Kepolisian Diminta Ungkap Aktor Intelektual Penyerangan Gedung YLBHI
Berita

Kepolisian Diminta Ungkap Aktor Intelektual Penyerangan Gedung YLBHI

Khususnya aktor intelektual yang melakukan manipulasi fakta untuk memobilisasi massa.

Oleh:
Fathan Qorib/RED
Bacaan 2 Menit
Kantor YLBHI. Foto: SGP/HOL.
Kantor YLBHI. Foto: SGP/HOL.
Penyerangan terhadap gedung YLBHI dan LBH Jakarta pada Minggu (17/9) malam menuai kritik. Salah satunya datang dari Yayasan Tifa Indonesia. Dalam siaran persnya yang diterima hukumonline, Selasa (19/9), Yayasan Tifa menilai, pengepungan tersebut merupakan serangan brutal terhadap sendi-sendi demokrasi di Indonesia.

Tindakan arogan tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap hak bersuara, berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang diamanatkan oleh konstitusi. “Ini juga menunjukkan bahwa isu komunisme yang diciptakan oleh militer dan rezim otoriter Orde Baru masih sangat efektif digunakan untuk memanipulasi fakta, menghasut publik, melakukan stigmatisasi serta represi terhadap kelompok yang berseberangan pandang dengan mayoritas atau berbeda pendapat dengan pemegang kekuasaan,” tulis Yayasan Tifa.

Yayasan Tifa menilai, berulangnya represi dan pencideraan hak demokrasi tersebut tidak bisa dilepaskan dari ketidaktegasan negara serta aparatnya dalam melaksanakan kewajiban mereka melindungi hak-hak dasar warga negara. Walaupun pada akhirnya polisi membubarkan massa, namun tidak bisa dilepaskan dari keputusan kepolisian yang melarang digelarnya diskusi akademis tentang pengungkapan sejarah Indonesia tahun 1965-1966 pada 16 September 2017 lalu.

“Pelarangan tersebut menjadi titik acuan pembenaran oleh kelompok intoleran untuk menyatakan bahwa YLBHI telah melakukan acara ilegal serta melakukan penyerangan,” tulis Yayasan Tifa.

(Baca Juga: Pembubaran Diskusi Sejarah 1965, Ciderai Hukum dan Demokrasi)

Setidaknya, dalam penyerangan gedung YLBHI tersebut kepolisian telah menangkap 37 orang yang diduga terlibat aksi. Yayasan Tifa berharap, kepolisian tak hanya berhenti pada 37 orang tersebut, namun juga mengungkap aktor intelektual yang melakukan manipulasi fakta untuk memobilisasi massa.

Kritikan yang sama juga diutarakan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Iluni FHUI). Dalam siaran persnya yang diterima hukumonline, Iluni FHUI menyatakan bahwa penyerangan tersebut terjadi lantaran berita hoax yang menyatakan bahwa kegiatan di gedung YLBHI adalah seminar tentang PKI.

Padahal, kegiatan tersebut bertajuk “Asik Asik Aksi” itu merupakan acara akademisi dan masyarakat luas yang tak ada ‘unsur’ PKI sama sekali. “Massa yang terprovokasi dan menerima informasi hoax yang membahayakan keamanan dan keselamatan masyarakat. Mobilisasi massa dengan provokasi, juga melakukan pengepungan dengan tindakan pengrusakan seperti melempari batu dan mendorong gerbang, disertai teriakan-teriakan penuh kekerasan,” tulis Iluni FHUI.

Padahal, lanjut Iluni FHUI, LBH Jakarta dan YLBHI adalah sebuah lembaga masyarakat sipil yang didirikan oleh Almarhum Prof. Dr. (Iur.) Adnan Buyung Nasution pada 1970, dengan tujuan sebagai rumah perlindungan dan pembelaan bagi masyarakat miskin buta hukum dan tertindas, sebagai bagian dari pengejawantahan  prinsip negara hukum dan demokrasi.

(Baca Juga: Pemerintah Telah Bentuk Tim Selesaikan Persoalan G30S)

LBH Jakarta dan YLBHI memberikan bantuan hukum tanpa pandang bulu, tidak memandang suku, agama, ras, keyakinan politik, golongan dan lain-lain. Oleh sebab itu, LBH Jakarta dan YLBHI mengedepankan hak asasi untuk menyampaikan pendapat, berdiskusi, dan lainnya sesuai dengan nilai-nilai HAM, demokrasi dan rule of law.

Berbagai korban hak asasi manusia yang mengadu ke LBH Jakarta dan YLBHI telah mendapatkan bantuan hukum, misalnya hak perempuan untuk berjilbab, pendampingan korban peristiwa kekerasan di Mesjid Tanjung Priok, Talang Sari di Lampung dan banyak  pesantren-pesantren atau lembaga-lembaga keagamaan lainnya, hingga korban kriminalisasi dan penyiksaan terduga terorisme. Halini sesuai dengan hak konstitusional bagi setiap warga negara untuk mendapatkan keadilan atas pelanggaran hak asasi, baik yang terjadi di masa lalu maupun saat ini.

“Iluni FHUI mengutuk keras tindakan penyebaran kebencian dan informasi hoax yang memecah belah rakyat Indonesia termasuk mengenai keberadaan PKI, serta sikap-sikap represif penuh kekerasan kelompok tertentu yang mengancam hak berkumpul dan berekspresi karena dapat merusak prinsip demokrasi dan negara hukum,” tulis Iluni FHUI.

(Baca Juga: Pengadilan Tolak Pra-Peradilan Kalender ‘Palu Arit’)

Iluni FHUI berharap agar kepolisian dapat menindak tegas aktor yang memobilisasi massa untuk melakukan tindakan destruktif, mengadu domba masyarakat dan melakukan politisasi yang akan memicu kekerasan. "Negara harus menjamin hak berkumpul dan berekspresi secara damai, sebagaimana dijamin oleh Konstitusi, UUD Tahun 1945 serta hukum yang berlaku,” katanya.
Tags:

Berita Terkait