BI: Peraturan e-Money untuk Tertibkan Harga
Berita

BI: Peraturan e-Money untuk Tertibkan Harga

BI akan mengatur berdasarkan kriteria jumlah saldo yang berada dalam uang elektronik tersebut. OJK mengusulkan sebaiknya penetapannya diserahkan ke industri perbankan.

Oleh:
M. Agus Yozami/ANT
Bacaan 2 Menit
Bank Indonesia. Foto: SGP
Bank Indonesia. Foto: SGP
Bank Indonesia (BI) mengklaim pengaturan batas maksimum biaya pengisian saldo uang elektronik justru untuk menertibkan harga yang selama ini relatif tinggi dibayar oleh konsumen.

Direktur Eksekutif Pusat Program Transformasi BI Aribowo di Jakarta, Selasa (19/9), mengatakan selama ini biaya isi saldo uang elektronik melalui "off-us routing", atau lintas bank maupun lintas jaringan, bisa mencapai Rp6.500 per pengisian.

Bank Sentral, ujar Aribowo, akan menentukan batas maksimum tarif isi saldo untuk "off-us routing" yang jauh lebih rendah dari tarif itu. "Harga transaksi top up, multichannel itu Rp6.500. Itu yang akan kita turunkan dengan sangat signifikan," ujar dia seperti dikutip Antara.

Transaksi "off-us" merupakan jenis transaksi yang melibatkan sarana dan prasarana pihak ketiga. Misalkan pengguna uang elektronik Bank Mandiri mengisi saldo di mesin milik perbankan lain, ataupun di mesin di "merchant" (peritel) lain, seperti pasar swalayan.

Selama ini, kata Aribowo, konsumen harus membayar tarif isi saldo uang elektronik "off-us" yang tidak teratur karena tidak ada batasan maksimum. Tarif isi saldo itu juga biasanya dipengaruhi komisi untuk pihak ketiga seperti gerai peritel yang menjadi perantara dalam transaksi pengisian isi saldo itu.

"Fee melalui mini market itu tidak masuk ke bank," kata Aribowo.

Aribowo mengatakan tarif isi saldo "off-us" itu tidak akan dipukul rata semua berbiaya. Menurut dia, BI akan mengatur berdasarkan kriteria jumlah saldo yang berada dalam uang elektronik tersebut. (Baca Juga: YLKI Kritik Biaya Isi Saldo E-Money, Ini Penjelasan Bankir)

Jadi, akan dua kriteria dalam pengisian saldo melalui "off-us" yakni isi saldo gratis jika saldo di uang elektronik tersebut sebesar nol hingga jumlah tertentu. Kemudian ada isi saldo melalui "off-us" yang berbiaya, jika saldo dalam uang elektronik tersebut dalam besaran tertentu. "Besaran tertentu itu, BI masih mengkaji," ujar dia.

Transaksi "on-us" merupakan jenis transaksi yang menggunakan sarana dan prasarana bank penerbit uang elektronik tersebut. Misalkan, pengguna uang elektronik Bank Mandiri mengisi saldo di ATM ataupun kantor cabang Bank Mandiri sehingga tidak lintas jaringan. Selama ini, untuk isi saldo secara "on-us routing" bank tidak mengenakan biaya.

Aribowo mengatakan melalui peraturan yang baru BI juga akan mengatur dengan ketentuan yang serupa dengan "off-us" yakni besaran tertentu untuk berbiaya, dan besaran tertentu maupun gratis. Lazimnya dalam dunia perbankan pengelompokan besaran tertentu ini disebut "tiering".

Aribowo mengatakan peraturan terkait isi saldo uang elektronik ini akan dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG). Namun, dalam peraturan tersebut akan dicantumkan bahwa ketentuan pengenaan biaya isi saldo akan berlaku setelah Peraturan BI (PBI) baru terkait Uang Elektronik terbit. (Baca Juga: Peraturan BI Soal Top Up E-Money Segera Terbit)

PBI Uang Elektronik itu merupakan penyempurnaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tanggal 8 April 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money).

Serahkan ke Industri
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menilai besaran biaya suatu produk keuangan sebaiknya penetapannya diserahkan ke industri sendiri untuk menentukan.

Hal tersebut disampaikan Wimboh menanggapi wacana pengenaan biaya isi saldo uang elektronik (e-money) yang akan diatur oleh Bank Indonesia dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang akan dirilis dalam waktu dekat dan kemungkinan diterapkan hal yang sama untuk layanan teknologi finansial (financial techonolgy/fintech).

"Kalau soal 'fee' dan sebagainya ini adalah keputusan bagaimana industri untuk memberikan jasa itu. Fee ini biarin keputusan industri," ujar Wimboh di hari yang sama. (Baca Juga: Buruh Kritik Rencana Transaksi Non Tunai di Gerbang Tol)

Kendati demikian, lanjut Wimboh, harus dipastikan masyarakat tidak dirugikan dengan penetapan biaya tersebut. Ia menyebutkan, kepentingan masyarakat tetap menjadi prioritas utama.

"Kalau masyarakat dirugikan, misalnya fee terlalu besar dan tidak 'make sense', ya otoritas 'concern' lindungin masyarakat," kata Wimboh.

Menurut Wimboh, apabila ada suatu produk keuangan dari lembaga baik itu bank maupun non bank, membebankan fee kepada masyarakat namun ada lembaga keuangan lainnya yang justru menggratiskan untuk produk yang sama, maka pasti masyarakat akan memilih menggunakan produk dari lembaga keuangan yang tidak mengenakan biaya.

Wimboh kembali menekankan, penetapan besaran biaya suatu produk keuangan, memang sebaiknya mengikuti mekanisme pasar. Namun, OJK memastikan akan selalu berada di belakang industri dan masyarakat supaya masyarakat tidak dieksploitasi semena-mena sehingga hanya bisa menerima pembebanan biaya yang ditetapkan lembaga keuangan.

"Pricing itu adalah pricing industri. Ya silahkan saja, tapi saya yakin lembaga itu, bank atau nonbank, tapi ada bank atau non bank yang sama memberlakukan fee, pasti yang laku yang tanpa fee," ujar Wimboh.
Tags:

Berita Terkait