Terancam Dikriminalisasi, Jaksa Uji UU Sistem Peradilan Pidana Anak ke MK
Berita

Terancam Dikriminalisasi, Jaksa Uji UU Sistem Peradilan Pidana Anak ke MK

Ketentuan sanksi pidana penjara bagi jaksa dalamUUSistem Peradilan Pidana Anak merupakan kriminalisasi yang tidak sesuai dengan prinsip supremasi hukum, asas legalitas dan demokrasi.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Terancam Dikriminalisasi, Jaksa Uji UU Sistem Peradilan Pidana Anak ke MK
Hukumonline
Adanya ketentuan sanksi pidana penjara terhadap penuntut umum dalam sistem peradilan pidana anak, membuat jaksa merasa didiskriminalisasi. Hal ini diatur dalam Pasal 99 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Oleh karena itu, beberapa jaksa melakukan judicial review ke Mahakamah Konstitusi.

Para pemohon adalah Noor Rochmad, Setia Untung Arimuladi, Febrie Ardiansyah. Seluruh pemohon berprofesi sebagai jaksa dan juga anggota Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) salah satunya Yudi Kristiana. Seluruh Pemohon memberikan kuasanya kepada Ichsan Zikry. Uji materi ini baru memasuki sidang pendahuluan dengan Perkara No. 68/PUU-XV/2012.

Permohonan ini dilatarbelakangi oleh jaksa yang seharusnya melepaskan tersangka tetapi masih dilakukan penahanan, sehingga jaksa dapat dikenai ketentuan sanksi pidana penjara. Meski hingga sekarang belum ada jaksa yang ditahan gara-gara hal terebut, tetapi ketentuan ini merupakan tekanan dalam melaksanakan proses peradilan.

(Baca Juga: Jaksa Agung Persoalkan Kewenangan KPK Eksekusi Putusan Inkracht)

Kuasa hukum Pemohon, Ichsan Zikry, mengatakan Pasal 99 UU Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan ancaman kriminalisasi sebagai bentuk intervensi penuntut umum selaku bagian dari pelaksanan kekuasaan kehakiman. Ia menjelaskan, dalam pasal ini mengatur norma, yang apabila jaksa melanggar hukum acara maka akan dikenai sanksi administratif.

“Padahal, mengenai sanksi administratif ini sudah diatur dalam UU Kejaksaan dan aturan turunannya dalam bentuk sanksi etik,” kata Ichsan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (19/9).

Ia menjelaskan, awal munculnya etik karena independensi jaksa yang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun yang secara jelas diatur dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (2) UU Kejaksaan. Atas dasar itu, ia menilai, terdapat diskriminalisasi antara UU Sistem Peradilan Anak dengan UU Kejaksaan yang bertentangan dengan prinsip hukum.

Pasal 99 UU No. 11 Tahun 2012 berbunyi “Penuntut Umum yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun.” Menurut Ichsan, Pasal 99 ini tidak berdasarkan prinsip supremasi hukum, asas legalitas dan demokrasi yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

(Baca Juga: Jaksa Agung Ingatkan Jajarannya Soal Serangan Balik Koruptor)

Ia juga mengingatkan bahwa telah ada putusan MK No. 110/PUU-X/2012, di mana hakim memberikan pertimbangannya mengenai ancaman pidana pejabat khusus dalam menyelenggarakan sistem peradilan anak tidak sesuai dengan ketentuan konstitusional kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Selain itu juga tak sejalan dengan independensi pejabat khusus yang terkait dalam penuntut umum dan penyidik anak, serta dapat berdampak negatif.

“Dampak negatif tersebut adalah dampak psikologis yang tidak perlu, yaitu adanya suatu ketakutan dan kekhawatiran dalam melaksanakan penyelenggaraan tugas mengadili suatu perkara. Hal demikian menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum,” tambahnya.

Ichsan juga berpendapat, Pasal 99 mengkriminaliasai pihak yang tidak memiliki tanggung jawab atas pelanggaran yang dimaksud. UU Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur kriminalisasi terhadap penutut umum bersifat berlebihan dan kontradiktif. “Kalau pun ada peramapasan kesewenang-wenangan dalam melakukan penahanan, maka harusnya yang bertanggung jawab bukan penuntut umum. Melainkan pihak ekstra yudisial yang tetap mempertahankan penanganan.”

Oleh sebab itu, Ichsan berharap agar Mahkamah dapat menyatakan Pasal 99 UU Sistem Peradilan Pidana Anak tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945.

(Baca Juga: Tulisan Orang Dalam untuk Reformasi Korps Adhyaksa)

Di luar persidangan, anggota PJI, Yudi Kristiana, mengatakan ada ketidakpastian terhadap perlindungan independensi jaksa dengan adanya sanksi berupa ancaman pidana dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Menurut dia, adanya ketentuan berupa sanksi pidana ini dapat berpotensi tekanan tehadap independensi jaksa.

“Pasal 99 (UU Sistem Peradilan Pidana Anak) ini kan sebetulnya merujuk ketentuan Pasal 39, Pasal 33, Pasal 34. Misalnya jaksa tidak membebaskan tersangka yang seharusnya dibebaskan yang masih dalam status pra penuntutan dan lalai dalam membebaskan. Padahal, masa tahanan itu 5 hari dan bisa diperpanjang selama 5 hari lagi,” jelasnya.

Atas ketentuan tersebut, ia menilai, seharusnya hal ini menjadi ranah administratif, bukan pidana. “Ini persoalanya bersifat administratif. Sanksinya seharusnya berupa administratif dan bukan sanksi pidana. Sebab, persoalannya adalah kelalaian dan bukan persoalan jaksa melanggar hak orang. Sehingga, cukup dengan dikenakan sanksi etik saja,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait