YLKI Kritik Biaya Isi Saldo E-Money, Ini Penjelasan Bankir
Berita

YLKI Kritik Biaya Isi Saldo E-Money, Ini Penjelasan Bankir

Perbankan tidak memanfaatkan kesempatan untuk mengambil keuntungan dari momentum penyelenggaran 100 persen elektronifikasi jalan tol ini.

Oleh:
M. Agus Yozami/ANT
Bacaan 2 Menit
Foto: elektronikcard.blogspot.com
Foto: elektronikcard.blogspot.com
Biaya pengadaaan uang elektronik dan infrastruktur teknologi penggunaannya diklaim bankir tidak murah sehingga pengenaan ongkos kepada konsumen untuk isi saldo alat pembayaran non-tunai tersebut dinilai memang diperlukan.

"Untuk menerbitkan uang elektronik tidak mudah. Bank harus produksi kartu, infrastruktur, teknologi. Misalkan untuk chip di kartu saja sekarang harga pokoknya Rp18-Rp20 ribu," kata Anggota Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) Sis Apik Wijayanto, seperti dikutip Antara, Senin (18/9).

Dengan biaya teknologi chip Rp18-Rp20 ribu, kata Sis, setiap kartu uang elektronik (sebelum program diskon) dibanderol sekitar Rp25 ribu, dengan harga produksi Rp20 ribu. Kemudian, ujar Sis, terdapat juga untuk biaya pengadaan mesin perekam data elektronik (Electronic Data Capture/EDC) sebesar Rp2,5-Rp3 juta per unit. Komponen biaya lainnya, ujar dia, adalah biaya teknologi jaringan komunikasi, biaya tenaga Sumber Daya Manusia, biaya pengadaan kertas, dan juga biaya pemeliharaan.

Namun, sayangnya Sis tidak merinci masing-masing biaya tersebut dan total biaya investasi untuk pengadaan uang elektronik. "Saya kira bisa ditanyakan ke masing-masing bank. Tapi bagi bank ini jadi produk pelengkap," ujar Sis yang juga Direktur Kelembagaan PT. Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk (BRI).

Komponen biaya tersebut, kata dia, akan meningkat karena menjelang elektronifikasi 100 persen pembayaran jalan tol pada 31 Oktober 2017, bank-bank harus menambah sarana EDC untuk pengisian isi saldo dan kartu uang elektronik itu sendiri. (Baca Juga: Peraturan BI Soal Top Up E-Money Segera Terbit)

Penambahan sarana EDC dan loket penjualan uang elektronik itu, kata Sis, untuk memudahkan masyarakat memiliki alat bayar non-tunai tersebut saat hendak menggunakan jasa tol. Oleh karena itu, kata dia, industri perbankan di bawah Perbanas menyokong rencana Bank Indonesia (BI) yang akan melegalkan biaya pengisian saldo uang elektronik. "Kami akan 'comply' dengan aturan BI," ujarnya.

Sis mengklaim perbankan tidak memanfaatkan kesempatan untuk mengambil keuntungan dari momentum penyelenggaran 100 persen elektronifikasi jalan tol ini.
"Mungkin bisa dikonfirmasi ke industri perbankan. Sebetulnya apa sih untungnya kartu elektronik itu. Saya yakin ini sangat tipis sekali untuk dapat keuntungan dari uang elektronik. Ada beberapa bank yang mungkin belum capai 'break event point' juga," ujarnya.

Sebagai Direktur BRI, Sis berjanji akan mengenakan biaya isi saldo uang elektronik serendah mungkin, sesuai batas bawah yang dikenakan BI. "Kalau BI mengatur batas bawahnya Rp1000 ya kita kenakan sebesar itulah," ujarnya, memberi ilustrasi.

BRI berencana akan menambah 1,5 juta keping uang eletkroniknya untuk menyambut elektronifikasi 100 persen pembayaran jalan tol pada 31 Oktober 2017. Saat ini uang elektronik BRI yang bernama BRIZZI berjumlah 6,5 juta keping. (Baca Juga: BI Minta Bank Garap Bisnis e-Toll)

Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritisi kebijakan Bank Indonesia mengenai peraturan anggota dewan gubernur terkait pemungutan biaya isi saldo (top-up) uang elektronik. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan aturan BI tersebut kontra produktif dengan tujuan penciptaan kondisi "cashless society". Ia menilai upaya mewujudkan transaksi nontunai adalah sebuah keniscayaan demi efisiensi pelayanan dan keamanan dalam bertransaksi.

"Kondisi 'cashless society' sejalan dengan fenomena ekonomi digital. Namun, menjadi kontra produktif jika BI justru mengeluarkan peraturan bahwa konsumen dikenakan biaya isi ulang pada setiap uang elektroniknya," kata Tulus.

Ia juga mengatakan sektor perbankan akan lebih diuntungkan dengan adanya 'cashless society' daripada konsumen. Perbankan menerima uang di muka, sementara transaksi atau pembelian belum dilakukan konsumen. (Baca Juga: Kisah Pembatasan Transaksi Tunai dalam Hukum Indonesia)

"Sungguh tidak adil dan tidak pantas jika konsumen justru diberikan disinsentif berupa biaya 'top-up'. Justru dengan model uang elektronik itulah konsumen layak mendapatkan insentif, bukan disinsentif," ucap Tulus.

Ia menilai pengenaan biaya isi ulang hanya bisa ditoleransi jika konsumen menggunakan bank yang berbeda dengan uang elektronik yang digunakan. "YLKI mendesak Bank Indonesia untuk membatalkan peraturan tersebut," kata Tulus.

Seperti diketahui, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo memastikan peraturan anggota dewan gubernur yang mengatur perbankan jika ingin memungut biaya isi saldo uang elektronik kepada konsumen akan terbit akhir September 2017.

"Kami akan atur batas maksimumnya, dan besarannya beayanya tidak akan berlebihan membebani konsumen," kata Agus di Kantor Perwakilan BI Banten di Serang, Jumat (15/9).

Terkait besaran maksimum biaya isi saldo, Agus mengatakan hal tersebut masih dalam finalisasi sehingga dia enggan membeberkannya. Mantan Menteri Keuangan tersebut juga menjelaskan langkah BI tersebut mempertimbangkan kebutuhan perbankan untuk biaya investasi dalam membangun infrastruktur penyediaan uang elektronik, layanan teknologi, dan juga pemeliharaannya.


Tags:

Berita Terkait