Pembubaran Diskusi Sejarah 1965, Ciderai Hukum dan Demokrasi
Berita

Pembubaran Diskusi Sejarah 1965, Ciderai Hukum dan Demokrasi

Selain melanggar KUHAP, kepolisian dinilai gagal paham terkait dengan izin keramaian dan pemberitahuan kemerdekaan berpendapat di muka umum.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Kantor YLBHI di Jakarta. Foto: Sgp
Kantor YLBHI di Jakarta. Foto: Sgp
Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sampat dikepung oleh sejumlah massa saat akan menggelar diskusi akademis seputar pelurusan sejarah Indonesia periode 1965-1966. Acara yang dibuat terbatas bagi 50 orang, diskusi tersebut dibubarkan secara paksa oleh pihak kepolisian didahului dengan aksi sejumlah massa yang menentang diskusi tersebut digelar Sabtu (16/9) kemarin.

Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menyoroti peristiwa tersebut. Baginya, baik diskusi maupun pemutaran pemutaran film G30S/PKI memiliki nilai sejarah yang mesti dimengerti generasi muda. Sebab, boleh jadi ketika peristiwa tersebut terjadi, banyak kalangan muda yang belum lahir dan tidak mengetahui betapa ganasnya aksi tersebut. Karena itu, diskusi pelurusan sejarah maupun pemutaran film G30S/PKI tak boleh dihalangi.

“Saya tidak berharap ini terus dipolemikan, ini adalah perjalanan sejarah yang siapapun pada eranya pasti akan merasakan hal yang sangat pedih,” ujarnya, Senin (18/9.

Menurutnya, sejarah periode 1965-1966 merupakan noktah merah sejarah perjalanan bangsa Indonesia, khususnya peristiwa G30S/PKI. “Ini bagian sejarah panjang bangsa Indonesia,” ujar politisi Partai Amanat Nasional itu.

Direktur YLBHI  Asfinawati  berpendapat pembubaran yang dilakukan pihak kepolisian telah menciderai hukum. Bahkan, telah menjadi pelaku antidemokrasi di Indonesia. Setidaknya, pihak kepolisian tidak bersandar dan menghargai nilai-nilai demokrasi. Sebaliknya, kepolisian dinilai takluk terhadap tekanan massa.  

Asfin mencatat terdapat beberapa pelanggaran yang dilakukan pihak kepolisian. Pertama, membubarkan sebuah diskusi maupun seminar bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Serta, Pasal 18 dan 20 UU No.20 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Hak Sipil dan Politik. Kedua, melakukan penggeledahan/masuk rumah tanpa surat maupun berita acara apapun bertentangan dengan Pasal 33 dan 34 KUHAP.

Ketiga, melakukan penyitaan spanduk tanpa surat penyitaan dan tanpa dugaan tindak pidana apapun bertentangan dengan Pasal 34 ayat (2), 38 dan 39 KUHAP. Keempat, melakukan pengrusakan di Gedung LBH Jakarta bertentangan dengan Pasal 406 KUHP. Kelima, melakukan pengancaman bertentangan dengan Pasal 335 ayat (1) KUHP.

“Berdasarkan hal tesebut, kami berpendapat bahwa kepolisian telah menciderai hukum. Bahkan telah menjadi pelaku antidemokrasi di Indonesia,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima Hukumonline.

Pihak kepolisian mestinya mencari fakta hukum dan kebenaran terlebih dahulu, bukan sebaliknya hanya percaya terhadap informasi massa. Dengan melakukan berbagai pelanggaran hukum acara dan bahkan melakukan tindak pidana, hal tersebut menjadi ancaman terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. “Ini merupakan ancaman demokrasi yang serius,” kata dia lagi.

Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Alghifari Aqsa menambahkan, kepolisian ternyata tidak satu suara dengan instansinya. Bahkan, ingkar janji sebanyak dua kali. Pertama, ketika mengizinkan diskusi dilakukan dengan mengajak pihak kepolisian dalam acara tersebut. Kedua, mengizinkan pihak peserta yang sepuh untuk masuk ke ruangan. Sebagaimana diketahui, LBH Jakarta dan YLBHI berkantor pada gedung yang sama. Hanya saja, LBH tersebut berbeda lantai.

“Bukan hanya menciderai kepercayaan masyarakat pada institusi kepolisian, pelarangan tamu LBH untuk masuk ke Gedung LBH Jakarta merupakan pelanggaran hak seseorang untuk berpindah tempat sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU 12/2005,” ujarnya.

Kepala Bidang Advokasi Kontras, Putri Kanesia menilai pihak kepolisian gagal paham terkait izin keramaian dan pemberitahuan kemerdekaan berpendapat di muka umum. Menurutnya Kapolri telah menerbitkan Juklak Kapolri No.Pol/02/XII/95 tentang Perizinan dan Pemberitahuan Kegiatan Masyarakat.

Dalam hal ini yang dimaksud yakni pentas musik, wayang kulit, ketoprak dan pertujukan lain yang mendatangkan massa 300-500 orang atau lebih dari 1.000 orang, bahkan dengan kembang api mesti membutuhkan izin keramaian.

Sementara merujuk UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, hanya mengatur berupa unjuk rasa atau demoktrasi, pawai, rapat umum dan atau mimbar bebas membutuhkan pemberitahuan ke pihak kepolisian. Nah, diskusi yang hanya melibatkan 50 orang peserta tidak masuk dalam kegiatan yang membutuhkan izin maupun pemberitahuan ke pihak kepolisian.

“Ketidakpahaman ini merupakan ancaman untuk pembubaran diskusi maupun kegiatan yang mana dapat mengancam demokrasi, di mana seluruh kegiatan harus diberitahukan atau mendapat izin kepolisian, yang menjadi justifikasi pembubaran. Hal tersebut bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga pelanggaran hak asasi manusia,” katanya.
Tags:

Berita Terkait