuk kepentingan penyidikan,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

“Harga Pasaran” Suap
Laode M Syarif kembali menjelaskan jika fee yang diberikan kepada Wali Kota Batu terkait kasus ini adalah 10 persen dari nilai proyek sebesar Rp5,26 miliar yang berarti sebesar Rp500 juta. Prosentase tersebut, kata Syarif untuk saat ini sudah seperti norma umum untuk memberi suap dalam proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah.

“Ada pesan khusus yang ingin disampaikan, dari serentetan OTT beberapa bulan terakhir, motivasi orang-orang itu menerima suap memotong hampir 10 persen,  jadi norma umum dari setiap anggaran pemerintah.  Bisa kita bayangkan kualitas barang dan jasa jadi berkurang,” pungkas pemilik gelar Ph.D dalam Hukum Lingkungan Hidup Internasional dari Universitas Sydney ini.

Selain itu, untuk mencegah kembali adanya korupsi barang dan jasa pemerintah khususnya di tingkat daerah, Syarif menyebut setidaknya ada empat hal yang harus diperhatikan. Pertama, pengadaan barang dan jasa harus dengan cara elektronik atau e-procurement. Hal ini dilakukan agar proses pengadaan proyek lebih transparan dan akuntable. “Kami minta e-procurement wajib dan e-catalogue dipercepat (prosesnya),” katanya.

(Baca Juga: OTT, Sang Bupati ‘Independen’ Pertama Hingga Pengurus Ikatan Alumni FH USU)

Kedua, sistem perizinan satu atap sehingga menimalisir terjadinya birokrasi yang berlebihan. Selain itu, pihak pemohon juga tidak boleh bertemu dengan pejabat terkait untuk menghindari terjadinya kongkalikong dalam proses pengadaan barang dan jasa. Ketiga, harus ada e-planning dan e-budgetting. “Pembengkakan itu awalnya dari perencanaan. Misalnya nilai proyek awalnya Rp4 miliar, tetapi harus ada uang ke bupati, walikota atau pihak lain makanya membengkak,” imbuhnya.

Keempat, Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) juga harus bekerja secara selaras. Pencegahan korupsi, kata Syarif bukan hanya tanggung jawab KPK, tetapi juga kementerian dan lembaga lain. Selama ini, KPK sudah menjalin kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dalam mengawasi korupsi di Pemerintah Daerah. Tetapi ada beberapa hambatan yang membuat korupsi masih saja terjadi.

Salah satunya yaitu inspektorat di daerah masih berada di bawah kekuasaan kepala daerah itu sendiri. Oleh karena itu ia berharap nantinya pengawas di daerah harus berasal dari pusat dalam hal ini Inspektorat Jenderal Kemendagri sehingga jika ada kecurigaan terjadinya korupsi mereka bisa melaporkan langsung ke pusat tanpa harus melalui persetujuan kepala daerah.

“Kalau kita berharap malah (pengawas daerah) bisa langsung lapor ke BPK, BPKP atau Presiden, tetapi kan harus ada undang-undang yang diubah. Kita sedang upayakan cari landasan hukum baru yang ditempatkan pegawai atau staf Kemendagri sehingga bisa dilaporkan. Kalau inspektorat kerjasama dengan kepala daerah maka tidak ada masalah yang terlihat,” tutur Syarif.

Celah Pengadaan Barang dan Jasa
Hingga 2015, KPK telah menerima sebanyak 12.693 pengaduan terkait pengadaan barang dan jasa. Dari 500 kasus yang ditangani KPK sejak 2004 sampai April 2016, 148 adalah kasus korupsi pengadaan barang dan jasa.Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Cahya Hardianto Harefa mengatakan, KPK melakukan kajian mengenai penyebab dan menyusun rekomendasi untuk menutup titik-titik rawan korupsi pada pengadaan barang dan jasa.

Berdasarkan hasil kajian KPK, Cahya menjelaskan, adanya empat titik celah korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa, yaitu dari aspek regulasi, perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan. Dari aspek regulasi, persoalan disebabkan oleh sistem perundangan yang berbenturan, multitafsir, tumpang tindih, tidak kuat, dan tidak aplikatif.

Terkait kasus korupsi pengadaan barang dan jasa total perkara yang ditangani KPK hingga 2015 mencapai 42 perkara dengan 99 terpidana. Jumlah kerugian negara sekitar Rp1,2 triliun dan uang pengganti sekitar Rp407 miliar.

(Baca Juga: APIP Sang Pengawas, Bukan Bagian Mata Rantai Korupsi!)

Sedangkan perihal APIP, setidaknya ada beberapa perkara di KPK yang memang melibatkan inspektorat atau pengawas di daerah. Seperti dalam OTT kepada Bupati Pamekasan Achmad Syafii, Inspektur Kabupaten Pamekasan Sutjipto Utomo dan Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudy Indra Prasetya, Kepala Desa Dassok Agus Mulyadi dan Kabag Administrasi Inspektur Pamekasan Noer Solehhoddin.

Sebelumnya, pada Mei lalu, KPK juga menangkap seorang APIP Kementerian. KPK menduga Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menyuap Auditor Utama Badan Pemeriksa Keuangan Rochmadi Saptogiri agar Kemendes PDTT mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Untuk diketahui, pengawasan intern Kementerian/Lembaga ataupun pemerintah daerah dilakukan oleh APIP. APIP sendiri terdiri dari Inspektorat Jenderal Kementerian, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Kementerian, seperti Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Provinsi, serta Inspektorat Kabupaten/Kota.

Sesuai ketentuan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang terakhir kali diubah dengan UU No.9 Tahun 2015, kepala daerah wajib melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat daerah. Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan itu, kepala daerah dibantu oleh Inspektorat Provinsi atau Inspektorat Kabupaten/Kota.

Hasil penilaian tingkat kapabilitas 474 APIP pada K/L/D yang dilakukan oleh BPK per 31 Desember 2014 cukup memperihatinkan karena sebanyak 404 APIP atau 85,23 persen berada pada level 1, 69 APIP atau 14,56% berada pada level 2, dan baru satu APIP atau 0,21% yang berada pada level 3. Padahal untuk mewujudkan kapabilitas APIP berkelas dunia  setidaknya mencapai level 3 pada 2019 nanti.
Tags:

Berita Terkait