4 Bank BUMN Tak Kenakan Biaya Isi Ulang e-Money
Berita

4 Bank BUMN Tak Kenakan Biaya Isi Ulang e-Money

Jika ada biaya uang elektronik, seharusnya ditanggung pihak yang paling menerima manfaat dari uang elektronik itu.

Oleh:
Fathan Qorib/ANT
Bacaan 2 Menit
4 Bank BUMN Tak Kenakan Biaya Isi Ulang e-Money
Hukumonline
Himpunan Bank-bank Negara (Himbara) atau empat bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memutuskan untuk tidak memungut biaya pengisian saldo uang elektronik (e-money). "Himbara akan lebih mengarahkan isi saldo melalui pemanfaatan teknologi," kata Anggota Himbara yang juga Direktur Utama PT. Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk (BRI) Suprajarto sebagaimana dikutip dari Antara, Selasa (19/9).

Empat bank Himbara yang juga menjadi pemain dalam industri uang elektronik adalah PT. Bank Mandiri Persero Tbk (Mandiri), PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk (BNI) dan PT. Bank Tabungan Negara Persero Tbk (BTN). Direktur Perbankan Digital dan Teknologi Bank Mandiri Rico Usthavia Frans mengatakan tidak mempersoalkan jika Himbara akhirnya tidak mengenakan biaya isi saldo uang elektronik.

"Namun, jika ada biaya uang elektronik, seharusnya ditanggung pihak yang paling menerima manfaat dari uang elektronik itu," ujarnya.

(Baca Juga: YLKI Kritik Biaya Isi Saldo e-Money, Ini Penjelasan Bankir)

Kalangan industri perbankan sebelumnya mengusulkan kepada Bank Indonesia agar biaya isi saldo uang elektronik sebesar Rp1.500 hingga Rp2.000 setiap isi saldo. Sebelum pro-kontra wacana pengenaan biaya isi saldo uang elektronik, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan peraturan untuk biaya isi saldo uang elektronik akan terbit akhir September 2017.

Agus menjelaskan BI memperbolehkan perbankan memungut biaya isi saldo uang elektronik karena mempertimbangkan kebutuhan perbankan akan biaya investasi dalam membangun infrastruktur penyediaan uang elektronik, layanan teknologi, dan juga pemeliharaannya.

(Baca Juga: Peraturan BI Soal Top Up e-Money Segera Terbit)

Mengingat pada 31 Oktober 2017 pembayaran jasa penggunaan jalan tol di seluruh Indonesia harus menggunakan uang elektronik, maka perbankan juga harus menyediakan loket dan tenaga SDM di area sekitar jalan tol agar kebutuhan masyarakat untuk membayar jasa jalan tol terpenuhi.

"Kita harus yakinkan bahwa saat masyarakat beli uang elektronik untuk jalan tol, itu harus tersedia secara luas. Oleh karena itu BI mengizinkan untuk ada tambahan biaya," ujarnya.

Namun, rencana pengenaan biaya isi saldo e-money ini menuai polemik. Salah satunya datang dari advokat yang peduli masalah-masalah konsumen, David ML Tobing. Bahkan, David sampai mengadu ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) terkait wacana ini. Menurut David, pengenaai biaya isi ulang e-money diduga merupakan bentuk maladministrasi.

(Baca Juga: David Tobing: Biaya Isi Ulang e-Money Rugikan Konsumen)

Alasannya karena aturan tersebut di satu sisi justru mencerminkan keberpihakan kepada pengusaha, dan di sisi lain merupakan pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan. Aturan itu berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi bagi konsumen. Menurutnya, terdapat beberapa indikator sebagai bentuk keberpihakan tersebut.

Pertama, terciptanya efisiensi pada pengelola jalan tol dan dana pihak ketiga yang diperoleh bank pun meningkat. Kedua, lembaga perbankan yang menerbitkan uang elektronik mendapatkan dana murah dan bahkan gratis karena uang elektronik tidak berbunga. Ketiga, pernyataan BI secara terang-terangan mendukung rencana pengelola jalan tol yang mewajibkan pembayaran nontunai menggunakan kartu uang elektronik atau e-toll.

Selain itu, lanjut David, rencana tersebut juga dianggap sarat ketidakadilan bagi konsumen. Pertama, konsumen sudah dipaksa untuk tidak membayar secara tunai. Kedua, uang elektronik mengendap di bank. Ketiga, konsumen tidak memperoleh bunga dari uang yang dibayar lebih dahulu. Keempat, tidak ada jaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kelima, jika konsumen kehilangan kartu, uang yang ada dianggap hilang. Keenam, konsumen malah mendapat disentif, bukan insentif dalam pelaksanaan cashless society atau tidak lagi menggunakan transaksi tunai.
Tags:

Berita Terkait